"Dalam hidup tidak akan pernah lepas dari masalah, sayang. Apalagi kamu sudah mulai tumbuh dewasa. Berjanjilah pada Ibu bahwa kamu akan kembali dan menghadapi masalah hidupmu dengan dewasa."
"Iya, Bu. Juli janji sama Ibu." Ibu kecup kening dan kedua wajahku dengan penuh kelembutan. Ibu memelukku lagi dan kemudian melepaskannya. Padahal aku tidak ingin pelukan itu lepas.
***
Aku merasa tangan kananku tertindih sebongkah batu. Terpaksa aku harus menggerakkannya untuk bisa lepas. Tiba-tiba saja ada suara bernada senang, "Sayang, kamu sudah sadar."
Kutatap sumber suara lembut itu dengan sedikit susah karena kepala dan wajahku dibalut oleh kain putih kecuali mata, hidung dan mulutku.
"Ayah, Juli ada di mana?"
"Kamu ada di rumah sakit, sayang," matanya berlinang.
"Sudah hampir satu bulan kamu di sini, sayang," Ayah menghela air matanya sambil tersenyum bahagia. Ayah mengecup keningku yang dibalut kain putih.
"Nanti kalau kamu udah sembuh kamu boleh tinggal di kampung Ibu. Ayah udah persiapkan semuanya. Di sana kamu bisa tinggal bersama keluar besar Ibu." Ayah tersenyum lagi. Dan bibirku sedang membeku untuk mengukir sesungging senyuman.
Aku menggerakkan kepalaku dengan berat ke kanan dan ke kiri.
"Kenapa gak mau, sayang?" taya Ayah.
Kutatap Agnes di samping kiriku. Berusaha mengukir senyum manis. Dan aku setuju kuliah bersamanya di Bandung. Agnes mendekatiku, memegangi lenganku dengan erat, juga dengan senyum yang bersahabat.[]