Mohon tunggu...
Ibnu Arsib
Ibnu Arsib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesta, Buku dan Cinta

27 Juli 2022   18:39 Diperbarui: 27 Juli 2022   20:47 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amelia menatap kosong ke depan. Matanya yang terlihat sayu sembab tidak berselera menikmati pemandangan indah dari atas kapal yang sudah satu hari membawanya dari Pelabuhan Tanjung Periuk menuju Pelabuhan Belawan Medan.

Angin laut tak henti berhembus menyibak rambut lurusnya yang panjang. Wajahnya menghadap jauh ke depan, menembus pulau-pulau yang dilewati. Detik demi detik terus mendorong menuju menit. Menit demi menit berevolusi menjadi jam, Amelia terus berdiri di atas kesunyiannya. Tiada kata yang terucap dari mulutnya. Di pikiran dan hatinya, suara-suara terus berkecamuk, beradu debat, bersahut-sahut. Hatinya bagai luka yang teriris-iris oleh sebilah pisau silet kemudian disiram air garam bercampur air jeruk.

"Bajingan kau Alex. Setelah semuanya kau dapatkan, dengan secepat itu pun kau pergi," kata Amelia sambil memegangi
kepalanya. Terlihat air membeku di matanya.

"Aku gak bisa melanjutkan hubungan ini, Lia," ucap Alex mengulangi dengan santai serasa tidak ada beban memutuskan hubungan yang selama ini mereka ikat.

"Bajingan kau, ya. Habis manis sepah kau buang, hah? Selama ini kau nikmati apa yang kupunya, setelah semuanya habis kau mau pergi. Bahkan..." sebentar ia mengatur nafas, "bahkan kau telah menikmati tubuhku. Dengan semudah ini kau katakan tidak lagi mau menjalani hubungan kita, hah?" suaranya kembali menjadi perhatian orang-orang di cafe itu.

"Lia..." kata Alex sambil memegangi tangan Amelia untuk menenangkan, hanya basa-basi saja.

Amelia berdiri. Kakinya terbentur dengan kaki meja. Sontak saja meja bergoyang dan menghasilkan bunyi dari gesekan gelas dan piring yang beradu. Suara itu menjadi pertanda kegaduhan. Suara itu pertanda perang meletus. Amelia melepaskan tangannya dari pegangan Alex dengan hentakan. Orang-orang di sana bagai sedang menonton film drama. Alex bukan main malunya. Sedangkan Amelia sudah tidak perduli lagi dengan sikapnya. Sudah satu bulan lebih ia berlatih menahan malu karena Ayahnya ditangkap karena kasus korupsi. Harta kekayaan sudah habis disita. Ia pun sekarang diputuskan oleh Alex, setelah musibah itu menimpa Amelia.

"Cowok bajingan! Cowok matre, mata duitan," satu gelas jus memenuhi wajah Alex, "bo..bo...bodohnya aku selama ini mempercayaimu." Amelia pun pergi sambil berlari. Air yang membeku itu sekarang telah mencair membasahi wajahnya. Mengalir tak terbendung.

Alex sendiri diam membiarkan Amelia pergi. Itulah yang diinginkannya. Ia tidak peduli siapa-siapa yang ada di cafe itu. Toh dia jarang di sana. Selama mereka berpacaran, mereka lebih sering masuk diskotik, nongkrong di cafe yang elit menggunakan uang Amelia, dan kadang tinggal bersama Amelia di apartemen yang disewa dengan uang Amelia.


***

"Oppss...,maaf," ucap seorang pemuda yang tidak sengaja tasnya menyenggol Amelia sehingga membuyarkan ingatan kejadian pahit tiga bulan lalu di cafe itu.

Amelia hanya menatap pemuda yang membuyarkan ingatan kegaduhan perang waktu itu. Tidak ada balasan senyuman darinya untuk pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari ingatan-ingatan pedih.Wajahnya masih dalam kepiluan yang tersembunyi. Karena tak ada respon amarah dan ramah, pemuda itu pun melangkah sambil membalikkan badan. Tak ada senyuman berbalas.

Amelia kembali menatap kosong lagi jauh ke depan, menatap setumpuk pulau kecil. Ia terjebak kembali lagi pada ingatannya di Jakarta bersama Alex dan setelah dicampakkan. Kegilaannya masuk diskotik menjadi-jadi setelah duka itu. Uang tabungannya habis. Terpaksa ia harus menjual mobilnya dan hasil jualannya habis beberapa hari saja entah ke mana. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa amnesia dari semua masalah-masalahnya. Kenangan manis dan pahit selama bersama Alex membuat hatinya teraduk-aduk.

Arian, kakak kandungnya, begitu marah saat ia tahu Amelia menjual mobilnya untuk memenuhi hasrat dunia pesta hura-huranya. Amelia sadar tidak akan mendapatkan uang dari siapapun lagi. Ibunya telah tiada setelah kecelakaan pesawat yang jatuh. Abangnya yang hidup sederhana, memberi solusi untuk adiknya itu. Ia menyuruh Amelia ke Medan dan ia menanggung biaya ongkos. Mau tidak mau Amelia harus menerima, demikian penekanan kakaknya. Setidaknya ia ada keluarga dan tinggal di Medan.

"Kak...Kak...,"seorang gadis kecil sekitar 10 tahun menarik-narik ujung jaket Amelia. Amelia menoleh sayu ke bawah. Gadis kecil itu tersenyum manis seraya memberikan kertas kecil yang dibubuhi kata-kata dengan menggunakan tulisan mesin tik. "Dari Abang yang di sana," kata gadis kecil itu sambil menunjukkan ke arah pemuda yang tidak sengaja menyenggolnya tadi.

Tanpa menunggu ucapan terima kasih, gadis kecil itu dengan manjanya melangkah ke arah pengirim kertas itu. Sedang di depan pemuda tadi telah berdiri beberapa orang, dan ada perempuan paruh baya sedang asyik membolak-balik buku-buku yang ada di depannya. Gadis kecil tadi langsung saja bermanja pada perempuan paruh baya itu sambil ikut membolak-balik buku meniru ibunya.

Amelia tidak langsung membuka kertas kecil yang di tangannya. Ia menatap kosong lagi ke hamparan laut luas, sesekali bertemu kapal lain. Angin terus menyibak-nyibak rambut indahnya.
Pemuda masih sibuk mengetik dengan mesin tik yang dibawanya ke mana-mana. Beberapa orang yang di depannya terus memperhatikan tingkah laku aneh pemuda itu. Mungkin mereka heran karena membuka lapak baca dengan buku-buku berukuran buku saku dan tidak terlalu tebal. Semua bukunya bergenre sastra. Uniknya, ia juga menyedekahkan kertas-kertas berukuran kecil berisi kata-kata motivasi, puisi dan sejenisnya. Siapa saja boleh memilih dan mengambil yang sesuai dengannya. Sebagian tidak hanya diketik dalam kertas, tapi ada juga dari daun atau benda-benda yang bisa dijadikan seperti kertas. Tapi itu hanya sedikit saja. Agar buku dan kertas tidak berhamburan oleh tiupan angin laut, ia sudah membuat tempat seunik mungkin. Itu adalah hasil kreativitasnya selama ini untuk memberikan kualitas pelayanan pada pengunjung lapak bacanya.

Ia tidak menjual buku, tapi hanya sekadar membuka lapak baca bagi yang tertarik membaca. Setidaknya mengisi waktu kosong, mengusir kebosanan selama di atas kapal menuju tempat tujuan. Para pengunjung lapak baca itu, tersenyum kagum pada pemuda itu. Unik, aneh.

***


Setelah menatap ke arah Amelia, pemuda itu sudah tidak mendapati Amelia. Ia melihat ke seluruh arah, tetap tidak menemukannya. Pemuda itu pun mengikhlaskannya. Kembali suara mesin tik beradu, mengukir huruf demi huruf yang bersusun menjadi kata pada selembar kertas. Pemuda itu mengetik dengan begitu khusyuk sehingga ia tidak sadar siapa yang sudah ada dihadapannya.

"Terima kasih tulisannya," kata Amelia dengan lembut, nyaris tidak terdengar karena deburan ombak menabrak dinding-dinding bawah kapal.

"Apa? aku gak dengar," pemuda itu terkejut dan berlagak seperti mendengar dari jarak jauh.

"Terima kasih," Amelia mengangkat tangannya yang sedang memegangi kertas yang diberikan gadis kecil tadi.

"Oh..., sama-sama," pemuda yang berambut gondrong ikal itu menutupi keterkejutannya sambil tersenyum. "Ambil saja kalau kau mau. Kalau tidak, boleh juga dibuang. Sekarang itu jadi milikmu," katanya pada Amelia yang hendak mengembalikan kertas itu.

"Kalau kubuang nanti gak ada yang bacanya." Amelia sedikit mendekat. Perempuan paruh baya dan gadis kecil itu sedikit menyingkir ke samping.

"Kau kan sudah membacanya." Pemuda itu lanjut mengetik. "Kalaupun kau buang gak apa-apa." Ia kembali menatap gadis  yang sekarang berjongkok sopan di depannya.

"Kenapa begitu?"

"Supaya alam juga ikut membacanya. Kalau kau buang ke laut, nanti laut bisa membacanya." Pemuda itu selalu mengukir senyuman.

"Baik. Terima kasih," sahut Amelia.

"Maksudnya baik, mau dibuang?"

"Enggaklah. Aku simpan aja." Amelia memasukkan kertas kecil itu ke dalam saku jaketnya. "Terima kasih." Ia tidak berhenti-henti mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama." Pemuda itu kembali mengetik.

"Silahkan dilihat-lihat dulu, mana tau tertarik baca buku-buku itu. Untuk mengisi waktu kosong selama di kapal." Pemuda menawarkan tanpa melihat ke wajah Amelia. Jari-jemarinya beradu menghasilkan alunan musik mesin tik berpadu dengan deburan ombak.

"Kau jualan buku di sini?" tanya Amelia.

"Bukan, hanya buka lapak baca aja. Nanti kalau jualan bisa kena pajak." Pemuda itu tersenyum pada Amelia dengan tatapan akrab.

Amelia mengangguk paham sambil membalas senyuman. Senyuman itu lahir atas keterpaksaan atau terukir begitu saja, Amelia pun tidak paham, tiba-tiba saja terjadi. Ia mulai memperhatikan satu per satu judul buku di sana. Mungkin hanya untuk menghargai pemuda yang sudah ramah padanya.

"Kau suka baca buku?" tanya pemuda itu yang sudah mengetik entah apa.

"Kurang."

"Ooh..." pemuda itu mengangguk paham.

Selama Amelia mengunjungi lapak baca, mereka berdua pun akrab. Anehnya, pemuda itu tidak mau mengajaknya kenalan. Amelia gengsi untuk memulai. Mereka berbicara sana-sini tanpa saling mengetahui nama.

Matahari pun telah pulang ke pengaduannya. Langit di sebelah barat terlihat memerah. Angin laut tak henti-henti mendesir dibawa gelombang dingin. Angin itu tidak bosan-bosan menyibak rambut lurusnya Amelia dan rambut gondrong pemuda itu. Debur ombak air laut tidak pernah berhenti memukul-mukul dinding bawah kapal.

"Hari udah mulai malam, nih. Kau mau ke mana?" tanya pemuda itu pada Amelia sambil mengemasi buku-buku dan mesin tiknya.

Perempuan paruh baya, gadis kecil tadi serta para pengunjung lapak baca sudah memasuki tempat istirahat mereka.

Amelia diam saja. Ia tidak tahu harus kemana untuk menikmati pemandangan selama di kapal. Ini kali pertama ia naik kapal laut. Ia tidak mau naik pesawat setelah kejadian menimpa Ibunya. Ia trauma.

"Kalau kau mau ikut aku, ayok!" ajak pemuda itu.

"Kemana?"

"Melompat ke dalam laut."

"Apa?" suara terkejut Amelia.

"Hahaha..., becanda." Pemuda itu seperti tertawa puas. "Ke kantin, mau?" tanya pemuda itu.

"Hah, ke kantin?"Amelia terkejut heran lagi.

"Iya, ke kantin. Kau suka terkejut ya?"

Amelia diam lagi. Pemuda itu telah selesai membereskan buku-buku dan mesin tiknya. Ia buka dari pagi sampai sore.

"Jadi ikut?" ajak pemuda itu memecahkan kebisuan Amelia. Amelia mengangguk iya.

Entah apa sebab ia merasa begitu cepat akrab dengan pemuda itu, sedangkan mereka baru bertemu. Namanya saja belum ia ketahui, tapi kemana saja diajak pemuda itu, Amelia mau-mau saja.

"Kau duduk di sini. Kau mau minum apa? Kopi atau teh?" tawar pemuda itu sesampainya mereka di kantin.

"Teh, aja."

Kepala pemuda itu naik-turun mengerti. Ia pun pergi memesan dua minuman. Dari kantin, entah apa sebab, Amelia kini dapat menikmati keindahan hamparan luasnya laut walau sudah mulai terlihat gulita, udara pun mulai dingin. Di atas sana, mulai terlihat api yang berkedip-kedip. Tak berapa lama pemuda itu datang dengan membawa secangkir teh dan kopi.

"Ini minumnya." Pemuda itu menyodorkan tehnya Amelia.

"Terima kasih, berapa ini?" Amelia menanya harga pesanannya.

"Kata penjualnya tadi untukmu gratis. Sebagai sambutan karena kau baru pertama kali naik kapal laut." Pemuda itu lagi lagi menggombal. Mungkin bermaksud menghibur.

"Kok bisa tau, kalau aku baru pertama naik kapal?"

"Tadi, kamu gak tau ada kantin di kapal."

Amelia tidak dapat berkata apa-apa. Ia sadar dengan keterkejutan dia tadi sewaktu diajak ke kantin. Amelia hanya ikut tersenyum.

Tapi tetap saja Amelia tidak percaya pesanannya itu gratis. "Aku gak percaya ini gratis. Berapa tadi harganya? Ini aku bayar," Amelia mengeluarkan uang dari kantong celananya.

"Gak usah. Itu sudah aman."

"Pakai duitmu tadi? Ini aku ganti."

"Gak usah, gak usah. Simpan aja, nanti untuk yang lain aja." Pemuda itu tetap menolak dengan tersenyum ramah. Amelia terpaksa mengantongi uangnya kembali.

Merekapun duduk menghadap laut. Pemuda itu membuka mesin tiknya kembali, memasukkan kertas, terdengar suara yang khas. Sebetulnya itu hanya ritualnya saja. Ia tidak hendak mengetik malam itu karena menghargai Amelia di sampingnya. Tapi, jika terlintas ide-ide, dengan sigap ia mengikatnya dengan mesin tiknya. Padahal bisa menuliskannya dengan pena. Hal itulah yang membuat Amelia tertawa gembira. Cerita-cerita dari pemuda itu membuat ia jadi lupa dengan kepiluannya.

"Kenalkan, namaku Amelia." Gadis itu membuang kegengsiannya. Ia menyodorkan tangannya pada pemuda itu.

"Penting kali yah sebuah nama?" Wajah pemuda itu ragu untuk berkenalan.

Amelia merasa salah tingkah.

"Haha..., aku bercanda. Namaku, Lang. Panggil saja, Lang." Lang menyambar tangan Amelia dengan lembut.

Setelah perkenalan itu, mereka bertambah akrab. Bagai rasa asin dan air laut, bagai malam dan bintang. Sampai-sampai Amelia heran pada dirinya sendiri karena kepiluannya itu hilang begitu saja jika di dekat Lang.

Apakah dengan secepat itu Lang bisa mengisi hatinya yang telah dicampakkan? Atau apakah Lang suka pada Amelia? Lang begitu lihai menghibur manusia. Selama di kapal, kepiluan Amelia sirna. Walau Amelia tidak curhat, rasanya setiap kata-kata Lang mengobati hatinya yang diiris oleh silet kemudian disiram dengan air garam yang bercampur air jeruk.

Sesampai di Pelabuhan Belawan Medan, perpisahan pun tak dapat dihindari. Amelia ke Medan bukan untuk menemui Lang. Dan Lang juga tidak ada mengajaknya untuk tinggal bersama barang sebentar atau selamanya saat di kapal.

Bukan main sedihnya yang Amelia rasakan, kesedihan yang melebihi sedihnya saat Alex memutuskannya. Kesedihannya atas perpisahan dengan Lang itu tanpa amarah, tapi ah entah rasa apa namanya. Kesedihan berpisah dengan Lang membunuh kesedihannya berpisah dengan Alex. Saat perpisahan itu, lagi-lagi matanya sayu dan lembab. Mengapa kesedihan terus tumbuh pada Amelia?

***


Sore itu di Medan. Setelah tiga bulan berlalu sejak dari pertemuannya dengan Lang di kapal. Amelia hanya duduk santai di rumah neneknya. Rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang. Sudah tiga bulan ia tinggal bersama nenek dari Ibunya. Kebiasaan buruknya di Jakarta perlahan-lahan ia tinggalkan.

Keinginannya telah berganti. Ia ingin bertemu dengan Lang. Bahkan ia merasa jatuh cinta pada Lang. Tapi apalah dikata, Lang hilang tanpa meninggalkan jejak alamat.

"Lia, kau mau ikut aku?" ajak Ani, sepupunya Amelia.

"Kemana?"

"Ke cafe temanku. Nanti ada launching buku dan sekaligus penandatanganan buku oleh penulisnya sendiri," kata Ani sambil memegang buku yang hendak ia bawa. "Sayangkan udah kubeli tapi tak ditandatangani penulisnya sendiri, padahal ada kesempatan?" Ani sangat berharap.

"Aku malas kalau acara-acara seperti itu," kata Amelia.
Sebenarnya saat mendengar buku, ia teringat buku-buku yang ditunjukkan Lang padanya sewaktu di kapal.

"Ikut aja. Nikmati suasana aja. Ada juga nanti main musiknya. Ada musikalisasi puisi juga. Daripada kau di sini terus, gak suntuk apa? Nanti kau 'kan bisa nikmati musiknya."

Amelia berpikir sejenak. Benar juga apa kata sepupunya itu. Daripada hanya suntuk di rumah dan selalu memikirkan Lang, baik mencari aktivitas baru. Akhirnya ia putuskan untuk ikut.

Di kafe itu orang-orang telah ramai. Setiap orang memegangi buku berwarna biru laut, kecuali Amelia yang hanya menyembunyikan kedua telapak tangannya di kantong jaketnya. Mereka berdua duduk di belakang karena bagian depan sudah terisi penuh. Padahal Ani sangat berharap bisa duduk di sana.

"Baik teman-teman semuanya. Sebentar lagi penulis buku ini akan sampai." Terdengar suara dari depan. Seorang yang bertugas membawakan acara sambil mengangkat buku di tangannya. "Bagaimana buku ini lahir Harbalang, penulis buku ini, akan menceritakannya. Sebelum Harbalang datang, mari nikmati lagu yang satu ini, yang liriknya diambil dari buku ini juga," ucap pembawa acara itu mempersilahkan sebuah Band Indie memainkan musik dan lagu yang memberi kenikmatan suasana di tempat itu.

Di tengah alunan lagu, tiba-tiba saja berhenti dan berganti menjadi sorak-sorak meriah menyambut Harbalang. Setelah dipersilahkan, Harbalang mulai menceritakan bagaimana buku yang berjudul; "Saat-saat Bersamamu Kapal" lahir.

Para pendengar pun terharu, dan ada yang tersenyum-senyum sendiri mendengar Harbalang menceritakan sumber inspirasi buku itu sehingga tercipta. Harbalang atau yang dikenal Amelia dengan nama Lang, menatap ke Amelia. Bukan main senyuman Ani. Ani pikir tatapan dan senyuman Lang dialamatkan padanya.

Setelah acara, yang memiliki buku meminta berpose dengan Harbalang dan menandatanganinya. Tanpa terkecuali, Ani. Berbeda dengan Amelia. Walau ia tidak menyangka akan bertemu dengan Lang, ia tidak perlu meminta goresan pena pada Lang, karena ia lah buku aslinya. Yang ia butuhkan adalah sentuhan tangan dari Lang.

Kerinduannya bertemu Lang ternyata terkabulkan. Perasaannya berbalas juga dari Lang setelah Lang mengatakan bahwa ia menyukai gadis yang menjadi inspirasi buku itu. Saat selesai menandatangani buku, Lang mendekati Amelia. Di depan Amelia, Lang mengungkapkan perasaannya. Mulut Ani ternganga, tidak yakin dengan apa yang dilihat dan didengarnya.

Tidak butuh lama untuk jatuh cinta. Tidak perlu lama memendam rasa. Dan lebih tidak perlu lagi adalah menyimpan perasaan sedih. Bahagia bukan ditunggu, tapi diciptakan.***

Sumber gambar: pixabay.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun