Ihwal ini mencelikkan kembali pada kumpulan cerpen Mereka yang (Enggan) Pulang karya Aisyah Nursyamsi yang baru saja saya reviu. Pada bab "kembali," kita diselentik oleh fenomena bahwa perempuan yang menunda, atau bahkan tidak menikah, kerap diberikan berbagai stigma.
Lalu, bagaimana cara menjawab pertanyaan "kapan nikah"?
Jawabannya tergantung pada niat orang yang bertanya. Jadi, tanyakan kembali pada sipenanya, apa motivasinya bertanya?
Jika pertanyaan itu sekadar ingin tahu, jawablah dengan sopan dan ramah. Jelaskan bahwa kamu sedang fokus pada suatu tujuan atau pencapaian. Sebab bisa jadi, ia bertanya untuk memperkuat posisinya, karena yang bersangkutan juga sering mengalami pertanyaan serupa.
Jika pertanyaan itu sekadar julid, abaikan saja. Kamu tidak perlu meladeni pertanyaan yang tidak sopan dan tidak menghargai privasimu serta buang-buang energi.
Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Perlu diingat bahwa menikah bukan untuk membahagiakan orang lain, melainkan diri sendiri. Jangan menikah karena tekanan dari orang lain. Menikahlah ketika kamu sudah siap dan yakin dengan pasanganmu.
Kata orang bijak, "Salah potong rambut kecewanya seminggu, tapi kalau salah pilih pasangan, kamu akan menderita seumur hidup."
Menunda pernikahan (waithood) bukan berarti membatalkan nikah. Justru, menunda pernikahan bisa menjadi waktu yang tepat untuk mengembangkan diri dan mempersiapkan diri untuk pernikahan yang lebih matang.
Alih-alih mencak-mencak dengan pertanyaan julid, berikut beberapa aspek yang perlu dikembangkan selama menunda pernikahan:Â
Memahami Definisi dan Motivasi Menikah
Luangkan waktu untuk merenungkan definisi pernikahan menurut versi kamu. Apa makna pernikahan bagimu?