Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Ujung Tombak, Ombak Disanjung Ego

24 Oktober 2024   15:51 Diperbarui: 24 Oktober 2024   15:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pantai. Foto: Digenerasi dengan kecerdasan buatan. 

API UNGGUN berkedip pelan, malu-malu menyalang di antara dinginnya malam. Di sekitarnya, keheningan dipecahkan oleh desahan ombak yang tak henti-henti merayap ke bibir pantai. 

Caraka berdiri mematung, memandang sosok di kejauhan yang sangat ia kenal dan terlalu kenal. 

Cahaya bulan tipis menelusuri lekuk wajah Auni, menambahkan kesan dingin pada pertemuan yang sudah lama mereka hindari.

Di sini, di tempat mereka pernah menyatu, kini hanya ada kesepian yang memisahkan. Tatapan mereka bertemu, memancarkan perpaduan antara kerinduan dan penyesalan. Ribuan kata seolah ingin terucap, tapi terjebak di balik dinding ego.

Ada sesuatu di mata mereka—keheningan yang dalam, namun riuh oleh kenangan.

Sudah sekian purnama. Namun malam ini, di tempat yang dulu menjadi saksi awal kisah mereka, ada sesuatu yang terasa asing sekaligus akrab. 

Caraka merasakan dadanya bergetar hebat. Ia tak tau, apakah getaran itu cinta, atau hanya sisa dari pertengkaran terakhir mereka yang belum benar-benar selesai.

Caraka melangkah maju, meski setiap langkah terasa berat. Seakan setiap butir pasir yang diinjaknya memanggil kembali kenangan—senyuman Auni, tawa mereka saat berlari-larian di sepanjang pantai, hingga perdebatan kecil yang selalu berakhir dengan pelukan hangat.

Namun kini, semuanya terasa seperti bayang-bayang yang menghantui, menimbulkan rasa rindu sekaligus sakit. “Auni,” panggil Caraka lirih, suaranya serak. “Sudah lama?”

Auni hanya mengangguk, matanya tetap lurus ke depan. “Ya, sudah lama.” Dia menggenggam pasir, memainkan butir-butirnya di antara jari-jarinya.

Hening mengalingi mereka. Caraka sangat ingin memeluknya, mengatakan betapa menyesalnya ia, tetapi kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya. Ia ingat betul malam terakhir mereka, saat pertengkaran berubah menjadi badai yang menghancurkan hubungan mereka.

“Aku masih ingat malam itu,” kata Auni dengan suara datar, wajahnya tidak menunjukkan emosi. “Kata-kata kasarmu menusuk hatiku seperti pisau Raka.” 

Caraka menunduk, merasakan penyesalan yang mendalam. “Aku tau, dan aku sangat menyesal. Aku terlalu egois saat itu.”

“Kita sama-sama egois,” balas Auni. “Kita berdua tidak mau mengalah.”

“Aku egois, dan kamu juga egois karena memegang teguh prinsipmu. Jika kedua tanganmu berpegang pada prinsipmu, lalu tangan mana yang akan dipakai untuk meraih tanganku?” kata Auni, tatapannya penuh tantangan.

Caraka tertegun, merasa seolah disergap oleh pertanyaan yang begitu dalam. Apa artinya prinsip jika menghalangi dua hati yang saling mencintai? 

Ia menyadari betapa egoisme mereka telah membangun dinding tebal di antara mereka.

“Jika kita terus berpegang pada prinsip masing-masing, kita akan kehilangan satu sama lain,” jawabnya dengan suara pelan, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Tapi aku... aku tidak ingin kehilanganmu, Auni. Apa prinsip itu sebanding dengan cinta yang kita miliki?”

Gelombang terus menghantam karang dengan garang, gemerciknya memecah kesunyian malam yang mencekam. Pantai tersembunyi di antara dua tebing terjal itu terasa begitu sunyi, seolah dunia hanya berisi Caraka, Auni, dan deburan ombak.

Angin laut membawa embusan dingin yang menusuk tulang, namun anehnya, Auni merasa nyaman berada di sini. Ia tertidur di pangkuan Caraka, sesekali mengigau lepas. Bintang-bintang berkerlap-kerlip di langit, seolah ribuan mata yang mengawasi dari kejauhan agar Caraka tidak berbuat macam-macam.

Pasir lembut menyelimuti kaki mereka, dan suara ombak menjadi lullaby yang menenangkan. Di sini, di tengah kegelapan dan kesunyian, mereka merasa begitu kecil namun begitu terhubung dengan alam semesta.

"Kamu bangun, Auni? Katanya enggak mau tidur semalaman?" ledek Caraka, senyumnya tipis.

Auni terkekeh pelan, matanya masih setengah terpejam. "Iya, iya... tapi suara ombaknya terlalu nyaman," kilahnya.

"Jadi, sekarang apa yang paling membebani pikiranmu Auni?" tanya Caraka, suaranya pelan namun sarat dengan perhatian.

Auni menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke arah laut yang berkilauan di bawah cahaya bulan. "Dipaksa menikah dengan orang yang aku enggak punya rasa."

"Kamu enggak nolak?"

"Dulu ada kamu yang jadi tameng," gumamnya, suaranya bergetar. "Sekarang aku udah enggak punya pegangan. Sejak kita selesai... kenapa aku terlahir sebagai perempuan? Apa kita naik ke tebing itu, lalu loncat berdua?"

"Yuk," jawab Caraka. "Tapi... apa kamu sudah siap dengan konsekuensinya?"

Auni terdiam. Caraka menatapnya lebih dalam sebelum menambahkan, "Bagaimana nasib Mamak dan Mamah kalau kita mati? Siapa yang bakal menjaga mereka? Kamu bilang enggak enak jadi perempuan, kan?"

Kata-kata itu menghantam seperti ombak di hatinya. Pertanyaan Caraka tidak hanya memancing ketakutan, tetapi juga tanggung jawab yang selama ini Auni sembunyikan di balik dinding keluhannya.

Keintiman itu sirna seketika. Langkah kaki terdengar mendekat dari arah belakang, derak pasir yang diinjak menciptakan irama yang tak diinginkan di tengah malam yang seharusnya tenang. Caraka menegakkan punggung, jantungnya berdebar kencang saat ia melihat sosok yang mendekat—Putra.

Sosok yang selama ini berusaha ia hindari. Ia berharap malam ini tak akan ada gangguan, namun harapan itu kini hancur. Putra berdiri di sana, wajahnya kaku dan sorot matanya tajam, penuh kecemburuan dan dendam yang tidak tersembunyi.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Caraka rendah namun jelas, seolah berusaha menjaga ketenangan di tengah gejolak perasaan yang membara.

Putra menyeringai, senyum tipis yang sama sekali tidak menyiratkan niat baik. “Harusnya aku yang tanya begitu. Auni bukan lagi urusanmu, kan?”

Auni yang sejak tadi diam, merasakan ketegangan di udara. Tangannya mengerat di lengan Caraka, seolah ingin menahannya untuk tidak bertindak gegabah. "Putra, tolong... Ini bukan waktunya."

Putra mendekat, tatapannya tidak beralih dari Caraka. "Ini bukan tentang waktu, Auni. Ini tentang bagaimana dia terus menyakitimu, dan kamu masih memilih untuk bersamanya."

“Kalau kamu ngeyel, aku akan loncat ke laut,” ancaman Auni menggema di antara suara ombak yang terus menghantam karang. Matanya menyala, penuh amarah dan frustrasi yang tertahan.

Putra menatapnya dengan tenang, bibirnya melengkungkan senyum sinis. "Semakin kamu ancam, semakin aku perjuangkan. Ayo, lakukan saja kalau itu yang kamu mau. Tapi ingat, kalau begini terus, kamu tidak akan pernah sembuh dari laki-laki ini."

Auni memutar matanya, tatapan penuh kelelahan dan jengkel. "Ah, itu hanya karena kamu masih penasaran sama aku," jawabnya dingin, kalimat itu meluncur tajam dari bibirnya.

Putra terdiam, tubuhnya sedikit tegang, dan tukainya goyang. Kata-kata Auni seolah mengusik keyakinan yang selama ini ia pegang. Wajahnya seketika kehilangan ketenangan, terkejut sejenak. Namun, dengan cepat, ia berusaha menutupinya.

"Apa?" suaranya terdengar lebih keras, lebih terpaksa. "Ini bukan tentang penasaran. Aku hanya ingin kamu sembuh, biar kamu enggak terus tersiksa."

Auni menghela napas panjang, merasa lelah oleh semua permainan kata yang tak ada ujungnya. "Kamu selalu bilang begitu, Putra. Tapi nyatanya, kamu cuma mau buktiin kalau kamu yang benar, kan? Bukan karena kamu peduli."

Caraka meraih tangan Auni, berusaha menenangkannya. "Auni, kita tidak harus seperti ini. Tolong, kita bisa bicara baik-baik."

Putra hanya tertawa sinis, matanya menyala penuh api. "Sudah terlambat, Caraka. Kamu sudah terlalu banyak menyakitinya, bahkan sebelum kamu menyadarinya."

Auni mengalihkan pandangannya ke arah Putra, wajahnya menyiratkan kemarahan yang begitu dalam. "Kamu tidak mengerti apa-apa, Putra. Kamu hanya memperkeruh semuanya!"

Sebelum Putra sempat membalas, angin kencang tiba-tiba menerpa, disusul dengan ombak besar yang datang menghantam pantai tanpa ampun. Hanya ada suara gemuruh laut yang menelan seluruh keberadaan mereka. 

Caraka refleks memeluk Auni, berusaha melindunginya dari gelombang raksasa. Namun, kekuatan alam terlalu besar. Mereka berdua tersapu, tubuh mereka terbawa arus dingin dan tenggelam dalam kekacauan ombak yang tak terhentikan. Sementara itu, Putra beruntung bisa menghindar dan berpegang pada batu karang.

Air laut menghantam, menggulung mereka ke tengah, menenggelamkan semua kata yang belum sempat terucap, meninggalkan hanya keheningan dan buih putih di permukaan.

***

[Mahéng]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun