Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggalorkan Tradisi Adat Begawai Urang Belitong (Bag.2)

14 Januari 2025   22:00 Diperbarui: 14 Januari 2025   21:05 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramaian "Makan Bedulang di Festival Irau Degau Urang Belitong" HJKT 2016  (Sumber: Foto Kaka)

Menurut galoran turun temurun: tradisi "Ngantarkan Jaja' Gede" (prosesi "mengikat kesepahaman" di masa kini, tradisi ini seolah perempuan melamar pria) adalah mengikuti adat yang mulanya ditradisikan "Nek Raje" alias Nyai Dyah Balitungga Dewi Hisem. Galoran tersebut dituturkan oleh keluarga turunan "Nek Raje", keturunan beliau masih berdiam di Kampong Tanjung Binga hingga Tanjung Kelayang (bagian wilayah barat hingga utara Belitong).

Mereka menjelaskan bahwa "Nek Raje" seorang putri berasal dari Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1348, bersama rombongannya lari dari Sriwijaya berlindung di Batu Beginde (Selatan Pulau Belitong) kemudian terus ke Kalimantan, beliau masuk Islam dan menikah di sana dengan Syech Hatamul Abu Ya'kub seorang pedagang juga ulama Islam Turki. Setelah sekian lama di sana, mereka pindah ke Belitong mendirikan Kampong Tanjung Binga.

"Nek Raje" tidak menjadi raja tapi memimpin wilayah tersebut dengan menerapkan adat istiadatnya. Salah satunya adalah jika sudah berkehendak menikah maka perempuan mesti mengikat pria (Ngantarkan Jaja' Gede), sebagaimana dirinya terhadap suaminya. Tradisi mengantarkan jaja' gede seolah Perempuan yang melamar sang pria.

Selanjutnya ada tradisi menjemput calon pengantin pria oleh pihak perempuan dengan di arak memakai gendang ceper yaitu gendang hadra (kesenian dibawa oleh keluarga Syech Hatamul Abu Ya'kub). Wilayah adatnya ketika itu, Tanjung Binga hingga pantai Labuan Tanjung Kelayang. Berikutnya berkembang hingga Tanjung Tinggi ke Sijok dan lewat Suak (Aik Bebute hingga Gunong Seriting dan Gunong Langsad, Aik Binting, Aik Rusa', Gunung Tembalu, terus ke Batu Itam berbatas Sungai Kubu).

K I l a s   L a m p a u   P a k a i a n   P e n g a n t i n

Tahun 1964, R Osberger mendirikan museum di Tanjung Pandan. Di adalam museum tersebut mengoleksi pusaka pusaka Belitong misalnya barang barang Kerajaan juga sumbangan Masyarakat. Sumbangan Masyarakat berupa pakaian adat pengantin (pengantin masa lalu) dari keluarge turunan "Nek Raje" menjadi koleksi Museum Belitong di Tanjung Pandan (sumbangan koleksi museum dari keluarge turunan "Nek Raje" selain pakaian pengantin juga berupa tombak bujor, bukor, "payong Raje") Menurut Sahadin seorang keluarge tersebut, mengatakan pada 28 Pebruari 2015 bahwa pakaian pengantin tersebut sudah tak lagi terlihat di museum itu.

Ada kemungkinan barang barang tersebut hilang karena pada dekade tertentu museum itu tak aktif. Pada mulanya managemen museum ada dalam tanggungjawab Perusahaan timah PN UPTB, kemudian tahun 1976 PT. Timah tbk. Masa operasional Perusahaan PT Timah tbk di Belitung tutup mulai tahun 1991 maka museum itu aktif lagi diambil alih Pemda Belitung pada 2010 (bersamaan berdirinya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

K i l a s    l a m p a u    P r i a    M e l a m a r

Menurut galoran keluarga Raja Belitong atau Raja Balok juga catatan "Tambo Kerajaan Belitong" ditulis oleh KA Abdul Hamid: Abad ke-tujuhbelas, pada prosesi pernikahan ada perubahan di tradisi cara melamar. Itu ketika Ki Gede Ya'kob seorang anggota keluarga kerajaan Mataram, datang ke Kerajaan Balok yang diperintah oleh Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang gersik. Ki Gede Ya'kob melamar putri tunggal Ki Ronggo Udo bernama Nyi Ayu Kusuma, lalu gawai gede pernikahan tersebut selama tujuh hari tujuh malam (seminggu, nampaknya tradisi begawai selama tujuh hari memang sudah mentradisi sejak lama). Lalu, Ki Ronggo Udo menyerahkan takhtanya kepada sang mantu yaitu Ki Gede Ya'kob .

Ki Gede Ya'kob alias Ki Masud, alias Depati Gegedeh alias Gegedek menjadi Raja Balok dengan gelar Cakraningrat I. 1618 -- 1861. Sejak itu, di bagian sekitar pemerintahan Kerajaan Balok yaitu Dendang dan sekitarnya (wilayah Belitung Timur); jika hendak menikah laki-laki yang melamar perempuan. Bahkan di masa berikutnya muncul hukum adat "Tetukun" yang berlaku terhadap laki-laki pendatang yang melamar dan menikahi gadis perempuan Belitong; calon pengantin laki-laki tersebut mesti membayar "lamarannya" tersebut kepada kepala wilayah yaitu para ngabehi (masa Kerajaan Balok ada empat Ngabehi; Badau, Buding, Belantu, dan Sijok) Jika lelaki itu bangsawan yang bersangkutan mesti membayar tetukunnya pada raja. Pada Tahun 1755, Pusat pemerintahan Kerajaan Balok pindah dari bagian timur pulau Belitong pindah ke bagian bagian barat yaitu ke hulu Sungai Cerucok.

Hukum Tetukun berangsur hilang setelah Pemerintahan Raja Balok pindah dari Cerocok (Tanjong Semba) ke Tangjong Gunong (Tanjungpandan) (Masa Cakraningrat VII Depati KA Rahad 1821-1854) dan Pengakuan Hindia Belanda atas Depati KA Rahad sebagai "Raja" maka Ngabehi berubah menjadi distrik. Karena pengaruh kolonial Belanda dan hukum "Hukum Adat Raje" bergeser ke hukum positif kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun