Auni terkekeh pelan, matanya masih setengah terpejam. "Iya, iya... tapi suara ombaknya terlalu nyaman," kilahnya.
"Jadi, sekarang apa yang paling membebani pikiranmu Auni?" tanya Caraka, suaranya pelan namun sarat dengan perhatian.
Auni menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke arah laut yang berkilauan di bawah cahaya bulan. "Dipaksa menikah dengan orang yang aku enggak punya rasa."
"Kamu enggak nolak?"
"Dulu ada kamu yang jadi tameng," gumamnya, suaranya bergetar. "Sekarang aku udah enggak punya pegangan. Sejak kita selesai... kenapa aku terlahir sebagai perempuan? Apa kita naik ke tebing itu, lalu loncat berdua?"
"Yuk," jawab Caraka. "Tapi... apa kamu sudah siap dengan konsekuensinya?"
Auni terdiam. Caraka menatapnya lebih dalam sebelum menambahkan, "Bagaimana nasib Mamak dan Mamah kalau kita mati? Siapa yang bakal menjaga mereka? Kamu bilang enggak enak jadi perempuan, kan?"
Kata-kata itu menghantam seperti ombak di hatinya. Pertanyaan Caraka tidak hanya memancing ketakutan, tetapi juga tanggung jawab yang selama ini Auni sembunyikan di balik dinding keluhannya.
Keintiman itu sirna seketika. Langkah kaki terdengar mendekat dari arah belakang, derak pasir yang diinjak menciptakan irama yang tak diinginkan di tengah malam yang seharusnya tenang. Caraka menegakkan punggung, jantungnya berdebar kencang saat ia melihat sosok yang mendekat—Putra.
Sosok yang selama ini berusaha ia hindari. Ia berharap malam ini tak akan ada gangguan, namun harapan itu kini hancur. Putra berdiri di sana, wajahnya kaku dan sorot matanya tajam, penuh kecemburuan dan dendam yang tidak tersembunyi.