MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (Bag.4)
Â
Â
P R O S E S I Â B E G A W A I
Hari Pertama Persiapan begawai (Minggu): Secara tradisional biasanya mendirikan bangsal di hari ahad atau minggu dilakukan secara gotong royong dipimpin oleh pengulu gawai yang juga disebut pengulu balai. Jika pengulu gawai tidak ikut mengarahkan untuk pembuatan bangsal maka dia hanya disebut sebagai "pengulu gawai" tanpa berpredikat "pengulu balai". Sebelum "ngunjamkan" tiang bangsal jauh hari sebelumnya tuan rumah terlebih dahulu suda "betare" meminta izin atau restu kepada dukun kampong setempat. Maka di hari pembuatan bangsal, waktu menanamkan tiang kayu terlebih dahulu menyiramkan air yang sudah dimantrai oleh dukun kampong ke seluruh tempat bakal bangsal dibuat. Bahan bahan kayu yang ditebang dari hutan itu semuanya sudah diperhitungkan jumlah dan rupa kebutuhannya sehingga tidak ada kekurangannya atau keberlebihannya (Tukang Bangsal sudah ahli akan keperluan bidangnya). Di bawah ini berbagai bangsal yang mesti disiapkan:
- Blandongan (bangsal tarup yaitu bangunan besar beratap dengan tempat duduk dan meja). Bahan tiang, alang, serta kasau dari kayu bulat belum dikupas, sedang atap biasanya dari daun nangak (sejenis palem hutan, jika sudah terbentuk atap dapat digulung, maka untuk bangsal blandongan memerlukan sekian banyak gulungan atap nangak, bisa juga atap rumbia, tergantung keinginan tuan rumah, sekarang atap ini sudah tak digunakan lagi). Meja dan bangku bentuknya memanjang dengan rangka kayu (diikat rotan, atau dipaku jika mampu namun harga rotan ikat biasanya lebih sering dipergunakan pada masa lalu dan kaki kaki mejanya ditancapkan di tanah) meja dan alas duduk dari papan panjang, pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang, dan lainnya, yang semua diikat dengan rotan. Dindingnya berhias daun kelapa dari tiang ke tiangnya, dan di tiap tiang terkadang berhias daun sengkulun (jenis rumput yang daunnya menyerupai jarum halus lembut tak bertangkai karena "jarum jarum" halus ini berada mulai dari pangkal hingga ke semua percabangannya) .
- Telasar (bangsal ukuran sedang beratap serta berlantai rendah, dibuat untuk duduk bersila memakai tikar; biasanya duduk di sini, para mualim, tetua kampong, penghulu adat, penghulu agama, serta para tokoh terpandang). Lantai telasar biasanya dari papan, pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang, dengan gelegarnya dari kayu atau batang kelapa direbahkan. Bangsal ini juga beratap nangak atau rumbia. Dindingnya rendah berhias daun kelapa kadang daun sengkulun.
- Paun (meja panjang bertingkat buat menempatkan, baki air minum dan penganan, serta bakak nasi, piring kue, dulang laut pauk, dll). Paun biasanya dibuat di bawah rabat rumah atau di emperan atap rumah, terbuat dari rangka kayu dipaku ata diikat rotan dengan alas meja papan sepanjang empat meter atau lebih karena disambungkan sepanjang rabat.
- Panggong (bangsal buat manggung acara kesenian). Bangsal ini biasanya ditempatkan di halaman depan rumah-rumah tradisi Belitong yang memang berhalaman luas. Panggong kesenian tradisional ada berlantai tinggi dan ada yang sedang atau rendah. Lantai yang tinggi sedang biasanya buat panggung kesenian tradisional, misal betiong, berinai, bekintong, besepen, begubang, becampak, berhadra, begambus, dan lainnya. Sedangkan bangsal panggong yang lantainya  begitu tinggi sering disebut pundok "membarongan", biasanya untuk menempatkan alat kesenian beregong atau beserunai guna mengiringi para petarung "beripat" atau petarungan menggunakan bilah rotan. Para petarung berlaga di arena atau panggong di bawah "membarongan" itu. Membarongan biasanya beratap sedangkan panggong tidak.
- Telasar Mak Panggong (bangsal dibuat  untuk Mak Panggong dan pegawainya bekerja meramu makanan serta menyiapkannya, juga tempat dulang yang sudah berisi makanan, jadi bangs aini cukup luas sesuai kebutuhannya). Bangsal ini biasanya dibangun di bagian belakang rumah, mengemper di terusan atap rumah. Tinggi lantainya sama dengan telasar depan. Secara tradisional tiangnya dari kayu, beratap nangak, berdinding rendah memakai daun kelapa, kadangkala memakai kajang (jalinan daun lais yang dikeringkan, bisa buat atap, dinding, bahkan layar perahu).
- Telasar Biak Kecik (bangsal makan berlantai agak tinggi seperti panggung untuk anak anak makan dan bermain dengan pengamanan dinding rendah tapi kokoh). Para pegawai atau pelaksana gawai biasanya membawa serta anak istri untuk membantu pelaksanaan gawai, maka untuk menertipkan anak anak yang berkumpul dibuatkan bangsal khusus buat mereka. Di situ mereka mulai diajarkan cara makan barsama secara tertib, juga berkumpul bermain di situ maka anak tertua, anak paling besar, baik Perempuan atau laki laki mesti mengasuh atau menertibkan anak anak yang usianya lebih rendah dari mereka.
- Pelantaran (bangsal kecil tempat bebason atau mencuci piring, pinggan, dll) Bangsal kecil berlantai rendah; kayu para'-para' atau pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang. Biasanya terletak tak jauh dari sumur atau pelimbahan (lubang tanah untuk menampung limbah pencucian) yang sudah disediakan. Ada pelantaran basah buat nyuci dan pelantaran kering buat hasil cucian.
- Pundok masak (bangsal kecil buat memasak berbagai makanan gawai;  menanak beras, memasak dudul, dan lainnya). Letaknya di bagian belakang rumah. Bangsal kecil ini memuat "kayu api" (kayu bakar) serta banyak tungku. Tungku tradisional untuk menanak beras di kawah besi (kuali besar) biasanya memakai tiga potongan pohon kelapa direbahkan, atau tiga bongkahan batu. Di pondok ini tersedia balai balai buat duduk sang pemasak, juga balai balai itu biasanya cukup lebar karena bisa ditempatkan  sementara  masakan mentah atau yang sudah matang buat sementara.
Semua bangsal yang dibangun oleh Tukang Bangsal dibantu secara gotong royong orang kampong setempat. Biasanya tengah hari sudah selesai, sebelum zuhur para pembuat bangsal makan siang. Jika ada yang belum rampung diteruskan sesudah zuhur. Saat ini, secara modern bangsal tidak lagi dikerjakan secara gotong royong karena sudah ada "tarup" (bangsal rakitan dengan segala perlengkapannya) yang disewa dan dikerjakan oleh penyewanya.
Â
Hari Kedua (Senin): Di era masa kini, kegotongroyongan masih terasa ada di kampong-kampong yang masih memegang tradisi kebersamaan. Itu menandai bahwa di masa silam sistem itu sudah terbentuk begitu masif. Maka jika ada keluarga di sebuah kampong akan begawai maka para famili serta penduduk kampong tersebut akan peduli untuk ikut membantu; ada rasa tak nyaman di hati jika tak turun tangan atau sekedar urun rembuk membantu meringankan acara begawai salah seorang anggota kampongnya. Penduduk berkunjung ke rumah gawai dengan membawa berbagai "bekal gawai" dari kayu api hingga bahan makanan buat makan bersama selama membantu di rumah gawai (di Kampong Petaling Pulau Mendanau Belitong, kayu api untuk begawai disediakan oleh kaum perempuan kampong). Dalam rangkaian hari persiapan gawai hingga begawai, setidaknya sehari atau sekali mereka hadir membantu di rumah gawai. Selama penduduk membantu di rumah dan makan bersama di situ maka selama itu ada istilah "periok begantong".
Pada hari ini juga, para ibu-ibu kampong mulai menyiapkan segala peralatan masak dan makan, semua itu boleh dipinjamkan kepada tetangga serta sanak saudara. Begawai secara tradisianal merupakan adat kebersamaan yang terbentuk sejak lampau di masyarakat kampong agar perhelatan gawai berlangsung. Di hari kedua ini, alat-alat tersebut mulai ditandai agar tak tertukar ketika mengembalikan nanti, itu jika sudah dibersihkan. Orang-orang sekitar mulai berdatangan secara sukarela ke rumah gawai untuk "begawe" membantu persiapan gawai tersebut. Persiapan peralatan ini harus terkumpul hingga hari kamis sebelum asyar. Di hari kedua ini, jelang sore biasa ada sajian bubur lemak manis dari umbian misalnya, "buter', "menggale, "tila", dan lainnya.
Hari Ketiga (Selasa): Di hari ini, penduduk kampong terus secara sukarela  membantu ke rumah gawai. Di hari ketiga ini juga penduduk menyumbangan berbagai bahan makanan berupa beras, berbagai rempah bumbu, serta berbagai bahan makanan buat persiapan gawai serta makan para "pegawe". Sejak hari ini, di rumah gawai sudah memasak untuk makan siang dan sore para pekerja sukarela yang "begawe". Para pegawe memilih dan menampi beras, membersihkan dulang, bahkan membersihkan ruangan rumah, dan lainnya. Sumbangan makanan yang datang biasa; daging hewan buruan seperti kijang, pelanduk, dan rusa, juga ikan, udang, buahan, umbian, dan lainnya (semua sumbangan itu "Tidak Dicatat" jadi betul betul sumbangan tanpa pamrih). Di hari ketiga ini, jelang sore hari, ada sajian bubur lemak manis dari polongan, misal kacang hijau, jawak atau jawawut, atau lainnya.
Hari Keempat (Rabu): Hari ini, Mak Panggong sudah memastikan peralatan masak dan makan (peraba atai perabotan) sudah tersedia jika belum harus diusahakan lagi. Dan para "pegawe" hari ini, membuat "dudul" yaitu dodol manis dari tepung beras ketan, gula kabung, serta kelapa. Memasak dudul lamanya berjam-jam. Makan siang bersama memakai dulang bagi para pemasak dudul. Jelang sore hari ada sajian bubur lemak manis berupa buah, biasanya pisang atau labu. Â Hari ini juga, Mak Inang sudah menyiapkan calon pengantin perempuan; "Betengas" atau mandi uap dengan rempah-rempah, serta diberi pengetahuan tentang hubungan suami istri serta "ketahanan", kecantikan, serta kekuatan semangat secara batin. Pada umumnya Mak Inang tradisioanal memiliki ilmu kebatinan yang mumpuni. Juga mahir bepantun, besyair, bedendang, dan lainnya (biasanya beliau ikut memimpin acara berinai).
Hari Kelima (Kamis): Di hari ini, Mak Panggong memastikan "peraba" sudah tersedia semua karena sesudah sholat asyar "peraba" sudah tidak boleh didatangkan atau dipinjam lagi dari tetangga. Para "pegawe" menyiapkan makanan untuk "Selamatan Gawai" sesudah asyar.
Usai asyar Selamatan Gawai dibuka oleh pengulu gawai, sebelum Dukun Kampong memimpin "selamatan", pengulu gawai terlebih dulu "mengalu-alukan" (menetapkan sekaligus mengenalkan kepada dukun semua petugas gawai atau para pengawai, dengan begitu mereka yang di alukan sudah syah sebagai pegawai yang memegang amanah gawai) mulai dari Penggulu Gawai sendiri, Tukang Tanak Nasi, Mak Inang, Mak Panggong, Tukang Kaut beras, Tukang Ngabelek dan Nyambut Penganten, serta lainnya, agar diberkati atau diberi kelancaran selama menjalankan gawai (di masa lampau, acara begawai sering diganggu secara magis oleh orang yang tidak suka; misalnya kecemburuan terhadap pengantin atau tersebab lainnya). Selepas selamatan, kemudian Pengulu Gawai membentuk para pegawainya; tukang angkat dulang, penyambut tamu undangan, dan lainnya buat bertugas selama kundangan berlangsung.
Selepas membaca doa selamatan gawai ada makan bersama di dulang sebagai resminya gawai di buka. Ada beberapa Kampong, makanan tersebut mesti dukun kampong dulu yang mencicipinya. Ada juga pembukaan gawai atau selamatan gawai dengan ditandai para hadirin berebut bermacam makanan dalam satu dulang yang sengaja disediakan untuk itu yaitu di Kampong Damar Belitung Timur. Macam makanan itu adalah makanan yang bakal tersaji buat gawai tersebut termasuk "jengkarok" (kerak nasi kering ditumbuk memakai kelapa parut dan lainnya)
       Selepas selamatan gawai, Mak Inang mengatur dan menata ruang tidur pengantin, tugas itu disebut "menggantong" yaitu menggantungkan buah "butun" sebagai kiasan dan hiasan di ranjang pengantin. Mak Inang diberi makanan khusus satu dulang berisi pisang, telur rebus , aruk berete, jengkarok. Pada saat yang sama dukun kampong juga melakukan ritual "ngarong" yaitu mengarung beras sekitar lima kilogram ke dalam karung sumpit (karung terbuat dari lais) beras itu diikat dan baru dibuka ketika nanti selesai begawai, itu sebagai syarat tradisi begawai.
Selepas Isya, Tukang Ngambelek Pengantin beserta orangnya segera bertolak menjemput  mempelai pengantin pria di rumahnya atau di tempat anggorannya (rumah sementara agar tak jauh menjemputnya). Pada masa lampau, para penjemput ini terdiri dari tukang hadra atau tawak-tawak, tukang tandu penganten, tukang payung lilin, tukang gual (penerang obor), bahkan tukang kawal (jawa' jawa').
Mempelai pengantin pria (berpakaian se"jatidiri"nya; Jika ia bangsawan maka pakaian terbaik kebangsawannya) didampingi walinya serta diiringi para keluarga, diarak menuju rumah kediaman mempelai perempuan. Mempelai pengantin pria duduk di atas tandu ditudungi payung lilin. Para pemandu; Pemayung Lilin, Tukang Ngarak, serta Jawa' jawa' hanya sampai di muka pintu. Para pengiring pengantin pria dan walinya masuk ke rumah.
Sesampai di ruang pertemuan, Pengulu Gawai menyilahkan semua hadirin duduk. Setelah semua tertib, dia mengenalkan kehadiran yang datang kepada pihak tuan rumah, juga mengenal pihak tuan rumah kepada yang datang (pihak pengantin pria). Setelah itu Pengulu Gawai menyilahkan kepada wali pihak pengantin pria untuk mengemukakan maksud tujuan kedatangan mereka.
Kemudian wali pihak pengantin pria terlebih dulu menyodorkan tipak sirih pinang seraya mengenalkan kapasitas diri beserta rombongannya dalam bahasa temantun atau pantun atau Bahasa santun lainnya sebagai adat-beradat Urang Belitong, terus disambut wali pihak pengantin perempuan dalam bahasa yang sama.Â
Sambut menyambut dalam "perbincangan secara adat" (tradisi santun temantun guna lebih memperjelas bagaimana latar kedua keluarga yang bakal segera menikahkan kedua mempelainya). Zaman lampau, berbincangan seperti ini bisa berlangsung lama karena menunggu waktu ijab kabul yang diminta calon mempelai. Bahkan secara tradisi, di bagian wilayah tertentu misal, di Kampong Aik Lanun Tanjong Kelumpang "perbahasaan" tersebut bisa berlangsung sangat lama karena akad nikahnya secara tradisi baru dimulai jam 12 (duabelas) tengah malam.
Setelah perkenalan dari pihak yang datang (keluarga mempelai pria) tersampaikan ke semua majelis (para undangan yang hadir) kemudian terus ke perbincangan saling merekatkan keluarga, bisa dimulai oleh siapa saja wakil kedua keluarga calon pengantin. Dalam perbincangan itu, keduanya saling merelakan kedua calon mempelai buat menikah dengan tanpa beban dari kedua belah pihak keluarga. Maka sesudah itu, mereka bersalaman seraya mengunyah pinang di ambil dari dalam tipak... sebagai tanda bahwa keduabelah pihak sepakat sepenuh suka cita menikahkan anak mereka.
Setelah itu, Pengulu Gawai atau Pengulu Balai segera mengarahkan acara agar diambil alih oleh Penghulu Nikah. Pengulu gawai mengantarkan calon pengantin pria ke hadapan Penghulu Nikah, sementara mempelai pengantin perempuan (mengenakan pakaian terindah yang disiapkan Mak Inang; pentingnya peran Mak Inang agar dapat "memadankan" atau menyerasikan pakaian yang dikenakan oleh pengantin pria) sudah duduk bersama didampingi orangtuanya serta diiringi Mak Inang yang menginangnya (mengasuh serta menjaganya). Kedua mempelai itu disandingkan duduk bersila di atas "kelece" (kasur tipis seukuran sofa) menghadap Penghulu Nikah.
Sebelum Penghulu Nikah memeriksa kedua calon pengantin, terlebih dulu ia meminta kepada majelis yang hadir untuk menyaksikannya (sebagai saksi); melihat dan mendengar kesaksian kedua calon pengantin yang bakal menikah. Maka terlebih dulu calon pengantin pria ditanya secara seksama; mengenai asal, suku, agama, status, juga bakal kewajibannya (misalnya; pada masa silam, jika pria tersebut seorang dari luar Belitong, apakah sudah membayar "tetukun" berupa harta benda sesuai kesanggupan atau secara adat yang sudah ditentukan jumlahnya. Atau misalnya saja keinginan sang calon pengantin Perempuan ingin memakai timbangan berat; bisa berat salah satu anggota badannya atau berat seluruh badannya). Setelah pertanyaan tersebut itu selesai terjawab, selanjutnya giliran calon pengantin perempuan yang menerangkangkan berkait hal tersebut serta kesediaannya dinikahi, juga permintaan mahar terhadap calon suaminya atas menikahi dirinya.
Jika tak ada perihal yang memberatkan dari kedua mempelai, Ijab Kabul pun segera dimulai. Ayahanda perempuan segera menikahkan anaknya kepada pria yang diinginkan anaknya itu.
Sesaat setelah ijab Kabul selesai, pengulu gawai mengisyaratkan kepada lebai segera berdoa, lalu doa syukur segera bersambut ke seluruh majelis hadirin.
Usai ijab Kabul Kabul, pengantin perempuan segera masuk ke kamar pengantin, setelah sekian menit kemudian ia "dijemput" oleh pengantin pria. Tata caranya dipandu oleh Mak Inang; pengantin perempuan yang sudah berada di kamar mesti menghadap dinding membelakangi pengantin pria. Lalu, dari belakang pengantin pria menyentuh kening pengantin perempuan. Ketika sudah disentuh pengantin perempuan wajib keluar dari kamar guna bersanding sebentar dengan pengantin pria.
Setelah bersanding sebentar, pasangan pengantin menyalami semua hadirin dan semua hadirin memberikan "selamat" kepada kedua mempelai. Usai itu, Pengulu Gawai mengarahkan agar "perbahasaan" untuk "betare balik" (Pihak penganten pria segera membawa pulang lagi mempelainya). Acara pamit segera dimulai lagi, wali atau wakil rombongan pengantin pria kembali membuka "perbahasaan" agar mereka diberi izin meninggalkan majelis. Rombongan mempelai pria kembali pulang membawa pengantin pria yang secara adat tak boleh langsung meninap di rumah pengantin perempuan. Rombongan pengantin diantar dengan diarak kembali ke rumahnya.
Hari keenam (Jumat): Rumah mulai dipajang (dihias), termasuk kamar serta ruang dan tempat bersanding pengantin. Hari ini, ada makanan khas yaitu "gangan umbut kelapa" buat menu makan siang para pegawai yang menyiapkan acara gawai. Malamnya, pengantin perempuan mengenakan pacar atau be-inai (mewarnai kuku) pertanda atau menandai dia sudah menikah. Adakalanya pacar baru di kenakan di hari Sabtu sesudah mandi kusul. Di masa lampau, mengenakan pacar dari daun inai, sering juga di lakukan malam hari. Di malam ini, acara ber-inai ada permaianan musik yang pemainnya semua perempuan, musik ini mengiringi tarian juga penarinya perempuan dengan pedendang lagunya juga perempuan. Acara musik dan tarian ini disebut "berinai". Sedangkan di luar rumah di panggong terbuka ada juga permainan musik dengan penarinya, berlantun syair, pantun yang didendangkan, semuanya pria. Permainan musik ini disebut "betiong".
Hari ketujuh (Sabtu): Pada hari ini masakan begawai mulai dimasak semua pemasak yang diarahkan oleh Mak Panggong. Sedang untuk makanan khusus pengantin para pegawai membuat bingke berendam (bahannya telur gula dan santan kelapa kental serta pandan yang direndang hingga berminyak seakan terendam) yang bakal diantarkan khusus buat penganten pria, juga membuatkan makanan Istimewa lainnya buat pengantin pria itu. Makanan hantaran tersebut dimasak dan disajikan secara khusus misal rupa masakan ayam, sayur, dan lainnya dihias indah sedemikian rupa indahnya, ditempatkan didulang penganten yang disebut pahar (dulang kecil berkaki) sedangkan untuk menempatkan jaja' (kue); bingke berendam dan lainnya di semberit (dulang berkaki lebih kecil dari pahar). Makanan ini diantarkan sore hari.
Seperti biasa jika jelang sore, makanan pelepas senja bagi pegawai, membuat bubor dari bahan olahan: itil atau kitil, dawat, dll. Bubu kitil adalah sebutan dari bubur yang terbuat dari tepung; ubi, sagu atau gandum; tepung diolah secara kalis dibentuk potongan kecil-kecil (dikitil) dengan kuah manis bersantan. Di masa masa berikutnya, orang menyebut atau menamai bubur kitil menjadi bubur itil, lalu kemudian menyebutnya bubur kelentit bekanjar. Penamaan ini sungguh membuat bubur ini begitu heboh. Apalagi di masa lampau ada yang mengaitkan ini dengan pengantin yang besok hari bakal ada di pelaminan. Tetapi pendapat itu kurang jelas, karena bisa saja di hari Sabtu di pase gawai itu, bubur yang dibuat adalah jenis bubur lain misalnya bubur dawat yang juga dari tepung. Namun begitulah, konon bubur tersebut dibuat karena mengingat pengantin sudah menikah!
Jelang sore, pengantin perempuan Bekusul (mandi dengan aturan dukun kampong yaitu memakai daun neruse dan tepung tawar; tepung beras), juga Mandi Berias (mandi dengan aturan Mak Inang memakai air tujuh kembang) Selesai mandi kemudian Berandam (nyukor kening). Selesai melakukan semua itu, pengantin dipingit oleh Mak Inang di kamar pengantin.
Jelang sore itu juga, bersamaan penganten perempuan bekusul maka tukang "ngantarek" pengantin pria makanan melakukan tugasnya (selain mengantarkan makanan juga "aik pandik" yaitu air yang sudah dimantrai dukun buat mandi penganten pria di rumahnya, agar esok hari tetap terjaga kesehatannya).
Sore itu juga, Pengulu Gawai mengundang para tetua, lebai, dukun, serta para tokoh kampong untuk acara "Mace Surat" untuk esok pagi (Minggu), mereka juga disebut "Tukang Marhaban" (biasanya membaca syair al Barzanji) guna mengisi waktu selang menunggu kehadiran pengantin pria yang bakal bersanding.
Malamnya (malam Minggu) ada tradisi berhadra (memainkan hadra dengan lagu-lagu Islami hingga pengantin perempuan tidur yang dijaga Mak Inang) Selama hadra berlangsung, para pegawai menempatkan "Telu' Tamat" di sisi "kelice" (Kasur tempat penganten bersanding, esok hari). "Telu' Tamat" yaitu sebuah telur ayam yang sudah direbus serta dibungkus kertas hias kemudian digantungkan pada ujung lidi pelepah kabong atau enau yang juga sudah dihias. Lalu, lidi dan telur behias tersebut ditancapkan dalam wadah sehingga banyaknya lidi bergantung telur hias itu menjadi semarak menyerupai pohon berbunga telur.
Setiap anak-anak kampong boleh menitipkan telur itu. Nah, setiap keluarga di kampung itu boleh menitipkan telur tersebut menaruh harapan agar anak anak mereka dipermudah dan pintar membaca Alquran, dengan lidi telur hias tersebut sebagai penunjuk bacaannya. Usai "Telok Tamat" ditempatkan di posisinya, lalu ia diberkahi dengan dibacakan doa oleh lebai atau pemimpin hadra.*
Disusun oleh Ian Sancin.
 Pengumpul data:  Ian Sancin, Merwan Vinobi, Galuh Bebute.
Â
Sumber Data penelitian tahun 2015-2016:
Mak Baina (Khatijah) 74 Th. Mantan Mak Inang. Tanjongpandan, Belitong Barat.
Mak Jana, 70 Th. Mantan Mak Inang. Sungai Padang. Belitong Utara.
Mak Ana (Rohana). 72 Th. Mak Inang Gantong. Belitung Timur.
Fadli. 53 Th. Pengulu Gawai. Badau. Belitong Barat.
Mat Said. 76. Mantan Lurah Sungai Padang 1967-1980, (di masa Kenegerian Tanjongpandan)
Zainah. 74 Th. Mantan Penganten Perempuan 1959. Tanjongpandan.
Halidjah. 82 Th. Mantan Penganten Perempuan 1950. Manggar.
Zainudin (Kulup) Dukun Adat Perpat. 62 Th. Membalong. Belitong Selatan.
Jamal Satar. 65 Th. Pengulu Gawai. Selat Nasik. Mendanau.
Basri Ahad. 75 Th. Pengulu Gawai. Tanjungpandan.
Janong. 66 Th. Seniman Pantun. Ketua PANBEL (Pantun Berebut Lawang; Komunitas pemantun acara berebut lawang) Tanjongpandan.
Suyon. 48 Th. Ketua Sanggar Pelandok Laki. Tanjongpandan
Maharan. 67 Th. Seniman Pantun. Badau.
Dulhani Ajim (Kik Canok) 87 Th. Mantan Penghulu Nikah, Aik Lanun. Tanjong Kelumpang. Belitong Tenggara.
Mak Nong, 64 Th, Mak Panggong Pangkal Lalang. Tanjungpandan.
Sahadin (umur tak diketahui) Turunan Syech Hatamu Abu Yakob. Kampung Baru Tanjong Kelayang.
Ki Agus Haji Abdul Hamid, Tambo, 1934.
Belitong, Â Pebruari -- Maret 2015
_______________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI