Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemarahan Rustam

19 September 2022   03:39 Diperbarui: 19 September 2022   06:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejenak pisau di tangannya ia main-mainkan. Dirasainya mata pisau serdadu yang sengaja dibelinya dari temannya seorang kolektor kelengkapan militer. Ngeri juga Rustam membayangkan pisau yang satu sisinya tajam dan satu sisi lagi bergerigi itu menembus kulit dada dan menancap di jantung perempuan itu. Diambilnya botol chivas dari meja bundar kecil berlapis keramik di depan kursi ia duduk. Ditenggaknya isi botol itu yang tinggal seperempat hingga ludes.

Setelah lama bersusah payah menahan panas akibat cairan dari botol itu yang seketika membakar tenggorokan dan dadanya, api kemarahannya bertambah nyala. Kebenciannya semakin menjadi-jadi kepada perempuan itu.

Rustam berdiri. Ada yang terasa menghentak di kepalanya. Pandangannya nanar dan seisi rumahnya terlihat berputar. Ia berusaha tetap berdiri. Mengatur nafas. Membangun keseimbangan agar tidak jatuh.

Setelah mampu menguasai tubuhnya Rustam berjalan perlahan. Ia terus bergumam. Tidak jelas.

Rustam berjalan sangat pelan menuju kamarnya. Dari luar, dari celah pintu yang terbuka, Rustam melihat perempuan itu terbaring. Semakin membara hatinya. Semakin tak sabar ia menghabisi perempuan itu. Tapi keinginannya untuk segera menuntaskan perempuan itu tidak didukung oleh langkahnya yang sempoyongan.

Susah payah ia mendekat. Begitu sampai di sisi ranjangnya, Rustam berdiri mengamati perempuan itu dari ujung kaki hingga berhenti di wajah perempuan itu yang terlihat sangat pucat. Wajah lelah yang menampakkan perempuan itu sedang sakit.

Sudah seminggu perempuan itu terbaring tak berdaya. Sudah seminggu pula Rustam mendoakan kematian bagi perempuan itu. Dan selama itu Rustam merasa waktu berjalan sangatlah lamban. Kematian yang tak kunjung tiba membuat Rustam memutuskan untuk menjadi malaikat maut bagi perempuan yang kini terbaring di depannya. Kematian harus dibalas kematian.

Tak ada lagi halangan bagi Rustam untuk melampiaskan kemarahannya dan menghabisi nyawa perempuan itu. Hujan deras disertai badai dan halilintar terus-terusan menggelegar membuat Rustam tak perlu cemas teriakan perempuan itu didengar orang lain ketika pisau yang kini ada dalam genggamannya menusuk jantung perempuan itu. Siapa yang berani berkeliaran tengah malam begitu.

Di rumah itu hanya ada Rustam dengan sebilah pisau digenggamannya dan perempuan yang terbaring di depannya yang akan dibunuhnya. Perempuan yang dinikahinya secara sah tiga puluh tiga tahun yang lalu. Perempuan yang dari rahimnya telah tumbuh kesenangan-kesenangan dan harapan bagi Rustam kepada tiga lelaki yang dilahirkan perempuan itu. Perempuan yang dari mulutnya tak pernah keluar sepatah pun kata yang melukai hatinya. Perempuan yang setia menemaninya dari jatuh bangun kehidupan hingga Rustam berhasil membangun bisnis properti dan memiliki beberapa kantor perwakilan di Eropa.

Sekali lagi ia memandangi wajah istrinya yang terbaring. Dalam hatinya Rustam masih berharap malaikat maut yang sesungguhnya datang mendahuluinya menunaikan tugas. Tapi malaikat maut sedang tidak di tempat. Dan Rustamlah kini yang harus bertindak.

Rustam berjalan mendekat. Semakin dekat. Kedua lututnya kini bertumpu ke sisi ranjang. Tekadnya telah bulat. Ditariknya nafas sedalam-dalamnya. Ditahannya. Matanya memejam. Kedua tangannya kemudian terangkat. Begitu ia akan menusukkan pisau itu, Rustam kembali membuka matanya untuk memastikan bahwa pisau itu benar-benar menikam tepat di dada istrinya dan tembus hingga ke jantungnya.

Setelah dirasa pas, Rustam meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan menyesali perbuatannya. Sekaranglah saatnya membalas kesalahan istrinya pada dirinya yang belum lama diketahui oleh Rustam. Kesalahan yang selama bertahun-tahun dilakukan oleh istrinya itu kini membuka katup kebencian dan kemarahannya.

Nafasnya memburu. Kemarahannya semakin memuncak. Perlahan kobaran api kebencian yang menyala dalam dirinya memusat di tangannya. Sebuah kekuatan dahsyat menggetarkan kedua tangannya. Ia sangat yakin energi yang dimilikinya saat itu mampu mematikan isitrinya hanya dengan sekali tusukan. Begitu ia akan melakukannya, istrinya terbangun dan tersenyum kepada Rustam.

Senyum yang tulus dan lelah itu seketika berganti rona keheranan. "Lho, Bang, untuk apa pisau itu?"

Rustam gelagapan. Kekuatannya menguap menjalarkan ketakutan. Ia tak sanggup melakukan pembunuhan itu saat disaksikan sendiri oleh istrinya. Ia juga tak mampu menjelaskan kenapa pisau itu ada di tangannya dan siap menikam ke dada istrinya.

Istrinya menangis. Istrinya berusaha bangkit. Dalam posisi duduk istrinya beringsut memeluk Rustam. Dekap itu bertambah lekap. Rustam tak berdaya. Diam mematung. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan jatuh di sebelah istrinya. Tangis istrinya semakin kuat namun serak.

"Bang, Yuda, Bang. Yuda..."

Mendengar nama anak mereka disebut istrinya membuat pikiran Rustam bertambah kacau. Ingin rasanya ia mendorong istrinya melepaskan pelukannya, mengambil kembali pisau itu untuk melampiaskan kemarahannya. Tapi tubuhnya sungguh tak lagi berdaya. Ia menjadi lemah ketika nama itu disebut berulang-ulang istrinya. Tanpa disadarinya airmatanya jatuh ke rambut istrinya.

Masih sangat jelas di matanya bagaimana sebulan yang lalu Yuda terbaring di hadapannya sebelum jasadnya dikuburkan. Mulutnya yang menganga saat meregang nyawa harus dikatup dengan kain yang diikat di dagu Yuda dan melilit ke kepalanya. Dan yang paling menyakitkan bagi Rustam adalah saat mendengar sebab kematian Yuda.

Rustam di Belanda saat itu. Ia dapat telepon dari adik perempuannya. Yuda meninggal setelah meminum sepuluh butir antibiotik khusus bagi penderita HIV. Dan tidak jauh dari mayatnya yang terbujur kaku dan mulut berbusa ditemukan secarik hasil uji laboratotium yang menyatakan Yuda positif mengidap HIV AIDS.

"Bang, tadi Yuda datang. Yuda menunjukkan rumahnya yang baru padaku. Rumah yang sangat indah. Putih. Taman bunganya juga putih. Udara di sana juga tampak putih. Segala-galanya putih. Yuda mengajakku tinggal bersamanya."

Rustam semakin terguncang. Entah mana suara tangisnya. Entah mana suara tangis istrinya. Entah mana suara hujan, badai dan halilintar. Segalanya telah menyatu dalam suara malam yang pilu. Ngilu.

Rustam mengusap rambut istrinya. Dibelainya. Dirundukkannya kepala istrinya. Diciumnya rambut istrinya. Dipeluknya. Keduanya berpagut. Semakin ngebut. Terpatah-patah istrinya kemudian berkata lagi di dada Rustam. "Bang, tadi aku hampir sampai di rumah Yuda. Kami hampir sampai...Bang... Yuda, Bang..."

Rustam oyong. Kakinya tak lagi kuat menahan bobot tubuhnya dan juga istrinya yang bersandar ke dadanya. Pelukannya terlepas. Ia jatuh ke lantai. Kepalanya disandarkan ke paha istrinya. Berganti kini istrinya memagut. Diusapnya pipi suaminya. Keduanya sunyi. Larut dalam kesedihan masing-masing.

Penyesalan mulai menyeruak menyelimuti Rustam. Dari kecupan-kecupan istrinya sambil mengulang-ulang menceritakan mimpinya kepada Rustam, Rustam dapat merasakan keguncangan istrinya melebihi dari apa yang ia rasakan.

Rustam teringat pada doa-doanya mengharapkan kematian istrinya. Rustam ingat pembiarannya dan tidak mengurus istrinya yang jatuh sakit sehari setelah kedua anak laki-lakinya -- kakak Yuda -- terbang kembali ke kota mereka masing-masing di pulau yang berbeda melanjutkan hidup bersama keluarga masing-masing. Rustam teringat beberapa saat yang lalu ia hampir membunuh istrinya. Rustam teringat pada pisau yang masih berada di ranjang itu. Dirabanya. Begitu tangannya menyentuh pisau itu, dibuangnya jauh dan prakk, pisau itu menempel di lemari jati yang ada di sudut kamarnya.

Rustam tak kuasa menahan sebak. Ia ingin teriak namun tertahan. Seakan-akan pita suaranya sudah tak lagi berfungsi. Tubuhnya berguncang hebat. Tangisnya semakin tak terbendung. Pun istrinya. Suami istri itu akhirnya terlelap kehabisan tenaga.

***

Telah dua hari Rustam menemani istrinya di rumah sakit. Kepada anak-anaknya yang merisaukan keadaan Mama mereka Rustam bilang istrinya cuma demam panas biasa akibat kelelahan. Dan memang, di hari yang kedua itu istrinya sudah menampakkan tanda-tanda akan sembuh.

Sesulit-sulitnya menerima sebuah kenyataan pahit, lebih sulit lagi memaafkan keadaaan yang telah menyebabkan terjadinya kenyataan pahit itu.

Rustam masih sulit memaafkan dirinya yang terniat membunuh istrinya. Dan lebih sulit lagi baginya memaafkan kesalahan istrinya yang dianggapnya telah menyebabkan Yuda bunuh diri. Tapi Rustam telah berjanji pada dirinya. Rustam tidak akan melakukan kesalahan baru untuk membalas kesalahan yang dilakukan istrinya, kepada dia dan kepada Yuda.

Rustam menyadari bahwa perlakuan istrinya kepada Yuda adalah untuk kebaikan anak mereka juga. Bukan hanya kepada Yuda seorang, kepada kedua anaknya yang lain istrinya juga berbuat hal yang sama. Dan Rustam bukannya tidak tahu bagaimana pola asuh istrinya kepada ketiga anaknya. Hanya saja Rustam tidak pernah berpikir sejauh itu dan sedikit pun tidak menyangka dampaknya berakhir fatal. Karena itulah ia tidak pernah menyalahkan cara-cara yang diterapkan istrinya kepada anak-anak mereka.

Rustam mengecup kening istrinya. Dilihatnya betapa beratnya beban yang tergurat di kening istrinya. Mata yang terpejam itu seperti sedang berusaha menenggelamkan kenangan akan kematian anak bungsu mereka yang mengenaskan. Dibetulkannya letak selimut istrinya yang tersibak hingga ke atas lutut. Dikecupnya kembali kening istrinya yang sudah tertidur. Dalam dan lama. Lalu Rustam keluar dari bilik perawatan mencari angin segar.

Rustam menyusuri lorong rumah sakit dan berhenti di koridor menuju kamar mayat. Di sana Rustam mendapatkan ketenangan. Tak ada orang lalu lalang dan kasak-kusuk mengusik kesendiriannya.

Rustam teringat pada lembaran kertas yang masih disimpannya di saku celananya. Diambilnya kertas itu. Dibiarkannya terlipat. Ia ragu membacanya. Ia takut bayangan kematian Yuda kembali menyulut api kemarahannya. Rustam tersedak menahan isak. Kertas itu dibuangnya. Ia takut istrinya akan menemukan kertas yang ia ambil dari catatan harian Yuda -- tanggal dan tahun yang tertera di kertas itu adalah tujuh tahun sebelum Yuda bunuh diri. Ia meninggalkan koridor itu kembali ke kamar perawatan istrinya.

Petugas jaga kamar mayat yang dari tadi memperhatikan Rustam memungut kertas itu dan membacanya.

3 November 2003. Jam 01.50

Aku benci papa. Papa egois.

Mama selalu bilang kalau aku ngeband papa marah. Kalau aku gak kuliah teknik papa marah. Kalau Ipeku jelek papa marah. Apa yang kulakukan gak pernah disetujui ama papa ama mama.

Dari kecil mamaku selalu bilang begitu. 

Kalau aku gak mau makan mama bilang papa marah. Kalau aku nangis terus papa marah. Kalau aku main layang-layang ama anak kampung dekat rumahku mama bilang papa marah. Kalau aku mandi ujan kata mama papa marah. Kalau aku gak langsung pulang dari sekolah mama ngancam mau bilang ke papa.

Dan papa beneran marah. Kalau papa marah apa saja dibantingnya. Matanya merah.

Dulu aku pernah ngirim surat ke papa waktu aku masih SD. Ayam yang ditinggalkan papa sekandang, aku tidak tahu jumlah ekornya untuk aku pelihara mati semua karena sakit. Waktu itu papa sedang merantau ke Malaysia. Papa belum sekaya sekarang. Belum punya bisnis rumah seperti sekarang. Papa masih jadi buruh. Papa belum punya mobil dan rumah sebagus sekarang. Papa belum pernah ke eropa apalagi punya kantor di sana. Di surat itu aku ceritakan pada papa kalau aku udah baik-baik memelihara ayam-ayam itu, ngasih minum, ngasih makan, ngidupin lampu kalau malam. Pokoknya ayam itu mati bukan karena gak aku urus. Tapi papa gak ngebalas suratku. Dan aku yakin papa emang marah seperti yang dibilang ama mama. Bang Radit ama Bang Nisam juga bilang padaku kalau papa tahu ayam-ayamnya mati papa pasti marah. Dan aku takut sekali ama papa.

Waktu papa pulang dari Malaysia, aku takut keluar kamar. Aku baru mau keluar waktu mama manggil dan bilang papa marah beneran kalau aku gak keluar. Sejak itu aku udah jarang ngomong ama papa. Salah ngomong bisa-bisa papa marah.

Papa bisanya cuma marah. Apalagi sekarang pas udah kaya. Mama bilang papa gak mau beliin mobil buat kuliah kalau aku gak nurut. Kalau aku gak nurut papa pasti marah. 

Papa ama mama sama aja. Sama-sama suka marah.

Capek. Capek. Capek. 

Aku capek diancam terus. 

Aku juga punya hati pa, ma. Aku juga punya keinginan. Kenapa papa ama mama gak pernah nanya apa yang aku inginkan? Kenapa?

Papa ama mama gak peduli ama aku. Mulai sekarang aku juga gak mau lagi peduli ama papa ama mama. Aku gak takut lagi papa marah. Aku bukan anak kecil lagi. Aku akan berontak. Aku akan ngelakuin apa  aja yang aku suka.

Peace, love n gaul.

 

Petugas jaga kamar mayat itu memandang Rustam yang makin jauh. Ia menggeleng. Ia tersenyum dan merobek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah sambil berujar "Hah, manusia. Sudah tua masih juga nyalahin orang tua.

umamotu batubelah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun