Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggalorkan Tradisi Adat Begawai Urang Belitong (Bag.2)

14 Januari 2025   22:00 Diperbarui: 14 Januari 2025   21:05 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramaian "Makan Bedulang di Festival Irau Degau Urang Belitong" HJKT 2016  (Sumber: Foto Kaka)

MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (bag. 2)

 

 

 

TRADISI  BEBIAKAN, BEPAHAM, dan JAJA' GEDE

 

BEBIAKAN  

Dalam bahasa lokal Belitong bebiakan artinya berpacaran. Tradisi bebiakan nampaknya sudah ada sejak lama. Bebiakan atau berpacaran tidak ditabukan dalam budaya masyarakat Belitong. Bebiakan terjadi karena adanya perkenalan intim sepasang muda mudi. Awal mula perkenalan tentunya melalui pergaulan, baik disengaja atau tak disengaja. Pergaulan yang sengaja dilakukan biasanya dalam bentuk pertemuan atau pertemanan baik di lingkungan terbatas atau pun luas.

 Ada mediasi yang tercipta di masyarakat sehingga memudahkan setiap insan untuk saling bertemu dam mudah mendapatkan teman atau jodoh yaitu Lokasi "keramaian". Keramaian adalah istilah masa lampau di Masyarakat Belitong di mana orang banyak berkumpul misalnya pasar atau acara tertentu yang sengaja diciptakan. Namun keramaian yang seringkali disasar guna untuk mencari kawan, biak, atau pacar, atau calon teman bukanlah keramaian pasar tapi keramaian hiburan.

Keramaian hiburan sejak lampau sudah membudaya di masyarakat Belitong, misalnya raja mengadakan keramaian karena peristiwa penting seperti acara suka cita karena raja mendapatkan kelahiran anggota keluarga baru. Namun ada juga keramaian yang sudah mentradisi misalnya; pesta adat maras taon atau selamatan kampong, acara keramaian hiburan pesta pernikahan, serta keramaian suka cita lainnya. Di keramaian tersebut orang orang ingin menyaksikan hiburan yang disajaikan seperti; pentas beripat rutan, pentas pencak silat, pentas tarian, pentas campak, pentas betiong atau bekintong, pentas begubang, pentas beluncong, dan berbagai pentas budaya dan seni lainnya.

Di masa berikutnya ada juga keramaian sandiwara misalnya pentas demulok, pentas tonil. Di pentas music ada orkes melayu, orkes gambus, dan lainnya. Masa berikutnya muncul gedung bioskop, serta berbagai pentas seni musik modern dengan grub band. serta berbagai keramaian lainnya yang lebih besar misalnya pasar malam. Pasar malam lebih ramai karena kegiatan perdagangan dengan isi acara berbagai pentas budaya dan seni disuguhkan.

Saat ini Ketika media sosial sudah membumi serta pentas keramaian modern sangat beragam sehingga pentas seni tradisi di keramaian ada yang sudah tak dipentaskan lagi, namun keramaian dari pesta adat gawai masih tetap ada dengan hiburan modern seperti grub band, orkes dangdut, dan keseniaan tradisi jarang dipentaskan di acara pesta adat gawai saat ini hanya kesenian campak yang memodernisasi penampilan mereka. Meski berbalas pantun masih menjadi sajian utama dalam lagu lagu menggoda dengan tarian campaknya, juga pakaian penari perempuannya ketat minim dan seksi, itu menjadi daya tarik campak modern mengundang keramaian pengunjung.

Semua acara pentas itu adalah mediasi yang umum untuk berkenalan satu sama lainnya. Tentu saja sarana atau mediasi tersebut bukanlah satu satunya ajang sebagai cara untuk mencari biak atau pacar atau mendapatkan pasangan sebab soal jodoh kadangkala hadir sendiri tanpa dicari. Maka Kesimpulan yang paling mungkin adalah apakah sang calon mencari sendiri atau dijodohkan.

Umumnya pasangan yang mengalami masa bebiakan atau pacaran biasanya mereka bertemu sendiri. Pasangan pengantin tak sempat bebiakan biasanya adalah pasangan yang dijodohkan pihak orang tua mereka sehingga perkenalan lebih singkat. Namun pacaran singkat atau bebiakan singkat juga terjadi jika keinginan menikah sudah tak tertahan!

Jika di fase bebiakan ini pasangan itu bersungguh-sungguh ingin melangsungkan pernikahan maka segeralah kedua calon tersebut saling mengenalkan diri pada keluarga kedua belah pihak, sebagai isyarat bahwa mareka minta direstui. Atau sang pria menemui orangtua perempuan mengutarakan niatnya untuk menikahi sang biak atau pacarnya itu. Setelah "mendapat angin baik" (menyetujui niat tersebut). Biasanya pihak orang tua perempuan segera menitipkan pesan kepada sang pria (pacar) anaknya, agar disampaikan kepada orangtua sang pria bahwa pihak orangtua perempuan bakal berkunjung untuk "Bepaham". Atau sebaliknya pihak orang tua pria sendiri menitipkan kepada anaknya untuk disampaikan ke orangtua perempuan untuk berkunjung guna untuk "Bepaham".

Namun jika di fase ini ada salah seorang atau jika kedua orang tua mereka kurang berkenan atau tidak setuju dengan sang calon menantu atau dengan pihak keluarga calon besan maka bisa jadi fase ini gagal.

Biasanya para orang tua di Belitong jarang sekali tidak memperkenankan anaknya untuk menikah Ketika mereka sudah memintanya sebab di fase bebiakan inilah para orang tua masing masing sudah dapat menilai dan mempertimbangkan calon menantu masing masing, jika tidak maka harus diputuskan Ketika masa bebiakan.

Maka fase masa bebiakan menjadi momentum yang dapat menjadi ruang perkenalan dan penilaian lebih dalam guna mengenal tentang kondisi masing masing calon menantu dan besan. Jika berkenan tentunya masa bebiakan menjadi mengikat atau mempererat hubungan dari kedua kedua calon pengantin dan pihak keluarga.

BEPAHAM  menuju  KESEPAHAMAN.

Bepaham merupakan tradisi urun rembuk dari masyarakat Belitong dalam upaya mencapai kesepakatan dari perihal yang diajukan oleh masing masing pihak yang memiliki paham atau gagasan. Begitupan dalam hal bepaham atau berunding mengenai perihal pernikahan calon pengantin dari dua belah pihak keluarga agar dicapai kesepahaman.

Prosesi bepaham untuk menikahkan calon mempelai pengantin dari dua belah pihak biasanya dimulai dari salah satu pihak mengajukan keinginan untuk melakukan perihal tersebut. Maka salah satu pihak dari orang tua (yang mewakili) calon pengantin berkunjung ke rumah "calon besan" untuk bepaham atau berdiplomasi (mengajukan gagasan; ide; keinginan; perihal) kepada orangtua yang lainnya tentang anak mereka agar dapat dinikahkan.

Dalam bepaham biasanya pihak wakil calon pengantin laki laki akan membuka latar belakang calonnya kepada wakil dari pihak mempelai Perempuan; kejujuran dan keterbukaan diperlukan dalam perihal bepaham ini agar semua pihak bisa menilai dan menimbang semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki calon pihak laki laki. Sebelum prosesi bepaham ini dilakukan, biasanya pihak Perempuan sudah mendapatkan bocoran terlebih dulu dari anaknya. Informasi itu biasanya didapatkan Ketika anak anak mereka ada di masa bebiakan.

Jika anak mereka atau kedua calon pengantin tak mengalami fase "Bebiakan" maka di pase "Bepaham" inilah terjadinya prosesi penjodohan (di masa lampau "Bepaham" bisa dimaksudkan sebagai proses penjodohan juga pelamaran) Jika di fase ini belum mendapat jawaban karena belum mendapatkan gambaran yang jelas tentang latar masing masing calon maka akan ada langkah berikutnya, atau tak ada sama sekali alias tak sepaham maka batal perjodohan tersebut.

PEMUTUSAN PAHAM 

Pengertian pemutusan paham di sini adalah bahwa proses dari bepaham atau berunding telah mencapai kesepahaman (satu keinginan atau kesepakatan) dari kedua belah pihak orang tua calon pengantin. Pemutusan paham ini bisa juga didapatkan atau diputuskan ketika di fase bepaham (melamar) atau ditunda Ketika pihak yang dilamar akan memberikan jawaban Keputusannya di kemudian waktu.

Jika ditunda maka fase bepaham berlanjut ke fase "pemutusan paham" itu dapat terjadi apabila jika salah satu pihak orangtua calon pengantin berkeinginan bakal membalas kunjungan, yang bisa berarti pihaknya menerima "paham" tersebut sepenuhnya atau menolaknya. Apabila terjadi penolakan maka dalam kunjungan penolakan tersebut dikemukakanlah alasan yang tak membuat pihak lainnya tersinggung sehingga meski tak berjodoh silaturahmi akan tetap terjalin.

Pengertian "paham" mengacu pada pemahaman atau saling memahami atau pengertian. Jadi "Pemutusan Paham" berarti adanya pengertian atau pemahaman yang terlahir dari pertemuan kedua orangtua untuk menikahkan anak mereka atau tidak menikahkannya. Berbagai pertimbangan harus dimatangkan sebelum "pemutusan paham" terjadi, misal mengenai pertimbangan tertentu guna menjauhkan dari hal buruk (biasanya gunjingan masyarakat tersebab perihal akhlak) atau sebab faktor lainnya. Biasanya pertimbangan silaturahmi dan niat calon pengantin menjadi porsi utama dalam "pemutusan paham".

Tetapi jika kedua pihak telah bersepaham menikahkan anak mereka maka pihak orangtua perempuan segera mengajukan usulan rencana atau keinginan untuk datang pada hari dan waktu tertentu guna "ngantarkan jaja' gede" ke rumah pihak orangtua laki-laki. Prosesi tradisi adat ngantarkan jajak gede adalah menandai guna menunjukan bahwa calon pengantin perempuan bersedia dinikahi dan tidak dalam paksaan termasuk orangtuanya. Lalu, calon pengantin laki-laki bakal melihat kesungguhan dan kesediaan calon istrinya ini yang dilambangkan dengan membawakan jajak alias kue atau penganan buat dirinya yang ukurannya gede (besar). Kue terebut sedapat mungkin buatan calon penganti perempuan sendiri.

P e l a n g k a h a n

Kehalusan budi pekerti seseorang ditandai dengan rasa bersalah apabila dirinya melakukan hal yang kurang pantas. Maka dalam perihal pernikahan pun "rasa" itu muncul. Itu apabila sang adik lebih dulu menikah dari kakaknya, maka ada rasa tak pantas karena telah melangkahi kakaknya sebagai saudara yang lebih tua (terlahir lebih dulu) dari dirinya. Namun apa kata pepatah bahwa lahir, jodoh dan maut adalah takdir Tuhan. Manusia berkehendak Tuhan menentukan. Maka soal jodoh di perihal ini adanya pertimbangan "pemakluman" bahwa kakak dan adik saling memaklumi sehingga rasa tak pantas sang adik mesti ditandai dengan "pelangkahan".

Pelangkahan berasal dari kata langkah. Yang dimaksud "pelangkahan" di sini adalah akibat atau resiko apabila sebuah Langkah dijalani. Maka dalam kasus ini apabila sang mempelai perempuan bakal menikah mendahului kakak perempuannya (belum berjodoh) maka sang adiknya ini (calon mempelai) telah disebut "melangkahi" jodoh sang kakak. Dalam hal ini, secara adat dia mesti membayar "umbokan" (semacam denda pelipur hati) atau sering disebut denda "pelangkahan".

Denda pelangkahan tergantung dari permintaan sang kakak, biasanya sang kakak akan meminta sesuatu barang kesukaan yang dapat tertunaikan oleh sang adik. Denda pelangkahan ini biasanya ditunaikan oleh sang adik sesudah "Ngantarkan Jaja' Gede".

Bentuk denda pelangkahan itu bisa berupa barang idaman atau hadiah tertentu yang dimintanya asal tak memberatkan si pemberi. Namun kadangkala sang kakak tak menghendaki apa pun, ada juga yang meminta agar sang adik menjalankan Amanah yang dimintanya misalnya agar menjadi pasangan setia, agar tak jauh menetap dari orang tua Ketika sudah menikah, dan lain sebagainya, sifat amanah biasanya bertujuan positif.

Bisa saja calon pengantin melangkahi kakaknya lebih dari seorang maka dia mesti memenuhi semua syarat pelangkahan tersebut. Pelangkahan menjadi tradisi dalam adat pernikahan Masyarakat Belitong, hanya hanya belum diketahui kapan itu dimulai.

NGANTARKAN JAJA' GEDE atau PENGIKAT KESEPAHAMAN.

"Jaja' gede" atau kue besar memanglah lebih besar dari kue kue lain yang biasa dibuat. Keutamaan kue ini adalah simbol dari kesungguhan calon pengantin perempuan untuk sepenuh hati dinikahi oleh pria idamannya. Maka jaja' gede  sangat istimewa dibuat sebagus mungkin dan seenak mugkin. Ukuran yang besar itu guna dapat dicicipi oleh banyak orang.

Prosesi Ngantarkan Jaja' Gede dari pihak orangtua perempuan ke rumah orangtua calon pengantin pria (orangtua perempuan tak ikut serta tapi diwakilkan pada seorang yang ditunjuknya).

Tradisi ini merupakan "pengikat kesepahaman" bahwa kedua calon pengantin siap menikah. Maka dalam hal ini, biasanya selain dari membawa "Jaja' Gede" juga menyertakan tipak (tempat peralatan makan sirih) sebagai simbol martabat tradisi orang Belitong.

Prosesi ini berlangsung sepenuh hikmat dalam suasana kekerabatan "Urang Melayu" yang beradat, berucap santun temantun antara kedua belah pihak hingga jabat tangan mereka tersalam erat. Hantaran "jaja' gede" dari pihak calon pengantin perempuan, oleh pihak orangtuanya pihak laki-laki membalasnya dengan memberikan "Balasan" yaitu selembar kain, gandum, gula, telur. Maka atas balasan itu terikatlah kedua pihak keluarga itu untuk menikahkan anak mereka.

Jaja' Gede memaknai bahwa calon pengantin perempuan telah bakal sanggup mendampingi calon pengantin laki-laki dalam hal mengurus suami dan anak keturunan mereka kelak. Sedangkan balasan pemberian calon pengantin pria berupa; kain, gandum, gula, telur, memaknai bahwa calon suami sudah mampu memberi nafkah sandang pangan terhadap isrinya serta anaknya nanti.

Berikutnya, setelah kedua belah pihak menyelasaikan tradisi penerimaan "pengikat kesepahaman" ini maka kedua belah pihak "bepaham" lagi  buat menentukan pelaksanaan ijab kabul dan acara begawai untuk pengantin anak mereka tersebut.

Dari prosesi "Ngantarkan Jaja' Gede" seolah perempuan melamar seorang pria. Padahal sesungguhnya proses melamar sudah terjadi di tradisi "BEPAHAM" dan jawabannya ada pada tradisi "PEMUTUSAN PAHAM". Dari semua prosesi yang arif ini, terdapat pertimbangan atau kematangan pemikiran untuk memutuskan berumah tangga. Berbagai pertimbangan terdalam bakal telah didapatkan dari kedua belah pihak calon pengantin, itu terjadi sebelum prosesi "NGANTARKAN JAJA' GEDE".

Maka "Ngantarkan Jaja' Gede" dengan "balasan kain" hanyalah sebagai penanda atau puncak dari kesepahaman kedua belah pihak (tanda atau simbol pengikat dari kedua pasangan) maka sesungguhnya, dalam Tradisi Pernikahan Adat Belitong, di prosesi tersebut tak dikenal adanya laki-laki yang meminang calon istrinya, atau sebaliknya perempuan yang meminang. Karena tradisi "BEPAHAM" (melamar atau menjodohkan) bisa dilakukan pihak manapun (pihak orangtua pria atau pun pihak perempuan)

Meminang umumnya identik dengan sikap langsung seorang laki-laki yang ingin memperistri seorang perempuan. Dalam hal "meminang" (seorang pria terhadap perempuan diinginkannya) biasanya terjadi dari laki-laki pendatang (bukan penduduk asli setempat) maka hal tersebut di masa lampau diatur pula secara adat.

Namun tradisi "Bepaham" nampaknya di beberapa wilayah Belitong memiliki perbedaan. Misalnya di bagian timur Pulau Belitong, yang memulai bepaham (melamar) dari pihak pria terhadap perempuan. Ini masih berlangsung terutama di wilayah Tanjung Kelumpang hingga tahun 1947.

T r a d i s i    B e p a h a m

Mengapa adanya tradisi "Bepaham". Jika berdasarkan jumlah penduduk Belitong di tiap pemukiman yang relatif sedikit di masa lampau. Tiap penduduknya hidup dalam kelompok; bebak, kubok, parong, kelekak, kampong. Kampong memiliki penduduk lebih banyak ketimbang lainnya. Diatas kampong ada kute penduduknya lebih banyak lagi. istilah "kute" (Kota) tempat pemukiman raja di lingkungan benteng yang terjaga baru muncul tahun 1755, untuk "Kute Karang" di Tanjong Semba yang didirikan KA Usman Depati Cakraningrat VI di Cerucok (hulu Sungai Cerucok). Hubungan antar penduduk dari tiap tiap pemukiman di tiap wilayah itu terjaga dengan saling mengunjungi satu sama lainnya (baik oleh hubungan kekerabatan, budaya atau ekonomi) maka "bepaham" dalam berbagai hal selalu menjadi tradisi.

Dalam Sejarah Belitong, tak ada catatan tentang peperangan antar penduduk kecuali pertentangan tidak boleh menikah (itu terjadi dalam "Sumpah Perenggu" Kampong Balok dan Kampong Badau di masa silam) "Sumpah Perenggu" istilah tidak umum hanya dari pihak keluarga Raja Balok dan kalangan masyarakat hanya menyebutnya "Persumpahan" saja. Sumpah perenggu terjadi hanya dalam satu perenggu (perenggu artinya keluarga besar satu keturunan) karena keluarga Raja Badau dan Raja Balok adalah satu turunan dari Ki Ronggo Udo alias Datuk Mayang Gresik (istri pertama Ki Ronggo Udo Putri Selingkar Mayang berada di Badau dan Istri keduanya Nyi Ayu Tuning berada di Balok). Hal itu menandai betapa penting dan sakralnya pernikahan yang terjadi antar penduduk di tiap kampong di Belitong.

Perlu diketahui bawa Kerajaan Badau Berakhir Ketika munculnya Kerajaan Balok awal tahun 1600 an dengan raja pertama Ki Ronggo Udo, dan Ki Ronggo Udo sendiri adalah pendiri Kerajaan Balok. Kelak Kerajaan Balok menjadi Kerajaan Belitong Ketika Kerajaan tersebut dikuasai raja keturunan Mataram dan hingga berakhir pada tahun 1890.

Namun sumpah perenggu tak berlaku untuk keturunan keluarga Raja Balok karena pada tahun 1755 pernikahan antar sepupu terjadi yaitu antara Ki Agus Muntie bin Ki Agus Abudin dengan Nyi Ayu Busu binti Ki Agus Usman (keluarga keturunan pernikahan sepupu ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Pertebu)

Pola laku atau budaya penduduk yang suka bertandang dari orang perorang atau kelompok ke kelompok lainnya memungkinkan terjadinya tradisi "Bepaham"; sebuah budaya yang mengedepankan keikhlasan "memahamkan" (mengusulkan rencana) dan keikhlasan menerimanya dengan pemahaman yang mendalam serta mendasar, termasuk rencana menjodohkan anggota keluarganya.

Maka pola laku penduduk yang demikian itu menjadikan sebuah acara perhelatan pernikahan diusung secara "Berehun" (gotong royong) oleh orang sekampung sehingga acara "begawai" dapat berlangsung meriah menjadi kegembiraan atau rasa syukur bersama. Pola ini mentradisi sejak masa lampau diperkirakan ketika penduduk masih sangat sedikit dalam satu kubok hingga ke kampong yang pemukimnya banyak, kebijakan lokal adatnya dipimpin secara mentradisi oleh Dukun Kampong. Kebiasaan penduduk yang ikut menyumbangakn tenaga dan bahan keperluan untuk perhelatan begawai, itu merupakan sikap kebersamaan yang luhur dan mulia.

kemuliaan bertindak untuk "Bepaham" adalah pola berpikir yang terbentuk secara kebiasaan turun temurun, pola ini masih dapat kita jumpai di masyarakat tradisional "Urang Belitong". Maka dalam perhelatan tata cara begawai urang Belitong di masa lampau oleh raja telah dibuatkan aturannya, itu tertuang dalam "Hukum Adat Raja Belitong" atau "Hukum Penjenangan".  Aturan begawai ada dalam  halaman khusus yaitu Fatsal Begawai.

K i l a s   L a m p a u    P e r e m p u a n    M e l a m a r  

Menurut galoran turun temurun: tradisi "Ngantarkan Jaja' Gede" (prosesi "mengikat kesepahaman" di masa kini, tradisi ini seolah perempuan melamar pria) adalah mengikuti adat yang mulanya ditradisikan "Nek Raje" alias Nyai Dyah Balitungga Dewi Hisem. Galoran tersebut dituturkan oleh keluarga turunan "Nek Raje", keturunan beliau masih berdiam di Kampong Tanjung Binga hingga Tanjung Kelayang (bagian wilayah barat hingga utara Belitong).

Mereka menjelaskan bahwa "Nek Raje" seorang putri berasal dari Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1348, bersama rombongannya lari dari Sriwijaya berlindung di Batu Beginde (Selatan Pulau Belitong) kemudian terus ke Kalimantan, beliau masuk Islam dan menikah di sana dengan Syech Hatamul Abu Ya'kub seorang pedagang juga ulama Islam Turki. Setelah sekian lama di sana, mereka pindah ke Belitong mendirikan Kampong Tanjung Binga.

"Nek Raje" tidak menjadi raja tapi memimpin wilayah tersebut dengan menerapkan adat istiadatnya. Salah satunya adalah jika sudah berkehendak menikah maka perempuan mesti mengikat pria (Ngantarkan Jaja' Gede), sebagaimana dirinya terhadap suaminya. Tradisi mengantarkan jaja' gede seolah Perempuan yang melamar sang pria.

Selanjutnya ada tradisi menjemput calon pengantin pria oleh pihak perempuan dengan di arak memakai gendang ceper yaitu gendang hadra (kesenian dibawa oleh keluarga Syech Hatamul Abu Ya'kub). Wilayah adatnya ketika itu, Tanjung Binga hingga pantai Labuan Tanjung Kelayang. Berikutnya berkembang hingga Tanjung Tinggi ke Sijok dan lewat Suak (Aik Bebute hingga Gunong Seriting dan Gunong Langsad, Aik Binting, Aik Rusa', Gunung Tembalu, terus ke Batu Itam berbatas Sungai Kubu).

K I l a s   L a m p a u   P a k a i a n   P e n g a n t i n

Tahun 1964, R Osberger mendirikan museum di Tanjung Pandan. Di adalam museum tersebut mengoleksi pusaka pusaka Belitong misalnya barang barang Kerajaan juga sumbangan Masyarakat. Sumbangan Masyarakat berupa pakaian adat pengantin (pengantin masa lalu) dari keluarge turunan "Nek Raje" menjadi koleksi Museum Belitong di Tanjung Pandan (sumbangan koleksi museum dari keluarge turunan "Nek Raje" selain pakaian pengantin juga berupa tombak bujor, bukor, "payong Raje") Menurut Sahadin seorang keluarge tersebut, mengatakan pada 28 Pebruari 2015 bahwa pakaian pengantin tersebut sudah tak lagi terlihat di museum itu.

Ada kemungkinan barang barang tersebut hilang karena pada dekade tertentu museum itu tak aktif. Pada mulanya managemen museum ada dalam tanggungjawab Perusahaan timah PN UPTB, kemudian tahun 1976 PT. Timah tbk. Masa operasional Perusahaan PT Timah tbk di Belitung tutup mulai tahun 1991 maka museum itu aktif lagi diambil alih Pemda Belitung pada 2010 (bersamaan berdirinya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

K i l a s    l a m p a u    P r i a    M e l a m a r

Menurut galoran keluarga Raja Belitong atau Raja Balok juga catatan "Tambo Kerajaan Belitong" ditulis oleh KA Abdul Hamid: Abad ke-tujuhbelas, pada prosesi pernikahan ada perubahan di tradisi cara melamar. Itu ketika Ki Gede Ya'kob seorang anggota keluarga kerajaan Mataram, datang ke Kerajaan Balok yang diperintah oleh Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang gersik. Ki Gede Ya'kob melamar putri tunggal Ki Ronggo Udo bernama Nyi Ayu Kusuma, lalu gawai gede pernikahan tersebut selama tujuh hari tujuh malam (seminggu, nampaknya tradisi begawai selama tujuh hari memang sudah mentradisi sejak lama). Lalu, Ki Ronggo Udo menyerahkan takhtanya kepada sang mantu yaitu Ki Gede Ya'kob .

Ki Gede Ya'kob alias Ki Masud, alias Depati Gegedeh alias Gegedek menjadi Raja Balok dengan gelar Cakraningrat I. 1618 -- 1861. Sejak itu, di bagian sekitar pemerintahan Kerajaan Balok yaitu Dendang dan sekitarnya (wilayah Belitung Timur); jika hendak menikah laki-laki yang melamar perempuan. Bahkan di masa berikutnya muncul hukum adat "Tetukun" yang berlaku terhadap laki-laki pendatang yang melamar dan menikahi gadis perempuan Belitong; calon pengantin laki-laki tersebut mesti membayar "lamarannya" tersebut kepada kepala wilayah yaitu para ngabehi (masa Kerajaan Balok ada empat Ngabehi; Badau, Buding, Belantu, dan Sijok) Jika lelaki itu bangsawan yang bersangkutan mesti membayar tetukunnya pada raja. Pada Tahun 1755, Pusat pemerintahan Kerajaan Balok pindah dari bagian timur pulau Belitong pindah ke bagian bagian barat yaitu ke hulu Sungai Cerucok.

Hukum Tetukun berangsur hilang setelah Pemerintahan Raja Balok pindah dari Cerocok (Tanjong Semba) ke Tangjong Gunong (Tanjungpandan) (Masa Cakraningrat VII Depati KA Rahad 1821-1854) dan Pengakuan Hindia Belanda atas Depati KA Rahad sebagai "Raja" maka Ngabehi berubah menjadi distrik. Karena pengaruh kolonial Belanda dan hukum "Hukum Adat Raje" bergeser ke hukum positif kolonial.

 

Menurut Dulhani bin Hajim, kelahiran 1928 adalah mantan penghulu nikah Kampong Aik Lanun Tanjung Kelumpang. Saat penulis berkunjung pada 26 Pebruari 2015 usia beliau 87 tahun. Beliau menerangkan secara seksama bahwa hingga tahun 1947, "bepaham" atau pria melamar perempuan masih berlaku (lalu, pria yang hendak menikah atau menuju tempat ijab Kabul di rumah perempuan diarak memakai iringan bunyian tawak-tawak bukan memakai gendang hadra) dan dilakukan pada tengah malam. Masa berikutnya, cara "melamar" (bepaham) tersebut berangsur hilang beralih mengikuti cara yang lazim dilakukan tradisi adat di bagian barat Pulau Belitung yaitu dilakukan siang hari dengan prosesi membolehkan pihak perempuan yang mengajukan tradisi bepaham (prosesi melamar)

Pada masa kini, jika anak remaja sudah diketahui bebiakan (pacaran) maka pihak orangtua kadangkala tak lagi melakukan tradisi "bepaham" (keinginan menikah sepenuhnya tanggungjawab sang anak) maka biasanya pihak perempuan langsung ke pase "Ngantarkan Jajak Gede" (inilah nampaknya, seolah olah calon pengantin perempuan yang melamar calon pengantin prianya)

 

T r a d i s i   y a n g   H i l a n g

Ada bagian tradisi yang hilang dan bakal hilang; Pengaruh adat Jawa yang dibawa oleh Ki Gede Ya'kob misalnya unsur budaya "Injak telor". Jika pada prosesi pernikahan adat Jawa hanya diinjak oleh pengantin pria saja. Namun di prosesi pernikahan adat Belitong, kedua pengantin mesti meninjak telok ayam dengan kaki masing-masing dengan secara bersamaan (ini bisa memaknai bahwa dalam kehidupan rumah tangga keluarga Melayu Belitong yang Islami tak ada yang lebih dominan, suami istri adalah setara dalam kawajibannya.

Budaya injak telor ada dalam rangkaian prosesi "Mandi Besimbor". Saat ini Mandi Besimbor itu sendiri sudah jarang dilakukan dalam acara tradisi pernikahan adat Belitong. Pengantin masa kini lebih mengutamakan kepraktisan prosesi pelaksanaannya yang modern daripada ribet dengan prosesi tradisional meski penuh khikmat memaknai nilai spiritual yang lebih dalam.

Tradisi Berinai (kesenian menari, bermusik, dan berpantun yang semuanya perempuan, dilakukan malam pertama di depan pasangan pengantin) sudah tak ada lagi. Terakhir ditemui oleh Dulhani Bin Hajim pada 1940. Begitu juga Kesenian Bekintong ada yang menyebutnya Betiong (kesenian menari, bermusik, dan bepantun yang semuanya pria, dilakukan pada perayaan nikah, di halaman rumah pengantin).

Disusun oleh Ian Sancin.

( Pengumpul data: Ian Sancin, Merwan Vinobi, Galuh Bebute)

 

Sumber data penelitian tahun 2016:

Mak Baina (Khatidjah) 74 Th. Mantan Mak Inang. Tanjongpandan, Belitong Barat.

Mak Jana, 70 Th. Mantan Mak Inang. Sungai Padang. Belitong Utara.

Mak Ana (Rohana). 72 Th. Mak Inang Gantong. Belitung Timur.

Fadli. 53 Th. Pengulu Gawai. Badau. Belitong Barat.

Mat Said. 76. Mantan Lurah Sungai Padang 1967-1980, (di masa Kenegerian Tanjongpandan)

Zainah. 74 Th. Mantan Penganten Perempuan 1959. Tanjongpandan.

Halidjah. 82 Th. Mantan Penganten Perempuan 1950. Manggar.

Zainudin (Kulup) Dukun Adat Perpat. 62 Th. Membalong. Belitong Selatan.

Jamal Satar. 65 Th. Pengulu Gawai. Selat Nasik. Mendanau.

Basri Ahad. 75 Th. Pengulu Gawai. Tanjungpandan.

Janong. 66 Th. Seniman Pantun. Ketua PANBEL (Pantun Berebut Lawang; Komunitas pemantun acara berebut lawang) Tanjongpandan.

Suyon. 48 Th. Ketua Sanggar Pelandok Laki. Tanjongpandan

Maharan. 67 Th. Seniman Pantun. Badau.

Dulhani Ajim (Kik Canok) 87 Th. Mantan Penghulu Nikah, Aik Lanun. Tanjong Kelumpang. Belitong Tenggara.

Mak Nong, 64 Th, Mak Panggong Pangkal Lalang. Tanjungpandan.

Sahadin (umur tak diketahui) Turunan Syech Hatamu Abu Yakob. Kampung Baru Tanjong Kelayang.

Ki Agus Haji Abdul Hamid, Tambo, 1934.

 

                                           __________________________________________14 Januari 2025.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun