Berbeda dengan Arini, tradisi dan cara pandang yang kolot tersebut harus dilawan, dibongkar, didobrak, dan dibuang ke dalam tong sampah.
"Arini mau membangun kampung kita ini."
"Dari segi mana kamu mau membangunnya?" Sang Ayah bertanya.
"Dari segi pendidikan. Mempersiapkan generasi yang berkualitas, Ayah."
"Huh..., Kepala Desa di sini saja tak peduli itu," melihat usahanya gagal membujuk Arini supaya kembali ke kota, ibunya beranjak bangkit dari tempat duduk.
"Ibu..." Arini memanggil, tapi ibunya sudah berlalu meninggalkan dia dan ayahnya.
"Kalau bukan anak desa sini yang membangun desa kita, siapa lagi, Ayah," Arini meneguhkan prinsipnya di depan sang Ayah.
Perlahan-lahan sang ayah meninggalkannya juga. "Ayah..." suara Arini mencoba menghentikan langkah ayahnya, tapi tetap saja tidak berhasil.
Arini duduk mematung. Satu makanan pun belum ada yang tersentuh. Ia merasakan adanya penolakan dari kedua oran tuanya. Walau ada gelombang penolakan itu, niat baiknya semakin ia kokohkan.
Sesuai apa yang dikatakannya pada kedua orangtuanya, Arini pun menjadi guru dan membuat les gratis. Ia mendapatkan kebahagiaan saat mengajar dan bermain bersama anak-anak.Â
Bunga Melati itu pun tetap melawan cara pandang masyarakat di desa bahwa sarjana itu harus tinggal di kota. Ia tetap teguh pada pendiriannya.Â