Sudah satu bulan lebih setelah Arini bergelar Sarjana Pendidikan sedang berada di desanya. Kedua orang tua tercinta menginginkannya tetap tinggal di kota.Â
Arini memperoleh Sarjana Pendidikan dari salah satu kampus Negeri yang ada di Kota Medan. Akan tetapi, ada sesuatu hal membuat ia menetapkan pilihan untuk tinggal di desanya yang sangat tertinggal.
Belajar di kampus dan berorganisasi selama empat tahun kurang lebih membuat mentalnya kuat serta pengetahuannya luas. Walau sebagai seorang perempuan, menurutnya tidak ada halangan untuk mengabdi pada masyarakat.Â
Baginya seorang perempuan tidak harus ditempatkan di rumah melulu bagai perabotan.Â
Baginya juga, ada kewajiban lain yang bisa membantu kerja laki-laki untuk menegakkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat. Bukankah laki-laki dan perempuan sama di hadapan Tuhan, yang membedakannya hanyalah takwa? Demikian falsafah hidup yang terus ia pegang.
"Nak..." tegur ibunya saat hendak menikmati makan malam.
"Iya, Bu," sahut Arini dengan suara lembut.
Kelembutan nada suaranya sebanding dengan kelembutan hatinya. Wajahnya yang putih bersih selalu memancarkan cahaya kesejukan. Keindahan parasnya selalu alami dan tidak tersentuh oleh lipstik. Bibir terukir indah walau tidak pernah digores oleh gincu.Â
Sewaktu prosesi wisuda pun, Arini tetap mempertahankan kealamian wajahnya. Menurutnya, cantik dari dalam akan memancarkan kecantikan pada bagian luar.
Keramahan dan kelembutannya adalah kunci kekuatannya. Mungkin pun setiap perempuan demikian, tetapi banyak yang tertipu, sibuk memoles bagian luar, tapi lupa bagian dalam mulai membusuk.
"Kamu 'kan sudah selesai kuliah, Nak? Sudah menjadi Sarjana?"
"Sudah dong, Bu. 'Kan Ibu sama Ayah datang waktu wisuda."
"Maksud Ibu sama Ayah, begini Nak," suara ibunya ramah.
"Kamu 'kan sudah tamat dan sudah mendapat gelar sarjana. Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan atau menjadi guru aja di kota. Di Medan, tempatmu kuliah 'kan pasti banyak sekolah yang menerima guru."
Arini menatap wajah ibunya yang sudah mulai tampak ada garis keriput. Ia hanya tersenyum manis tanpa menjawab. Arini anak terakhir dari lima bersaudara, dan ia satu-satunya perempuan.
"Kalau kamu guru di sini, gajinya kecil. Apa lagi kamu tidak PNS," kata ibunya lagi.
Arini pun mendekati ibunya sambil tersenyum manis. "Begini, Bu. Di desa kita ini 'kan sangat kekurangan guru. Pak Anwar, sebagai Kepala Sekolah SD di desa kita ini membutuhkan guru." Kali ini Arini berkata lembut sambil menaruh tangan lembutnya di atas punggung telapak tangan ibunya.
Pak Anwar adalah gurunya sewaktu masih SD. Secara kekeluargaan juga masih dekat dengan mereka. Kepala Sekolah yang menua itu baginya bukan hanya sekedar guru sekolah, tapi juga sebagai motivator dan inspiratornya.
"Benar itu kata Ibumu." Tiba-tiba ayahnya ikut nimbrung yang sedari tadi khusyuk membaca buku bercocok tanam.
Arini pun menatap ramah dan lembut pada ayahnya. Lagi-lagi senyuman indah yang penuh cahaya itu tambah bersinar lagi.
"Jadi guru di sini gajinya tidak seberapa. Guru honor itu gajinya kecil. Syukur-syukur bisa gajian tepat waktu," kata ayahnya.
"Arini tidak cari gaji, Ayah. Bukan itu tujuan Arini nanti mengajar," tangan lembut itu tidak lagi memegang punggung telapak tangan ibunya.
"Mana ada guru yang tak mengharapkan gaji saat ini," cetus sang ayah.
"Arini mau mengabdi di desa ini, Yah," ia mengutarakan niat baiknya. "Bukankah, Ayah dulu juga guru di sini?" Arini meneguhkan ingin seperti ayahnya.
Sang Ayah dahulu guru honor di SD Arini. Karena gajinya yang sedikit, tidak bisa membelanjai kebutuhan keluarga, akhirnya sang Ayah banting stir menjadi petani. Penghasilannya masih lebih lumayan.Â
Sebenarnya, Ayah Arini sangat menyukai pendidikan. Sangat senang untuk mengajar anak-anak. Bagi Ayahnya, anak-anak adalah aset terbesar bangsa. Apabila aset tersebut tidak dijaga dan diberikan pendidikan yang baik, maka negara dan bangsa akan hancur.
Jika hendak jujur pada hati, sang Ayah bangga dengan pilihan putrinya itu. Mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Menjadi guru di desa kecil. Tidak mengejar gaji, sehingga mengutamakan subtansi pendidikan daripada materi, serta membangun aset bangsa.Â
Akan tetapi, melihat ekonomi mereka yang sulit, melihat realita yang ada, falsafah itu pun perlahan redup dari Ayah Arini. Belum lagi, pandangan masyarakat di desanya, apabila sudah sarjana seharusnya harus tinggal dan bekerja di kota.
"Zaman sekarang, pengabdian itu tak lagi bernilai, Nak," Sang Ibu menanggapi dengan pesimis. "Lihatlah Ayahmu!"
Sang Ayah hanya diam, pura-pura tuli mendengar ia dijadikan contoh oleh istrinya.
"Sekarang pengabdian itu tak dihargai oleh banyak orang. Materi dan jabatan lah yang disegani dan dihormati manusia sekarang," terpaksa sang Ayah harus mendukung perkataan istrinya tadi dengan maksud memuluskan permintaan istrinya pada Arini.
"Atau kamu menikah saja, Nak," ibunya memberikan solusi yang sangat tidak berhubungan dengan pembicaraan malam itu.
Wajah Arini mulai memerah. Matanya berkaca-kaca. Ia coba menutupinya dengan beranjak ke dapur entah mengambil apa. Kemudian ia duduk kembali.
"Sebagai orang tua, kami khawatir kamu tak bahagia nantinya." Sang Ibu menatapnya serius.
"Ibu, Ayah," kata Arini sambil menatap keduanya dengan penuh optimisme.Â
"Bukan hendak mengajari Ibu, sama Ayah, pengabdian itu keberhasilannya bukan perkataan atau puji-pujian dari orang. Pengabdian itu biarlah Tuhan sendiri yang membalasnya. Dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur hidup seadanya, itu sudah cukup bagi Arini," tatapannya lembut, pembawaannya tenang dan cahaya sungging senyumnya tidak pernah padam.
"Lihat itu si Tika, anaknya Bu Ayu. Selesai kuliah ia bekerja di kota. Gajinya besar dan kalau pulang sudah membawa mobil. Masyarakat di sini pun sangat menghormati mereka," Sang Ibu membandingkan.
"Setiap orang berbeda pilihannya, Bu. Arini, tidak ingin bekerja di kota atau mengajar di kota, karena di desaku sendiri masih sangat tertinggal pendidikannya."
"Di kampung ini, kamu bisa buat apa Paling-paling kamu bisanya ngajar aja," ketus ayahnya.
"Seperti yang Arini katakan tadi, Ayah. Arini juga 'kan buat les gratis," lagi-lagi ia tersenyum tipis rasa manis.
"Udah gaji sedikit, malah buat les gratis," kata Ibunya agak sinis. "Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayai les gratismu itu? Itukan membutuhkan uang juga?" tanya ibunya menambahi.
"Membutuhkan biaya, tapi tidak banyak, Bu." Sebenarnya orang tua Arini malu kepada masyarakat karena Arini sudah sarjana, pilihannya malah tinggal di kampung. Di desa Arini, masyarakatnya masih berpikiran terbelakang. Mereka menganggap kalau sudah sarjana jangan tinggal lagi di kampung, tapi menetap lah di kota.
Kedua orang tuanya juga khawatir jika putri mereka itu tinggal di desa, siapa yang menjadi suaminya. Sebagai perempuan yang sudah mendapat gelar sarjana, seharusnya ia juga mendapatkan suami seorang sarjana juga. Bagaimana nanti mereka menjawab pertanyaan masyarakat terbelakang itu; sarjana kok suaminya tidak sarjana? Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau masih tinggal di desa
Berbeda dengan Arini, tradisi dan cara pandang yang kolot tersebut harus dilawan, dibongkar, didobrak, dan dibuang ke dalam tong sampah.
"Arini mau membangun kampung kita ini."
"Dari segi mana kamu mau membangunnya?" Sang Ayah bertanya.
"Dari segi pendidikan. Mempersiapkan generasi yang berkualitas, Ayah."
"Huh..., Kepala Desa di sini saja tak peduli itu," melihat usahanya gagal membujuk Arini supaya kembali ke kota, ibunya beranjak bangkit dari tempat duduk.
"Ibu..." Arini memanggil, tapi ibunya sudah berlalu meninggalkan dia dan ayahnya.
"Kalau bukan anak desa sini yang membangun desa kita, siapa lagi, Ayah," Arini meneguhkan prinsipnya di depan sang Ayah.
Perlahan-lahan sang ayah meninggalkannya juga. "Ayah..." suara Arini mencoba menghentikan langkah ayahnya, tapi tetap saja tidak berhasil.
Arini duduk mematung. Satu makanan pun belum ada yang tersentuh. Ia merasakan adanya penolakan dari kedua oran tuanya. Walau ada gelombang penolakan itu, niat baiknya semakin ia kokohkan.
Sesuai apa yang dikatakannya pada kedua orangtuanya, Arini pun menjadi guru dan membuat les gratis. Ia mendapatkan kebahagiaan saat mengajar dan bermain bersama anak-anak.Â
Bunga Melati itu pun tetap melawan cara pandang masyarakat di desa bahwa sarjana itu harus tinggal di kota. Ia tetap teguh pada pendiriannya.Â
Walau hidup sederhana, ia tetap semangat mendidik anak-anak sebagai aset bangsa di masa depan. Dan masalah jodoh, itu adalah kehendak Tuhan.[]
Sbr. Gbr: Pixbay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H