"Arini tidak cari gaji, Ayah. Bukan itu tujuan Arini nanti mengajar," tangan lembut itu tidak lagi memegang punggung telapak tangan ibunya.
"Mana ada guru yang tak mengharapkan gaji saat ini," cetus sang ayah.
"Arini mau mengabdi di desa ini, Yah," ia mengutarakan niat baiknya. "Bukankah, Ayah dulu juga guru di sini?" Arini meneguhkan ingin seperti ayahnya.
Sang Ayah dahulu guru honor di SD Arini. Karena gajinya yang sedikit, tidak bisa membelanjai kebutuhan keluarga, akhirnya sang Ayah banting stir menjadi petani. Penghasilannya masih lebih lumayan.Â
Sebenarnya, Ayah Arini sangat menyukai pendidikan. Sangat senang untuk mengajar anak-anak. Bagi Ayahnya, anak-anak adalah aset terbesar bangsa. Apabila aset tersebut tidak dijaga dan diberikan pendidikan yang baik, maka negara dan bangsa akan hancur.
Jika hendak jujur pada hati, sang Ayah bangga dengan pilihan putrinya itu. Mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Menjadi guru di desa kecil. Tidak mengejar gaji, sehingga mengutamakan subtansi pendidikan daripada materi, serta membangun aset bangsa.Â
Akan tetapi, melihat ekonomi mereka yang sulit, melihat realita yang ada, falsafah itu pun perlahan redup dari Ayah Arini. Belum lagi, pandangan masyarakat di desanya, apabila sudah sarjana seharusnya harus tinggal dan bekerja di kota.
"Zaman sekarang, pengabdian itu tak lagi bernilai, Nak," Sang Ibu menanggapi dengan pesimis. "Lihatlah Ayahmu!"
Sang Ayah hanya diam, pura-pura tuli mendengar ia dijadikan contoh oleh istrinya.
"Sekarang pengabdian itu tak dihargai oleh banyak orang. Materi dan jabatan lah yang disegani dan dihormati manusia sekarang," terpaksa sang Ayah harus mendukung perkataan istrinya tadi dengan maksud memuluskan permintaan istrinya pada Arini.
"Atau kamu menikah saja, Nak," ibunya memberikan solusi yang sangat tidak berhubungan dengan pembicaraan malam itu.