Amelia hanya menatap pemuda yang membuyarkan ingatan kegaduhan perang waktu itu. Tidak ada balasan senyuman darinya untuk pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari ingatan-ingatan pedih.Wajahnya masih dalam kepiluan yang tersembunyi. Karena tak ada respon amarah dan ramah, pemuda itu pun melangkah sambil membalikkan badan. Tak ada senyuman berbalas.
Amelia kembali menatap kosong lagi jauh ke depan, menatap setumpuk pulau kecil. Ia terjebak kembali lagi pada ingatannya di Jakarta bersama Alex dan setelah dicampakkan. Kegilaannya masuk diskotik menjadi-jadi setelah duka itu. Uang tabungannya habis. Terpaksa ia harus menjual mobilnya dan hasil jualannya habis beberapa hari saja entah ke mana. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa amnesia dari semua masalah-masalahnya. Kenangan manis dan pahit selama bersama Alex membuat hatinya teraduk-aduk.
Arian, kakak kandungnya, begitu marah saat ia tahu Amelia menjual mobilnya untuk memenuhi hasrat dunia pesta hura-huranya. Amelia sadar tidak akan mendapatkan uang dari siapapun lagi. Ibunya telah tiada setelah kecelakaan pesawat yang jatuh. Abangnya yang hidup sederhana, memberi solusi untuk adiknya itu. Ia menyuruh Amelia ke Medan dan ia menanggung biaya ongkos. Mau tidak mau Amelia harus menerima, demikian penekanan kakaknya. Setidaknya ia ada keluarga dan tinggal di Medan.
"Kak...Kak...,"seorang gadis kecil sekitar 10 tahun menarik-narik ujung jaket Amelia. Amelia menoleh sayu ke bawah. Gadis kecil itu tersenyum manis seraya memberikan kertas kecil yang dibubuhi kata-kata dengan menggunakan tulisan mesin tik. "Dari Abang yang di sana," kata gadis kecil itu sambil menunjukkan ke arah pemuda yang tidak sengaja menyenggolnya tadi.
Tanpa menunggu ucapan terima kasih, gadis kecil itu dengan manjanya melangkah ke arah pengirim kertas itu. Sedang di depan pemuda tadi telah berdiri beberapa orang, dan ada perempuan paruh baya sedang asyik membolak-balik buku-buku yang ada di depannya. Gadis kecil tadi langsung saja bermanja pada perempuan paruh baya itu sambil ikut membolak-balik buku meniru ibunya.
Amelia tidak langsung membuka kertas kecil yang di tangannya. Ia menatap kosong lagi ke hamparan laut luas, sesekali bertemu kapal lain. Angin terus menyibak-nyibak rambut indahnya.
Pemuda masih sibuk mengetik dengan mesin tik yang dibawanya ke mana-mana. Beberapa orang yang di depannya terus memperhatikan tingkah laku aneh pemuda itu. Mungkin mereka heran karena membuka lapak baca dengan buku-buku berukuran buku saku dan tidak terlalu tebal. Semua bukunya bergenre sastra. Uniknya, ia juga menyedekahkan kertas-kertas berukuran kecil berisi kata-kata motivasi, puisi dan sejenisnya. Siapa saja boleh memilih dan mengambil yang sesuai dengannya. Sebagian tidak hanya diketik dalam kertas, tapi ada juga dari daun atau benda-benda yang bisa dijadikan seperti kertas. Tapi itu hanya sedikit saja. Agar buku dan kertas tidak berhamburan oleh tiupan angin laut, ia sudah membuat tempat seunik mungkin. Itu adalah hasil kreativitasnya selama ini untuk memberikan kualitas pelayanan pada pengunjung lapak bacanya.
Ia tidak menjual buku, tapi hanya sekadar membuka lapak baca bagi yang tertarik membaca. Setidaknya mengisi waktu kosong, mengusir kebosanan selama di atas kapal menuju tempat tujuan. Para pengunjung lapak baca itu, tersenyum kagum pada pemuda itu. Unik, aneh.
***
Setelah menatap ke arah Amelia, pemuda itu sudah tidak mendapati Amelia. Ia melihat ke seluruh arah, tetap tidak menemukannya. Pemuda itu pun mengikhlaskannya. Kembali suara mesin tik beradu, mengukir huruf demi huruf yang bersusun menjadi kata pada selembar kertas. Pemuda itu mengetik dengan begitu khusyuk sehingga ia tidak sadar siapa yang sudah ada dihadapannya.
"Terima kasih tulisannya," kata Amelia dengan lembut, nyaris tidak terdengar karena deburan ombak menabrak dinding-dinding bawah kapal.
"Apa? aku gak dengar," pemuda itu terkejut dan berlagak seperti mendengar dari jarak jauh.