"Kamu 'kan sudah selesai kuliah, Nak? Sudah menjadi Sarjana?"
"Sudah dong, Bu. 'Kan Ibu sama Ayah datang waktu wisuda."
"Maksud Ibu sama Ayah, begini Nak," suara ibunya ramah.
"Kamu 'kan sudah tamat dan sudah mendapat gelar sarjana. Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan atau menjadi guru aja di kota. Di Medan, tempatmu kuliah 'kan pasti banyak sekolah yang menerima guru."
Arini menatap wajah ibunya yang sudah mulai tampak ada garis keriput. Ia hanya tersenyum manis tanpa menjawab. Arini anak terakhir dari lima bersaudara, dan ia satu-satunya perempuan.
"Kalau kamu guru di sini, gajinya kecil. Apa lagi kamu tidak PNS," kata ibunya lagi.
Arini pun mendekati ibunya sambil tersenyum manis. "Begini, Bu. Di desa kita ini 'kan sangat kekurangan guru. Pak Anwar, sebagai Kepala Sekolah SD di desa kita ini membutuhkan guru." Kali ini Arini berkata lembut sambil menaruh tangan lembutnya di atas punggung telapak tangan ibunya.
Pak Anwar adalah gurunya sewaktu masih SD. Secara kekeluargaan juga masih dekat dengan mereka. Kepala Sekolah yang menua itu baginya bukan hanya sekedar guru sekolah, tapi juga sebagai motivator dan inspiratornya.
"Benar itu kata Ibumu." Tiba-tiba ayahnya ikut nimbrung yang sedari tadi khusyuk membaca buku bercocok tanam.
Arini pun menatap ramah dan lembut pada ayahnya. Lagi-lagi senyuman indah yang penuh cahaya itu tambah bersinar lagi.
"Jadi guru di sini gajinya tidak seberapa. Guru honor itu gajinya kecil. Syukur-syukur bisa gajian tepat waktu," kata ayahnya.