Mohon tunggu...
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd Mohon Tunggu... -

Graduated from Islamic Studies Department State University of Jakarta. Student at Medrese Suleymaniyye, Turkey.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inkonsistensi Nurcholish Madjid?

27 September 2015   23:06 Diperbarui: 27 September 2015   23:44 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam rangka ikut memperingati 10 tahun Haul Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid), tanggal 29 Agustus lalu, kami memublikasikan tulisan sederhana ini, yang setidaknya menunjukkan kesan pribadi kami kepada almarhum. Di sela kesibukan kami mempelajari Islam dan khazanah intelektualnya di Turki, kami berharap tulisan ini menjadi semacam doa kepada Tuhan, agar Cak Nur, keluarga, serta murid-muridnya, selalu dirahmati-Nya, dan agar warisan-warisan intelektualnya mampu kami jaga dan lestarikan.

Pendahuluan

Pada 1968, Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Cak Nur, panggilan akrabnya), Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) periode 1966 – 1969 menuliskan artikel panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi.” Buah pikiran sarjana cum aktivis pergerakan mahasiswa Islam yang coba memberikan “jawaban Islam”[1] terhadap takdir sejarah bangsa Indonesia. Takdir berupa modernisasi dan pembangunan yang menjadi program utama pasca transisi pemerintahan yang diselubungi kecurigaan. Curiga dan khawatir bahwa kebijakan dan kenyataan yang berjalan saat itu kontra-produktif terhadap umat Islam.[2] Masa ketika arus sekularisasi telah tiba dari Barat ke Timur, umat Islam khawatir mereka akan senasib dengan saudara-saudaranya segenap agama yang tak mampu bertahan dari gempuran raksasa modern bernama sekularisasi. Dalam keadaan demikian umat memerlukan tuntunan dan jawaban akan nasibnya di tengah lalu lintas modernisasi dan sekularisasi ini, dan Cak Nur pun muncul.

Cak Nur mengimbau untuk tidak khawatir dengan modernisasi, karena sejatinya ia lahir dari rahim Islam juga. Tapi, layaknya seorang idealis, jawaban Cak Nur cukup membakar, karena menyiratkan adanya pertarungan ideologi antara Islam dan musuh-musuhnya (rasionalisme, sekularisme, liberalisme, individualisme, kapitalisme, humanisme, komunisme dan westernisme).[3] Pada akhirnya “jawaban Islam” dari Cak Nur cukup memuaskan para tetua-tetua Islam partai terlarang Masyumi dan sesama aktivis aspirasi Islam, sehingga nampak bagi mereka telah muncul seorang “Natsir Muda.”[4] Akan tetapi itu semua berubah pasca 2 Januari 1970.  Sang “Natsir Muda” dianggap membelot. Orang yang awalnya begitu diharapkan “menyelamatkan” wajah Islam di tengah konflik ideologi, muncul “menonjok” wajah para pengelu-elunya dengan gagasan sekularisasi dan pembaruan pemikiran Islam. Dulu dia menyerang keluar, kini ke dalam.

Jika demikian, Cak Nur sedang berada dalam titik inkonsistensi. Namun asumsi ini harus dibuktikan lebih lanjut guna menemukan jawaban sebenarnya. Dalam usaha pencarian itu, metodologi tafsir kontemporer akan cukup membantu memahami realitas sebenarnya dari corak inkonsistensi dalam gagasan-gagasan Cak Nur. Tafsir kontemporer menggunakan alur pikir dialektis antara gagasan dan realitas. Tafsir ini percaya pada interaksi dialektis antara teks yang terbatas, konteks yang tidak terbatas, dan si penggagas. Teks dan penggagasnya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosio-historis, geo-politik, latar keilmuan, dan kepentingan. Dalam usaha ini dilakukanlah hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca” gagasan-gagasan Cak Nur sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis untuk mencari makna otentik (original meaning) dan nilai-nilai ideal-moral, lalu kembali ke masa kita sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesannya sehingga diperoleh kedudukan obyektif dari “inkonsistensi” dimaksud. Lebih jauh adalah untuk menemukan pesan universal gagasan pembaruan Cak Nur yang hendak diaplikasikan dalam konteks kekinian.[5]  Melalui penafsiran kontemporer ini diharapkan ditemukan pembacaan yang produktif dan prospektif atas gagasan Cak Nur sehingga tidak terjebak pada simplifikasi dan terlalu ideology-oriented.[6] Studi ini mengacu pada karya-karya Cak Nur seputar pembahasan modernisasi dan pembaruan pemikiran, seperti Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, dan lain-lain,[7] termasuk karya terakhirnya, Indonesia Kita, sebagai sumber primer, dan di luar itu adalah rujukan sekunder.

Nurcholish before Nurcholish[8]

Cak Nur mengawali artikel Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi dengan 3 buah keresahan: (1) munculnya insecurity sosio-politik akan adanya satu golongan penghalang proyek utama modernisasi, (2) bahwa golongan yang dimaksud adalah umat Islam, pembawa aspirasi Islam, termasuk mahasiswa Islam, (3) adanya contradictio in terminis karena mahasiswa mustahil menghalangi modernisasi, padahal mereka adalah modernizing agent.  Sebagai penulis Dasar-dasar Islamisme, embrio Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, gagasan-gagasan Cak Nur dipenuhi semangat endorsing Islam sebagai ideologi. Dalam persaingan ideologi 1960-an yang banyak menentukan posisi-posisi menguntungkan dalam geo-politik nasional, kondisi Islam amat termarjinalkan. Memang dalam persaingan ideologi ini, umat Islam bisa dibilang ketinggalan jauh dari komunisme dan liberalisme, ideologi-ideologi Barat itu. Kala itu generasi muda komunis sudah dibekali Pustaka Kecil Marxis sebagai pintu masuk menghayati komunisme. Memang pernah ada usaha Tjokroaminoto dengan Islam dan Sosialisme-nya, namun menurut Cak Nur, karya itu sangat tidak representatif Islam. Dia menginginkan sesuatu yang lebih luas dan mendalam, suatu weltanschauung Islam.[9]

Di saat yang sama, golongan politik Islam tidak bisa ikut memimpin pemerintahan dan kegiatan pembangunan atau modernisasi. Suatu kemerosotan yang tajam, mengingat perannya yang tidak kecil dalam menumbangkan Orde Lama dan kudeta PKI. Belum sembuh luka akibat kevakuman itu, umat Islam semakin terpojokkan karena selalu dihadapkan sebagai “anti-Pancasila”, padahal tak satupun sila-silanya yang kontradiktif dengan ajaran Islam.[10] Cak Nur menyebut keadaan ini sebagai “ketidakberesan kehidupan politik,” dan dalam artikelnya itu segala kesalahan ditumpahkan kepada pemangku kuasa. Dengan semangat membela Islam yang berkali-kali disebutnya sebagai way of life, satu hal yang pastinya amat memuaskan tetua-tetua Islam, utamanya para politikus Masyumi, Cak Nur mengingatkan untuk setia berpihak pada ideologi Islam, meski kondisi empiris begitu menohok hati, yakni tampilnya segelintir minoritas yang dianggapnya tidak representatif dalam memimpin bangsa. Cak Nur menuntut pemerintah untuk membersihkan nama baik demokrasi. Purifikasi demokrasi ini, tentu saja, berarti pemerintah harus membuka pintu untuk golongan Islam. Bagi Masyumi itu artinya rehabilitasi partai.

Sampai di sini Cak Nur masih konsisten mengusung Islam sebagai ideologi dan mendukung upaya rehabilitasi partai Masyumi, partai yang “meramaikan” Majelis Konstituante dengan “Negara Islam”nya, yang bersikukuh mengembalikan Piagam Jakarta sebagai dasar negara, dan yang membuat lelah pemerintah karena dukungannya pada gerakan-gerakan pemberontakan.[11] Ketika itu, Islam adalah pesaing sejati segala “isme” dari Barat[12], dan Masyumi adalah perwujudannya di kancah politik praktis, sementara Cak Nur adalah pemimpin tertinggi organisasi kemahasiswaan Islam. Dalam artikelnya, Cak Nur menginginkan umat Islam untuk kuat menjaga barisan dalam “perjuangan berat” ini, terus berusaha sembari menanti pertolongan Allah “Waliyyul Mu’minin.” Inilah ideal-moral artikel Cak Nur, ditilik dari konteks sosio-politiknya, yakni berusaha menjaga integrasi umat Islam.[13] Mungkin Cak Nur mengira bahwa keberlangsungan hidup bagi umat Islam dalam arus modernisasi ada dalam integrasi.

Awal Inkonsistensi?

Pada akhirnya, Soeharto memang tidak mengikutsertakan kelompok Islam manapun dalam pemerintahan yang dibentuknya, kecuali individu-individu yang dianggap akomodatif. Suasana yang semula dijejali optimisme baru menyusul runtuhnya rezim lama dan komunis di satu sisi, dan terjadinya dislokasi politik Islam pada tingkat nasional di sisi lain, telah menimbulkan kekecewaan relatif pada kaum Muslim.[14] Berkaca pada kondisi tersebut, siapa pun tidak bisa melihat masa depan cerah prospek Islam dalam proses modernisasi. Bagaimana dengan Cak Nur? Pada 2 Januari 1970, Cak Nur kembali tampil memberikan “jawaban Islam” dalam Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. “Anak Kandung Masyumi” ini telah cukup lama menyadari beberapa penghambat partisipasi umat Islam dalam proses demokrasi.[15] Di sinilah titik mula terjadinya perubahan dalam gagasan-gagasan Cak Nur, yang kelak bertelur menjadi gagasan sekularisasi, dan memaksanya kehilangan simpatisan, baik dari kalangan pemimpin-pemimpin Islam Masyumi khususnya, dan kaum tradisionalis umumnya. Jika dalam artikel sebelumnya Cak Nur resah dengan kondisi periferal umat Islam yang ditengarai sengaja dipojokkan dalam “perang pemikiran,” dalam Keharusan Pembaruan dia justru resah pada umat Islam an sich. Cak Nur amat menyayangkan sikap tidak luwes, prinsipalis, dan keras kepala dari para pemimpin Masyumi yang selalu saja tidak mau sebarisan dengan pemerintah.[16] Cak Nur benar-benar berubah, setidaknya demikian penampakannya, karena berbeda dari Modernisasi ialah Rasionalisasi di mana integrasi menjadi ideal-moral-nya dan berupaya meng-endorse ideologi Islam, kini itu semua ditanggalkan. Dalam Keharusan Pembaruan, Cak Nur mengajukan proyek pembaruan pemikiran Islam, karena umat telah mengalami kejumudan dan kehilangan psycologycal striking force (daya tonjok psikologis) dalam perjuangannya. Cak Nur tidak bisa menolerir kebekuan pemikiran dalam usaha-usaha integrasi. Di tengah inkompatibilitas itu, dia memilih pembaruan bukan integrasi.[17]

Menurut Dawam Rahardjo, Cak Nur cukup konsisten dalam setiap gagasannya,[18] tesis yang kontradiktif dengan suara kalangan tradisionalis Islam seperti H.M. Rasjidi.[19] Bagi Dawam, meski menegaskan proyek pembaruan dan sekularisasi, Cak Nur tidak keluar dari kecenderungan intelektualnya seperti yang dituduhkan. Dawam mengatakan konsistensi ini muncul dari pandangan monoteisme radikal yang dianut Cak Nur.[20] Memang, baik dalam Modernisasi ialah Rasionalisasi maupun dalam Keharusan Pembaruan, Cak Nur terus saja mendasari argumennya pada doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Modernisasi dia menolak mentah-mentah sekularisme dan westernisme karena ketidak-bertuhanannya, sementara dalam Keharusan dia menolak sakralisasi pada selain Tuhan dan menuntut adanya sekularisasi. Masih tesis Dawam, bahwa gagasan pembaruan Cak Nur seperti yang tertuang dalam Keharusan dan dalam Menyegarkan Paham Keagamaan merupakan kontinuasi tesis Cak Nur sendiri bahwa “modernisasi ialah rasionalisasi.”[21] Dalam ketiganya, Cak Nur konsisten bahwa Islam mustahil bertentangan dengan modernitas karena rasionalisasi sebagai unsur utamanya justru datang dari nilai-nilai Islam. Muslim adalah orang yang progresif dan selalu dinamis, karena begitulah perintah Tuhan dalam kitab suci[22], karena segala sesuatunya berkembang, yang mutlak hanya Tuhan[23], dan karena prinsip amal saleh membuat seorang Muslim harus memahami segenap hukum alam demi menciptakan kemajuan.[24]

Konsistensi Idea of Progress

Meski begitu, tetap saja Cak Nur tampak tidak konsisten. Memang menurut Dawam, Cak Nur konsisten dalam tesis “modernisasi ialah rasionalisasi,” tapi kemana tesis satunya lagi bahwa “modernisasi bukan westernisasi”? Untuk tesis kedua ini inkonsistensi Cak Nur tampak jelas. Jika dalam artikel Modernisasi dia begitu kencang “menonjok” segala “isme” dari Barat, dalam proyek pembaruannya Cak Nur justru mengajukan liberalisasi, sekularisasi, mengapresiasi liberalisme, meng-endorse segala proyek liberating attitude, dan mengungkap kejumudan organisasi-organisasi Islam. Inikah original meaning yang kita cari? Sudah sampaikah kita untuk menyimpulkan inkonsistensi Cak Nur dalam segenap kontroversi yang dibuatnya? Ternyata tidak sama sekali. Hingga Cak Nur menggagas gerakan pembaruan dan sekularisasi, semuanya cukup konsisten, meski jelas dia tidak lagi memihak “modernisasi bukan westernisasi.” Konsistensi yang dimaksud bukan seperti tesis Dawam bahwa itu diinspirasi oleh doktrin monoteisme radikal. Konsistensi itu ada dalam doktrin idea of progress yang sejak awal tampak menjadi grand design pemikiran Cak Nur.

Sebagaimana doktrin ini berada di tangan para penggagasnya, Cak Nur percaya pada kemajuan yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Kemajuan yang diraih dalam rangka memenuhi kebahagiaan dan kesejahteraannya. Kemajuan yang merupakan proses pencerahan di mana manusia punya kepercayaan diri yang besar terhadap kemampuan dirinya, terutama berkat ilmu pengetahuan, sebagaimana diungkap Kant. Juga sama halnya dengan Darwin dalam teori evolusi yang mempercayai kemajuan dalam evolusi alam melalui mekanisme survival of the fittest. Gagasan yang juga membingkai mode of production-nya Marx, yang diilhami oleh dialektika Hegel, pula sama dengan Darwinisme sosial a la Spencer dan evolusi kepercayaan Durkheim.[25] Melalui corak ini, Cak Nur menyelaraskan konsep fitrah dan hanif dengan progresivitas dan dinamisme, bahwa sudah menurut ciptaan asalnya oleh Tuhan, manusia akan cenderung pada kebenaran. Baik dalam Modernisasi ialah Rasionalisasi maupun Keharusan Pembaruan, dan gagasan lain sesudahnya yang terus ditelurkan Cak Nur, pandangan optimis idea of progress ini menjadi frame pemikirannya. Searah dengan para sesepuh idea of progress abad 18 dan 19, Cak Nur mengukuhkan liberalisme sebagai dasar bagi kemajuan. Manusia dibiarkan bebas dalam free market of ideas, agar setiap gagasan yang muncul bersaing dengan sehat.[26] Rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi hakim bagi gagasan mana yang akan terpilih. Untuk itu optimalisasi rasio, kemampuan membaca hukum-hukum alam (baca: science), dan kesediaan belajar dari mana saja menjadi penting menurut Cak Nur jika umat Islam mau mencapai kebenaran dan kemajuan.

Yang paling mencolok antara Modernisasi ialah Rasionalisasi dengan Keharusan Pembaruan adalah berubahnya paradigma Cak Nur dari ideology-oriented yang diakuinya sendiri sebagai paradigma tertutup, kepada paradigma scientific-oriented, atau lebih tepat paradigma sekularisasi. Paradigm shift ini merupakan konsekuensi logis bagi seorang yang konsisten pada doktrin idea of progress. Melalui paradigma demikian Cak Nur mengajak umat Islam untuk mau dan mampu melihat realitas sebagaimana adanya, tanpa memberikan penilaian berlebih (sakralisasi). Dalam urusan ini Cak Nur bahkan mengimbau untuk bersedia belajar dari komunisme. Dengan paradigma sekularisasi ini, sebagai salah satu upaya liberalisasi, Cak Nur menanggalkan sikap reaksionernya dalam menghadapi ideologi-ideologi besar Barat,[27] lebih dari itu, dia justru menyintesiskannya dengan ajaran-ajaran asasi Islam. Siapa sangka sekularisasi, bagi Cak Nur, berasal dari keimanan tauhid yang mendalam, atau, seperti istilah Dawam, monotesime radikal. Pada masa ketika teori-teori sekularisme dan sekularisasi dianggap sebagai senjata terampuh “menghabisi” agama, Cak Nur justru mengawinkannya.

Civic Values

Kualitas demokrasi suatu negara bergantung pada apa yang oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba sebut “budaya kewargaan.”[28] Menurut kedua sarjana ilmu politik ini, masyarakat yang memiliki modal budaya yang mendukung nilai-nilai kewargaan (civic values) cenderung bisa berdemokrasi dengan baik. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki tradisi civic yang rendah akan sulit menghadirkan demokrasi berkualitas. Civic values adalah sekumpulan nilai yang dianut masyarakat dalam berpartisipasi dan berinteraksi sesama mereka. Di antara civic values ini adalah rasa bangga menjadi warga negara, mampu mengemukakan pandangan secara bebas, terlibat dalam pemilihan, toleran terhadap kelompok berbeda, mampu bekerja sama, saling percaya, dan berpartisipasi aktif dalam politik.[29]

Inilah alasan mengapa dalam proyek pembaruannya, Cak Nur memberikan penafsiran ulang dan baru pada tradisi politik Islam. Tidak sedikit kalangan Muslim progresif lain menilai Cak Nur agak apologetis dalam pembaruannya, karena coba “mencocokkan” ide-ide modern yang mapan dengan tradisi Islam.[30] Tapi akan lain ceritanya jika dilihat melalui urgensi civic values. Dengan mengutip Robert N. Bellah[31] hingga pemikir Renaissance Giovani Pico della Mirandola[32], Cak Nur menunjukkan bahwa tradisi kemodernan inheren dalam Islam. Mulai dari masyarakat demokratis Nabi dan empat khalifah suksesornya, hingga basis-basis humanisme modern seperti ajaran tentang manusia sebagai makhluk tertinggi yang diurai Pico pada 1486 dalam Oratio de Hominis Dignitate yang diilhami karya-karya kaum Muslim, semua dielaborasi Cak Nur untuk menanamkan optimisme progresif pada diri umat Islam Indonesia sebagai civic values. Elaborasi Cak Nur, Bellah maupun Pico, serupa dengan logika Weberian yang optimistis melihat nilai-nilai kemajuan dalam tradisi agama. Cak Nur bukan sedang berapologi, tetapi mencoba mengadaptasikan nilai-nilai Islam dengan kemodernan. Karena, seperti kata John Maynard Keynes, ekonom Inggris ternama, “the difficult lies, not in the new ideas, but in escaping the old ones.”[33] Menerima demokrasi memang mudah, tapi sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan lama yang diwarisi selama ribuan tahun.[34] Cak Nur membimbing umat Islam Indonesia untuk ikut berpartisipasi dengan berusaha menyintesiskan tradisi Islam, demokrasi dan kemodernan.[35] Dalam Menyegarkan Paham, Cak Nur meruntuhkan warisan penghambat partisipasi itu, yakni Apologi Negara Islam. Sebelumnya, dalam Keharusan Pembaruan, selain meruntuhkan sakralitas partai politik melalui Islam, yes Partai Islam, no, Cak Nur juga melandaskan prinsip liberalisme dan free market of ideas kepada ayat suci Al-Quran, bahwa umat Islam harus bersedia “mendengarkan segala ide dan mengikuti yang terbaik,”[36] dan bahwa sikap terbuka merupakan salah satu tanda seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit,”[37] adalah salah satu tanda kesesatan. Ini terus berkembang hingga Cak Nur kembali menyiapkan modal civic values yang lebih prinsipal bagi umat Islam Indonesia pada 1992 dengan teologi inklusif-nya.[38] Dilandasi idea of progress yang tumbuh dalam terma liberalisasi dan sekularisasi, Cak Nur menunjukkan bahwa cross cultural fertilization[39] dapat terjadi antara Muslim dengan non-Muslim (baca: Barat), sebagai upaya menumbuhkan civic cultures.

Penutup (Re-Invent the Wheel)

Pada akhirnya realitas berpihak pada Cak Nur. Segala kekhawatiran akan sekularisasi dan ancaman tergerusnya golongan agama dalam proses modernisasi urung terjadi. Sebaliknya, teori sekularisme klasik mulai dikoreksi dan dunia kita sekarang justru menunjukkan gejala-gejala “kebangkitan” agama. Fakta menunjukkan bahwa agama punya pengaruh yang tidak remeh dalam kehidupan. Teori sekularisme dulu juga mengatakan bahwa pluralisme dan multikulturalisme sebagai produk modernisasi akan semakin melemahkan posisi sosial agama. Ternyata hal ini pun terbantahkan, seperti yang tertuang dalam teori Identitas Subkultural dan Ekonomi Agama. Di sini justru terungkap bahwa di tengah masyarakat modern yang pluralistik, agama terus bertahan dan tumbuh subur dengan melekatkan diri ke dalam sub-subkultur yang menawarkan identitas kolektif yang berorientasi moral.[40] Tapi jika dalam teori-teori tersebut agama dianggap mampu eksis, sejatinya eksistensi itu tidak lain hanya efek aksidental dari proses sejarah dan politik, sehingga kita mengenal dua wajah agama saat ini: “ramah” dan “marah.” Wajah “marah” yang tercermin dalam sikap fundamentalisme agama itulah terutama ekses negatif dari efek aksidental ini. Sementara bagi Cak Nur, bukan jalur aksidental yang harus ditempuh, melainkan jalur kesadaran penuh. Dalam segenap proyek pembaruannya, Cak Nur berusaha membuat umat Islam mau berpartisipasi dalam dunia modern secara sadar, bukan sebagai korban aksiden, melainkan pelaku utama. Cak Nur merombak tatanan berpikir lama yang eksklusif, tertutup dan cenderung antagonistik. Sebaliknya, dia menawarkan paradigma open-minded, melihat kelebihan-kelebihan dalam ide manapun, bersedia belajar darinya, sambil ikut menyumbangkan ide-ide sendiri dalam proses pembangunan. Bagi Cak Nur, “Akan memboroskan waktu dan tenaga, bahkan sia-sia jika terkungkung oleh pemikiran dalam pola berusaha “menemukan kembali roda” (re-invent the wheel). Perintah agama agar manusia mengembara di bumi dan mengambil pelajaran dari umat-umat yang telah lewat adalah penegasan tentang tidak dibenarkannya pikiran nativisme dan atavisme.”[41] Konsistensi idea of progress Cak Nur seperti yang sudah diuraikan, berhasil menyintesiskan keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. []

 

[1] Istilah M. Dawam Rahardjo untuk menamai upaya Cak Nur dalam artikel “Modernisasi”nya. Lihat, M. Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, pengantar untuk Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2013) hlm. 22.

[2] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hh. 82 – 83.

[3] Nurcholish Madjid, Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi, dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan.hh. 207 – 46.

[4] Julukan bernada optimis untuk Cak Nur yang beredar sekitar tahun 1966 – 1970, lihat Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1960) h. 118.

[5] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS), h. 325.

[6] Ideology-oriented, istilah yang dipakai Cak Nur dalam “Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi” untuk membela kecenderungan alur pikirnya yang “menonjolkan” ideologi Islam, namun secara tidak langsung disetujuinya sebagai alur pikir yang tertutup (sempit).

[7] Karya-karya ini secara lengkap dan baik sekali terdokumentasikan dalam satu jilid karya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan.

[8] Istilah Dawam Rahardjo untuk menggambarkan tarik-menarik tanggapan terhadap Cak Nur yang dinilai berubah secara fundamental dalam pemikirannya, lihat Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi. Istilah lain adalah “Muslim Idealis,” “Nurcholish sebelum Nurcholish yang pembaru,” dan “Natsir Muda,” lihat Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses, hh. 21 – 30, 118.

[9] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hh. 38 – 39, 81.

[10] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi.

[11] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hh. 36 – 54.

[12] Terutama dalam landasan moralnya yang dikonfrontir oleh Cak Nur sebagai bertuhan vis a vis anti-tuhan.

[13] Sepanjang dasawarsa 1960-an dan awal 1970-an isu yang paling menonjol di kalangan umat Islam adalah perpecahan/disintegrasi yang diakibatkan oleh baik perbedaan aliran maupun perbedaan dalam menyikapi isu modernisasi dan pembangunan. Lihat, Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholsih Madjid, hlm. 82.

[14] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 82.

[15] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hh. 42 – 54.

[16] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hh. 51 – 52.

[17] Nurcholish Madjid, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. hh. 247 – 259.

[18] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisme.

[19] Lihat H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972).

[20] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisme.

[21] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisme.

[22] Nurcholish Madjid, Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi

[23] Nurcholish Madjid, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat

[24] Nurcholish Madjid, Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.

[25] M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom Intitute, 2012), hh. 33 – 37.

[26] Nurcholish Madjid, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Bandingkan dengan Muhammad Chatib Basri, Ide Agama Mirip dengan Pasar, dalam www.islamlib.com

[27] Dalam artikel Modernisasi ialah Rasionalisasi sikap ini tampak jelas ketika Cak Nur membahas segala “isme” dari Barat, selain tidak lupa untuk menekankan kemungkinan kebenaran dalam “isme-isme” tersebut.

[28] Gabriel A. Almond & Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1963)

[29] Luthfi Assyaukanie, Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, dalam www.islamlib.com dan civic values dalam www.billofrightsinstitute.com

[30] Lihat misalnya, Saidiman Ahmad, Monisme Pembaruan Cak Nur, dalam www.islamlib.com

[31] Lihat Nurcholish Madjid, Akar Islam: Beberapa Segi Budaya dan Kemungkinan Pengembangannya bagi Masa Depan Bangsa, dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hh. 81 – 94.

[32] Lihat Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hh.67 – 68.

[33] John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (Cambridge: Macmillan Cambridge University Press, 1936), dalam www.marxist.org

[34] Luthfi Assyaukanie, Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia.

[35] Seperti yang dengan baik diteorisasikan menjadi Islamo-democracy oleh Mustafa Akyol dalam Islam Without Extremes, A Muslim Case for Liberty (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2011). Lihat juga Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Universitas Indonesia, master thesis).

[36] QS. Az-Zumar (39): 18.

[37] QS. Al-An’am (6): 125.

[38] Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No. 1, Vol. IV, Th. 1993, hh. 4 – 25. Ini merupakan naskah pidato Cak Nur yang disampaikan pada 21 Oktober 1992 di Taman Ismail Marzuki dalam peringatan 20 tahun pembaruan Islam.

[39] Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, hh. 8 dan 99.

[40] Sosiologi Agama, Christian Smith dan Robert D. Woodberry, dalam George Ritzer (ed.), The Wiley Blackwell Companion to Sociology (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hh.  619 – 641.

[41] Nurcholsih Madjid, Indonesia Kita, h. 181.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun