Pixbay.com
Akhir bulan Juli, adalah awal dimana aku pertamakali menghirup udara segar kehidupan di bumi. Sembilan bulan kurang lebih aku dalam pengasuhan Ibu tanpa menyentuhku secara langsung. Tapi, aku benar-benar merasakan rasa kasih sayang Ibu yang begitu dalam terhadapku.Â
Buktinya, Ibu merawatku hingga aku pun beringsut dari ruang gelap menuju ruang penuh cahaya. Aku meronta-ronta untuk keluar karena rumahku waktu itu tidak mampu lagi untuk menampungku. Betapa kerasnya perjuangan Ibuku untuk membawaku pada kehidupan ini, nyawa menjadi taruhannya.
Aku menangis entah apa sebab, mungkin aku malu karena tidak berpakaian sehelai benangpun, atau dunia tidak menyambutku dengan baik, entahlah. Tugasku hanya mensyukurinya.
Di tengah pecahnya tangisanku, saat itu pulalah sekumpulan orang mengukir sungging senyuman. Aku baru membisu setelah tubuh mungilku berada dalam peluk Ibu. Pelukan pertama itu tidak dapat kulupakan rasanya walau tak terungkap dengan kata kala itu.
Peluk itu rupanya pelukan pertama dan terakhirnya. Setelah itu, Ibu pergi tanpa pamit padaku. Aku tidak mendengar apa kata terakhirnya karena aku masih menikmati hangatnya pelukan Ibu hingga aku terlelap tidur. Dan Ibu, terlelap selamanya.
Seperti apa wajah Ibuku, aku pun belum pernah melihatnya secara langsung. Kata Ayahku, Ibu secantik aku. Kulihat fotonya yang masih tersimpan, kemudian kujadikan harta termewahku.
Apakah aku secantik Ibuku? Oh, ternyata tidak. Ibu jauh lebih cantik. Wajahnya jauh lebih indah berseri. Wajahku hanya cetakan pertama wajahnya.
***
Lima tahun aku menikmati hidup tanpa seorang ibu. Aku pun bertemu seorang ibu, tapi bukan ibu yang membawaku dari ruang yang sempit menuju ruang yang luas ini. Dia adalah wanita yang hanya suka membagi kasih sayangnya pada ayah dan seorang anak perempuan yang usianya tidak jauh berbeda dariku.
Awalnya aku senang, bahagia, karena adanya seorang ibu yang akan memelukku. Kebahagiaan itu efek kerinduan akan sentuhan sosok seorang ibu. Aku merasakan dan berharap begitu.
Tapi, rindu itu jauh dari keinginan. Saudara perempuanku itulah yang mendapatkannya. Wajar saja, dia itu anak kandungnya. Tapi, mengapa Ayah juga begitu sayang padanya. Aku merasa dia lebih sayang pada saudariku itu.
Aku tumbuh besar dalam pilah-pilah kasih sayang dari orang tua. Tidak tahan dengan pilah-pilah itu, aku pun berani mempertanyakannya pada Ayah. Waktu itu setelah lulus SMA. Ayah memaksaku untuk satu kampus dengan Agnes, saudari perempuanku itu.
"Juli, kamu kuliahnya sama Agnes aja ya," kata ayah.
"Aku gak ingin kuliah, Ayah," kataku lembut.
Sontak saja Ayah marah, "Mau jadi apa kau kalau gak kuliah?"
"Aku ingin tinggal di desa Ibu, di kampung Ibu, Yah."
"Mau jadi apa kau di desa itu." wajahnya memerah. "Di sana kau tidak bisa jadi apa-apa. Kau mau mencari apa di sana? Desa itu kolot dan kampungan. Tidak ada kehidupan di sana. " Ayah begitu mudah melupakan awal pertemuan mereka di desa ibu.
Aku mengetahui pertemuan mereka karena ada seorang teman Ibu yang menceritakannya. Setiap aku mendengar cerita tentang Ibu, rasanya Ibu sedang bersamaku. Aku merasa melihat Ibu dalam mata hatiku. Dan aku merasa Ibu sedang tersenyum manis melihatku. Sayangnya, tidak ada buku catatan yang bisa kubaca tentang dirinya, kecuali beberapa foto yang bercerita tanpa kata.
"Aku tidak mau jadi apa-apa, Yah. Aku tidak mencari apa-apa," ucapku dengan pelan.
"Kamu lihat dong itu Agnes. Dia mau kuliah di Bandung." Ayah terus bandingkanku dengan Agnes kesayangannya itu.
Tentu saja aku tidak menerima perbandingan itu. Ayah tidak terima aku mengatakan jika selama ini aku terus dibeda-bedakan, tapi mengapa hendak disamakan jika itu maunya Ayah? Setiap orang bukankah diciptakan berbeda? Bukankah kekurangan dan kelebihan kita semuanya berbeda?Â
Jadi mengapa ada kehendak manusia ingin memaksakan supaya sama? Kesamaan tidak dapat dibedakan jika hukumnya memang sama. Tidak dapat dibedakan jika memang sama.
"Aku hanya butuh kasih sayang. Mengapa Ayah lebih sayang pada Agnes padahal dia bukan anak kandungnya Ayah." Aku butuh keberanian untuk mengucapkan itu pada Ayah.
Ayah tidak menerima kata protesku. Ayah pun membentak, "Juli, Agnes itu saudarimu. Dia itu Kakakmu. Dia itu juga anakku," kata-kata itu terceplos tanpa sengaja, mungkin karena dorongan emosi, sehingga tidak sadar keluar dari ruang ingatan penyimpan rahasia selama ini yang belum pernah kudengar.
Sungguh aku terkejut mendengarnya. Melihat raut tanya di wajahku, Ayah pun menceritakannya sendiri. Apakah yang dikatakannya? Astaga, siapa yang tidak tersayat hatinya mendengar penjelasan itu. Ayah mengatakan bahwa Agnes adalah anak kandungnya bersama Ibu tiriku.Â
Astaga, berarti Agnes adalah buah dari perselingkuhan. Sungguh kejamnya Ayah menyelingkuhi Ibuku. Apakah anak haram itu sebagai anak pertamanya? Dan Apakah Ibu tahu tentang ini semua?
Saat mendengar penjelasannya itu, aku tidak terima dengan perlakuan Ayah padaku, pastinya pada Ibuku. Betapa hancurnya pikiran dan hidupku. Mataku tidak dapat membendung butiran air mata. Aku berlari ke kamar. Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Air mengalir deras membasahi wajahku sambil menatap foto Ibu.
Aku tidak tahan lagi berada di rumah itu. Rasanya seluruh ruangan penuh api yang membakar dadaku, menghancurkan pikiranku. Kuraih jaket peninggalan Ibu sambil tersedu-sedu. Aku keluar menuruni anak tangga.
"Juli, kau mau ke mana?" tanya Ayah keras.
Aku tidak menjawab. Kakiku dengan ringannya melangkah. Sesampai di pintu, tiba-tiba saja kakiku yang ringan menjadi terikat. Aku teringat pada foto Ibu di kamar. Aku kembali lagi ke kamar.
"Juli..." tegur Ayah.
Aku tidak peduli dengan teguran itu. Tidak lama kemudian aku sudah di pintu rumah. Kucingku yang manis mengikuti sampai ke pintu. Ia mengelus kakiku meminta ikut.
"Juli, mau ke mana kau?" Pertanyaan itu tidak kalah keras dari yang pertama.
Aku pun tidak tahu lagi harus kemana. Kuhidupkan saja motorku. Di sepanjang jalan, mataku tidak pernah kering. Sekali-kali aku tatap foto Ibuku.Â
Di atas motor sambil berjalan aku menciumnya dengan penuh kasih. "Bu. Aku kangen Ibu. Dapatkah kita bertemu malam ini?" tanyaku pada perempuan cantik dalam foto itu.
***
Aku tidak tahu sejauh mana aku menaiki motor. Aku tidak ingat nama semua daerah di Jakarta. Gelombang kehancuran dalam hidupku itu membuatku menjadi manusia yang tidak takut apa-apa lagi.Â
Aku kembali memperhatikan kiri kananku. Untung saja aku pernah melintasi jalan itu bersama pacarku sebelum kami putus.
Aku berhenti di tepi jalan. Motor kubiarkan saja dengan kuncinya. Aku tidak butuh itu lagi. Biarlah orang yang selama ini menginginkan uang mengambilnya untuk dijual. Aku berlari sekencang yang kubisa. Aku masuk ke sebuah gedung yang belum selesai dibangun.Â
Aku menghiraukan saja tulisan yang melarang masuk; "Dilarang Masuk! Tanah dan Bangunan Ini Telah Disita." Dan ada tulisan tiga huruf di sudut kiri plang itu; "KPK."
Tempat itu tidak asing bagiku. Sebelum putus, aku bersama pacarku berterimakasih pada KPK karena telah mengamankan tempat itu untuk kami sepulang sekolah. Aku berlari lagi menaiki anak tangga menuju lantai 4. Aku tidak tahu lagi berbuat apa kecuali terus menatap wajah Ibu.Â
Mataku belum dapat kuajak untuk berdamai. Hatiku sesak dan pikiranku melayang entah kemana.
Aku pun mengambil keputusan, kemudian berkata, "Ibu, Juli kangen Ibu. Juli ingin ketemu sama Ibu." Kupeluk foto Ibu. Aku berjalan ke tepi gedung dan terus melangkah tanpa henti. Kedua mata kupejamkan, menghirup udara, dan mendekap foto itu lebih dalam lagi.
"Juli, bukan seperti ini caranya menyelesaikan masalah, sayang," suara itu berbisik lembut di telingaku.
Aku langsung membuka mata. Betapa terkejutnya aku saat melihat seorang perempuan cantik berpakaian serba putih layaknya peri. Ia memegang erat tanganku.Â
Wajah perempuan itu berseri sekali. Wajahnya sama persis dengan wajah perempuan yang ada dalam foto itu. Matanya memancarkan kasih sayang. Senyumannya mirip dengan senyumku.
"Iib..." suaraku langsung terpotong setelah jari telunjuknya menyentuh bibir tipisku.
"Iya, sayang," katanya. "Mengapa kamu mengambil jalan ini putriku?" Ia bertanya lembut.
"Bu, aku kangen sama Ibu. Aku ingin bertemu dengan Ibu. Tapi aku tidak tahu gimana caranya. Maaf Bu, aku mengambil jalan ini."
"Ini bukan jalan yang baik, sayang. Dengan kamu berani menghadapi hidupmu tanpa Ibu, itu sudah membuat Ibu bahagia. Ibu juga kangen padamu. Tapi, belum saatnya kita untuk bertemu, sayang."
"Berarti Ibu gak mau bertemu denganku," kataku sambil menangis. "Ibu jahat. Jahat seperti mereka." Ibu langsung memelukku.
"Bukan begitu maksud Ibu, sayang. Ada saatnya kita bertemu. Lari dari hidup itu bukan cara yang baik. Jika kamu ada masalah selesaikan dengan baik-baik."
"Mereka kejam, Bu. Mereka menyakiti kita. Aku tidak ingin bersama mereka," aku terus menangis dalam pelukannya.
"Boleh kamu gak tinggal bersama mereka. Tapi bukan berarti kamu lari dari hidupmu. 'Kan masih ada temanmu dan keluarga Ibu yang masih sayang padamu." Ia memegangi wajahku kemudian menghapus air mataku.Â
"Dalam hidup tidak akan pernah lepas dari masalah, sayang. Apalagi kamu sudah mulai tumbuh dewasa. Berjanjilah pada Ibu bahwa kamu akan kembali dan menghadapi masalah hidupmu dengan dewasa."
"Iya, Bu. Juli janji sama Ibu." Ibu kecup kening dan kedua wajahku dengan penuh kelembutan. Ibu memelukku lagi dan kemudian melepaskannya. Padahal aku tidak ingin pelukan itu lepas.
***
Aku merasa tangan kananku tertindih sebongkah batu. Terpaksa aku harus menggerakkannya untuk bisa lepas. Tiba-tiba saja ada suara bernada senang, "Sayang, kamu sudah sadar."
Kutatap sumber suara lembut itu dengan sedikit susah karena kepala dan wajahku dibalut oleh kain putih kecuali mata, hidung dan mulutku.
"Ayah, Juli ada di mana?"
"Kamu ada di rumah sakit, sayang," matanya berlinang.
"Sudah hampir satu bulan kamu di sini, sayang," Ayah menghela air matanya sambil tersenyum bahagia. Ayah mengecup keningku yang dibalut kain putih.
"Nanti kalau kamu udah sembuh kamu boleh tinggal di kampung Ibu. Ayah udah persiapkan semuanya. Di sana kamu bisa tinggal bersama keluar besar Ibu." Ayah tersenyum lagi. Dan bibirku sedang membeku untuk mengukir sesungging senyuman.
Aku menggerakkan kepalaku dengan berat ke kanan dan ke kiri.
"Kenapa gak mau, sayang?" taya Ayah.
Kutatap Agnes di samping kiriku. Berusaha mengukir senyum manis. Dan aku setuju kuliah bersamanya di Bandung. Agnes mendekatiku, memegangi lenganku dengan erat, juga dengan senyum yang bersahabat.[]
Sumber gbr: pixbay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H