“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Caraka rendah namun jelas, seolah berusaha menjaga ketenangan di tengah gejolak perasaan yang membara.
Putra menyeringai, senyum tipis yang sama sekali tidak menyiratkan niat baik. “Harusnya aku yang tanya begitu. Auni bukan lagi urusanmu, kan?”
Auni yang sejak tadi diam, merasakan ketegangan di udara. Tangannya mengerat di lengan Caraka, seolah ingin menahannya untuk tidak bertindak gegabah. "Putra, tolong... Ini bukan waktunya."
Putra mendekat, tatapannya tidak beralih dari Caraka. "Ini bukan tentang waktu, Auni. Ini tentang bagaimana dia terus menyakitimu, dan kamu masih memilih untuk bersamanya."
“Kalau kamu ngeyel, aku akan loncat ke laut,” ancaman Auni menggema di antara suara ombak yang terus menghantam karang. Matanya menyala, penuh amarah dan frustrasi yang tertahan.
Putra menatapnya dengan tenang, bibirnya melengkungkan senyum sinis. "Semakin kamu ancam, semakin aku perjuangkan. Ayo, lakukan saja kalau itu yang kamu mau. Tapi ingat, kalau begini terus, kamu tidak akan pernah sembuh dari laki-laki ini."
Auni memutar matanya, tatapan penuh kelelahan dan jengkel. "Ah, itu hanya karena kamu masih penasaran sama aku," jawabnya dingin, kalimat itu meluncur tajam dari bibirnya.
Putra terdiam, tubuhnya sedikit tegang, dan tukainya goyang. Kata-kata Auni seolah mengusik keyakinan yang selama ini ia pegang. Wajahnya seketika kehilangan ketenangan, terkejut sejenak. Namun, dengan cepat, ia berusaha menutupinya.
"Apa?" suaranya terdengar lebih keras, lebih terpaksa. "Ini bukan tentang penasaran. Aku hanya ingin kamu sembuh, biar kamu enggak terus tersiksa."
Auni menghela napas panjang, merasa lelah oleh semua permainan kata yang tak ada ujungnya. "Kamu selalu bilang begitu, Putra. Tapi nyatanya, kamu cuma mau buktiin kalau kamu yang benar, kan? Bukan karena kamu peduli."
Caraka meraih tangan Auni, berusaha menenangkannya. "Auni, kita tidak harus seperti ini. Tolong, kita bisa bicara baik-baik."