Mohon tunggu...
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd Mohon Tunggu... -

Graduated from Islamic Studies Department State University of Jakarta. Student at Medrese Suleymaniyye, Turkey.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inkonsistensi Nurcholish Madjid?

27 September 2015   23:06 Diperbarui: 27 September 2015   23:44 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut Dawam Rahardjo, Cak Nur cukup konsisten dalam setiap gagasannya,[18] tesis yang kontradiktif dengan suara kalangan tradisionalis Islam seperti H.M. Rasjidi.[19] Bagi Dawam, meski menegaskan proyek pembaruan dan sekularisasi, Cak Nur tidak keluar dari kecenderungan intelektualnya seperti yang dituduhkan. Dawam mengatakan konsistensi ini muncul dari pandangan monoteisme radikal yang dianut Cak Nur.[20] Memang, baik dalam Modernisasi ialah Rasionalisasi maupun dalam Keharusan Pembaruan, Cak Nur terus saja mendasari argumennya pada doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Modernisasi dia menolak mentah-mentah sekularisme dan westernisme karena ketidak-bertuhanannya, sementara dalam Keharusan dia menolak sakralisasi pada selain Tuhan dan menuntut adanya sekularisasi. Masih tesis Dawam, bahwa gagasan pembaruan Cak Nur seperti yang tertuang dalam Keharusan dan dalam Menyegarkan Paham Keagamaan merupakan kontinuasi tesis Cak Nur sendiri bahwa “modernisasi ialah rasionalisasi.”[21] Dalam ketiganya, Cak Nur konsisten bahwa Islam mustahil bertentangan dengan modernitas karena rasionalisasi sebagai unsur utamanya justru datang dari nilai-nilai Islam. Muslim adalah orang yang progresif dan selalu dinamis, karena begitulah perintah Tuhan dalam kitab suci[22], karena segala sesuatunya berkembang, yang mutlak hanya Tuhan[23], dan karena prinsip amal saleh membuat seorang Muslim harus memahami segenap hukum alam demi menciptakan kemajuan.[24]

Konsistensi Idea of Progress

Meski begitu, tetap saja Cak Nur tampak tidak konsisten. Memang menurut Dawam, Cak Nur konsisten dalam tesis “modernisasi ialah rasionalisasi,” tapi kemana tesis satunya lagi bahwa “modernisasi bukan westernisasi”? Untuk tesis kedua ini inkonsistensi Cak Nur tampak jelas. Jika dalam artikel Modernisasi dia begitu kencang “menonjok” segala “isme” dari Barat, dalam proyek pembaruannya Cak Nur justru mengajukan liberalisasi, sekularisasi, mengapresiasi liberalisme, meng-endorse segala proyek liberating attitude, dan mengungkap kejumudan organisasi-organisasi Islam. Inikah original meaning yang kita cari? Sudah sampaikah kita untuk menyimpulkan inkonsistensi Cak Nur dalam segenap kontroversi yang dibuatnya? Ternyata tidak sama sekali. Hingga Cak Nur menggagas gerakan pembaruan dan sekularisasi, semuanya cukup konsisten, meski jelas dia tidak lagi memihak “modernisasi bukan westernisasi.” Konsistensi yang dimaksud bukan seperti tesis Dawam bahwa itu diinspirasi oleh doktrin monoteisme radikal. Konsistensi itu ada dalam doktrin idea of progress yang sejak awal tampak menjadi grand design pemikiran Cak Nur.

Sebagaimana doktrin ini berada di tangan para penggagasnya, Cak Nur percaya pada kemajuan yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Kemajuan yang diraih dalam rangka memenuhi kebahagiaan dan kesejahteraannya. Kemajuan yang merupakan proses pencerahan di mana manusia punya kepercayaan diri yang besar terhadap kemampuan dirinya, terutama berkat ilmu pengetahuan, sebagaimana diungkap Kant. Juga sama halnya dengan Darwin dalam teori evolusi yang mempercayai kemajuan dalam evolusi alam melalui mekanisme survival of the fittest. Gagasan yang juga membingkai mode of production-nya Marx, yang diilhami oleh dialektika Hegel, pula sama dengan Darwinisme sosial a la Spencer dan evolusi kepercayaan Durkheim.[25] Melalui corak ini, Cak Nur menyelaraskan konsep fitrah dan hanif dengan progresivitas dan dinamisme, bahwa sudah menurut ciptaan asalnya oleh Tuhan, manusia akan cenderung pada kebenaran. Baik dalam Modernisasi ialah Rasionalisasi maupun Keharusan Pembaruan, dan gagasan lain sesudahnya yang terus ditelurkan Cak Nur, pandangan optimis idea of progress ini menjadi frame pemikirannya. Searah dengan para sesepuh idea of progress abad 18 dan 19, Cak Nur mengukuhkan liberalisme sebagai dasar bagi kemajuan. Manusia dibiarkan bebas dalam free market of ideas, agar setiap gagasan yang muncul bersaing dengan sehat.[26] Rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi hakim bagi gagasan mana yang akan terpilih. Untuk itu optimalisasi rasio, kemampuan membaca hukum-hukum alam (baca: science), dan kesediaan belajar dari mana saja menjadi penting menurut Cak Nur jika umat Islam mau mencapai kebenaran dan kemajuan.

Yang paling mencolok antara Modernisasi ialah Rasionalisasi dengan Keharusan Pembaruan adalah berubahnya paradigma Cak Nur dari ideology-oriented yang diakuinya sendiri sebagai paradigma tertutup, kepada paradigma scientific-oriented, atau lebih tepat paradigma sekularisasi. Paradigm shift ini merupakan konsekuensi logis bagi seorang yang konsisten pada doktrin idea of progress. Melalui paradigma demikian Cak Nur mengajak umat Islam untuk mau dan mampu melihat realitas sebagaimana adanya, tanpa memberikan penilaian berlebih (sakralisasi). Dalam urusan ini Cak Nur bahkan mengimbau untuk bersedia belajar dari komunisme. Dengan paradigma sekularisasi ini, sebagai salah satu upaya liberalisasi, Cak Nur menanggalkan sikap reaksionernya dalam menghadapi ideologi-ideologi besar Barat,[27] lebih dari itu, dia justru menyintesiskannya dengan ajaran-ajaran asasi Islam. Siapa sangka sekularisasi, bagi Cak Nur, berasal dari keimanan tauhid yang mendalam, atau, seperti istilah Dawam, monotesime radikal. Pada masa ketika teori-teori sekularisme dan sekularisasi dianggap sebagai senjata terampuh “menghabisi” agama, Cak Nur justru mengawinkannya.

Civic Values

Kualitas demokrasi suatu negara bergantung pada apa yang oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba sebut “budaya kewargaan.”[28] Menurut kedua sarjana ilmu politik ini, masyarakat yang memiliki modal budaya yang mendukung nilai-nilai kewargaan (civic values) cenderung bisa berdemokrasi dengan baik. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki tradisi civic yang rendah akan sulit menghadirkan demokrasi berkualitas. Civic values adalah sekumpulan nilai yang dianut masyarakat dalam berpartisipasi dan berinteraksi sesama mereka. Di antara civic values ini adalah rasa bangga menjadi warga negara, mampu mengemukakan pandangan secara bebas, terlibat dalam pemilihan, toleran terhadap kelompok berbeda, mampu bekerja sama, saling percaya, dan berpartisipasi aktif dalam politik.[29]

Inilah alasan mengapa dalam proyek pembaruannya, Cak Nur memberikan penafsiran ulang dan baru pada tradisi politik Islam. Tidak sedikit kalangan Muslim progresif lain menilai Cak Nur agak apologetis dalam pembaruannya, karena coba “mencocokkan” ide-ide modern yang mapan dengan tradisi Islam.[30] Tapi akan lain ceritanya jika dilihat melalui urgensi civic values. Dengan mengutip Robert N. Bellah[31] hingga pemikir Renaissance Giovani Pico della Mirandola[32], Cak Nur menunjukkan bahwa tradisi kemodernan inheren dalam Islam. Mulai dari masyarakat demokratis Nabi dan empat khalifah suksesornya, hingga basis-basis humanisme modern seperti ajaran tentang manusia sebagai makhluk tertinggi yang diurai Pico pada 1486 dalam Oratio de Hominis Dignitate yang diilhami karya-karya kaum Muslim, semua dielaborasi Cak Nur untuk menanamkan optimisme progresif pada diri umat Islam Indonesia sebagai civic values. Elaborasi Cak Nur, Bellah maupun Pico, serupa dengan logika Weberian yang optimistis melihat nilai-nilai kemajuan dalam tradisi agama. Cak Nur bukan sedang berapologi, tetapi mencoba mengadaptasikan nilai-nilai Islam dengan kemodernan. Karena, seperti kata John Maynard Keynes, ekonom Inggris ternama, “the difficult lies, not in the new ideas, but in escaping the old ones.”[33] Menerima demokrasi memang mudah, tapi sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan lama yang diwarisi selama ribuan tahun.[34] Cak Nur membimbing umat Islam Indonesia untuk ikut berpartisipasi dengan berusaha menyintesiskan tradisi Islam, demokrasi dan kemodernan.[35] Dalam Menyegarkan Paham, Cak Nur meruntuhkan warisan penghambat partisipasi itu, yakni Apologi Negara Islam. Sebelumnya, dalam Keharusan Pembaruan, selain meruntuhkan sakralitas partai politik melalui Islam, yes Partai Islam, no, Cak Nur juga melandaskan prinsip liberalisme dan free market of ideas kepada ayat suci Al-Quran, bahwa umat Islam harus bersedia “mendengarkan segala ide dan mengikuti yang terbaik,”[36] dan bahwa sikap terbuka merupakan salah satu tanda seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit,”[37] adalah salah satu tanda kesesatan. Ini terus berkembang hingga Cak Nur kembali menyiapkan modal civic values yang lebih prinsipal bagi umat Islam Indonesia pada 1992 dengan teologi inklusif-nya.[38] Dilandasi idea of progress yang tumbuh dalam terma liberalisasi dan sekularisasi, Cak Nur menunjukkan bahwa cross cultural fertilization[39] dapat terjadi antara Muslim dengan non-Muslim (baca: Barat), sebagai upaya menumbuhkan civic cultures.

Penutup (Re-Invent the Wheel)

Pada akhirnya realitas berpihak pada Cak Nur. Segala kekhawatiran akan sekularisasi dan ancaman tergerusnya golongan agama dalam proses modernisasi urung terjadi. Sebaliknya, teori sekularisme klasik mulai dikoreksi dan dunia kita sekarang justru menunjukkan gejala-gejala “kebangkitan” agama. Fakta menunjukkan bahwa agama punya pengaruh yang tidak remeh dalam kehidupan. Teori sekularisme dulu juga mengatakan bahwa pluralisme dan multikulturalisme sebagai produk modernisasi akan semakin melemahkan posisi sosial agama. Ternyata hal ini pun terbantahkan, seperti yang tertuang dalam teori Identitas Subkultural dan Ekonomi Agama. Di sini justru terungkap bahwa di tengah masyarakat modern yang pluralistik, agama terus bertahan dan tumbuh subur dengan melekatkan diri ke dalam sub-subkultur yang menawarkan identitas kolektif yang berorientasi moral.[40] Tapi jika dalam teori-teori tersebut agama dianggap mampu eksis, sejatinya eksistensi itu tidak lain hanya efek aksidental dari proses sejarah dan politik, sehingga kita mengenal dua wajah agama saat ini: “ramah” dan “marah.” Wajah “marah” yang tercermin dalam sikap fundamentalisme agama itulah terutama ekses negatif dari efek aksidental ini. Sementara bagi Cak Nur, bukan jalur aksidental yang harus ditempuh, melainkan jalur kesadaran penuh. Dalam segenap proyek pembaruannya, Cak Nur berusaha membuat umat Islam mau berpartisipasi dalam dunia modern secara sadar, bukan sebagai korban aksiden, melainkan pelaku utama. Cak Nur merombak tatanan berpikir lama yang eksklusif, tertutup dan cenderung antagonistik. Sebaliknya, dia menawarkan paradigma open-minded, melihat kelebihan-kelebihan dalam ide manapun, bersedia belajar darinya, sambil ikut menyumbangkan ide-ide sendiri dalam proses pembangunan. Bagi Cak Nur, “Akan memboroskan waktu dan tenaga, bahkan sia-sia jika terkungkung oleh pemikiran dalam pola berusaha “menemukan kembali roda” (re-invent the wheel). Perintah agama agar manusia mengembara di bumi dan mengambil pelajaran dari umat-umat yang telah lewat adalah penegasan tentang tidak dibenarkannya pikiran nativisme dan atavisme.”[41] Konsistensi idea of progress Cak Nur seperti yang sudah diuraikan, berhasil menyintesiskan keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. []

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun