Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemarahan Rustam

19 September 2022   03:39 Diperbarui: 19 September 2022   06:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rustam menyusuri lorong rumah sakit dan berhenti di koridor menuju kamar mayat. Di sana Rustam mendapatkan ketenangan. Tak ada orang lalu lalang dan kasak-kusuk mengusik kesendiriannya.

Rustam teringat pada lembaran kertas yang masih disimpannya di saku celananya. Diambilnya kertas itu. Dibiarkannya terlipat. Ia ragu membacanya. Ia takut bayangan kematian Yuda kembali menyulut api kemarahannya. Rustam tersedak menahan isak. Kertas itu dibuangnya. Ia takut istrinya akan menemukan kertas yang ia ambil dari catatan harian Yuda -- tanggal dan tahun yang tertera di kertas itu adalah tujuh tahun sebelum Yuda bunuh diri. Ia meninggalkan koridor itu kembali ke kamar perawatan istrinya.

Petugas jaga kamar mayat yang dari tadi memperhatikan Rustam memungut kertas itu dan membacanya.

3 November 2003. Jam 01.50

Aku benci papa. Papa egois.

Mama selalu bilang kalau aku ngeband papa marah. Kalau aku gak kuliah teknik papa marah. Kalau Ipeku jelek papa marah. Apa yang kulakukan gak pernah disetujui ama papa ama mama.

Dari kecil mamaku selalu bilang begitu. 

Kalau aku gak mau makan mama bilang papa marah. Kalau aku nangis terus papa marah. Kalau aku main layang-layang ama anak kampung dekat rumahku mama bilang papa marah. Kalau aku mandi ujan kata mama papa marah. Kalau aku gak langsung pulang dari sekolah mama ngancam mau bilang ke papa.

Dan papa beneran marah. Kalau papa marah apa saja dibantingnya. Matanya merah.

Dulu aku pernah ngirim surat ke papa waktu aku masih SD. Ayam yang ditinggalkan papa sekandang, aku tidak tahu jumlah ekornya untuk aku pelihara mati semua karena sakit. Waktu itu papa sedang merantau ke Malaysia. Papa belum sekaya sekarang. Belum punya bisnis rumah seperti sekarang. Papa masih jadi buruh. Papa belum punya mobil dan rumah sebagus sekarang. Papa belum pernah ke eropa apalagi punya kantor di sana. Di surat itu aku ceritakan pada papa kalau aku udah baik-baik memelihara ayam-ayam itu, ngasih minum, ngasih makan, ngidupin lampu kalau malam. Pokoknya ayam itu mati bukan karena gak aku urus. Tapi papa gak ngebalas suratku. Dan aku yakin papa emang marah seperti yang dibilang ama mama. Bang Radit ama Bang Nisam juga bilang padaku kalau papa tahu ayam-ayamnya mati papa pasti marah. Dan aku takut sekali ama papa.

Waktu papa pulang dari Malaysia, aku takut keluar kamar. Aku baru mau keluar waktu mama manggil dan bilang papa marah beneran kalau aku gak keluar. Sejak itu aku udah jarang ngomong ama papa. Salah ngomong bisa-bisa papa marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun