Tapi, rindu itu jauh dari keinginan. Saudara perempuanku itulah yang mendapatkannya. Wajar saja, dia itu anak kandungnya. Tapi, mengapa Ayah juga begitu sayang padanya. Aku merasa dia lebih sayang pada saudariku itu.
Aku tumbuh besar dalam pilah-pilah kasih sayang dari orang tua. Tidak tahan dengan pilah-pilah itu, aku pun berani mempertanyakannya pada Ayah. Waktu itu setelah lulus SMA. Ayah memaksaku untuk satu kampus dengan Agnes, saudari perempuanku itu.
"Juli, kamu kuliahnya sama Agnes aja ya," kata ayah.
"Aku gak ingin kuliah, Ayah," kataku lembut.
Sontak saja Ayah marah, "Mau jadi apa kau kalau gak kuliah?"
"Aku ingin tinggal di desa Ibu, di kampung Ibu, Yah."
"Mau jadi apa kau di desa itu." wajahnya memerah. "Di sana kau tidak bisa jadi apa-apa. Kau mau mencari apa di sana? Desa itu kolot dan kampungan. Tidak ada kehidupan di sana. " Ayah begitu mudah melupakan awal pertemuan mereka di desa ibu.
Aku mengetahui pertemuan mereka karena ada seorang teman Ibu yang menceritakannya. Setiap aku mendengar cerita tentang Ibu, rasanya Ibu sedang bersamaku. Aku merasa melihat Ibu dalam mata hatiku. Dan aku merasa Ibu sedang tersenyum manis melihatku. Sayangnya, tidak ada buku catatan yang bisa kubaca tentang dirinya, kecuali beberapa foto yang bercerita tanpa kata.
"Aku tidak mau jadi apa-apa, Yah. Aku tidak mencari apa-apa," ucapku dengan pelan.
"Kamu lihat dong itu Agnes. Dia mau kuliah di Bandung." Ayah terus bandingkanku dengan Agnes kesayangannya itu.
Tentu saja aku tidak menerima perbandingan itu. Ayah tidak terima aku mengatakan jika selama ini aku terus dibeda-bedakan, tapi mengapa hendak disamakan jika itu maunya Ayah? Setiap orang bukankah diciptakan berbeda? Bukankah kekurangan dan kelebihan kita semuanya berbeda?Â