Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Waithood di Era Modern: Dilema Perempuan dan Tekanan Sosial dalam Menjalani Hidup Belum Nikah

14 Februari 2024   11:00 Diperbarui: 14 Februari 2024   19:18 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan dini.  Foto: Shutterstock/Andrii Yalanskyi via Kompas.com

Pernahkah kamu dihadapkan pada situasi rumit seperti ini?

Sibiran tulangmu diajak ta'aruf oleh pria kaya dan ternama di tempatnya bekerja, sementara kamu masih berjuang dengan kondisi ekonomi yang belum stabil.

Dilema yang membuatmu bimbang dan gamang bahkan semaput.

Baru-baru ini, saya mengalami situasi seperti itu. Kebetulan, lelaki yang bersangkutan memiliki reputasi yang cukup beken di tempat tersebut, sehingga kondisi ekonominya dapat ditabal.

Mendengar kabar itu, seakan saya tidak dapat menggerakkan tukai, kepala bergelagak, muka kuyu, badan jadi limbung.

Dasarnya, saya tidak ingin menunda-nunda pernikahan. Saya ingin menikah sekali saja dalam hidup saya, menjadikan pernikahan tersebut langgeng dan bahagia, tidak semata-mata untuk pemenuhan hasrat seksual. 

Di Indonesia, pertanyaan "kapan nikah?" seakan menjadi dedemit yang selalu menghantui (terutama) perempuan seperti pacar saya, terlebih ketika memasuki usia 20-an. 

Pertanyaan ini sering muncul dari keluarga, tetangga, bahkan orang asing, seolah-olah pernikahan adalah satu-satunya penentu kebungahan perempuan.  

Tekanan ini semakin terasa pada perempuan yang masih belum menikah di usia yang dianggap "matang". Label "perawan tua" sering kali disematkan, seolah-olah mereka memiliki kekurangan atau tidak laku. 

Hal ini tentu saja dapat menimbulkan beban mental dan tekanan sosial bagi perempuan, termasuk apa yang dirasakan oleh kekasih saya.

Tak pelak, meskipun menunda pernikahan (waithood) adalah pilihan hidup yang semakin galib di era modern. Namun, pilihan ini seringkali memiliki konsekuensi yang berbeda bagi pria dan wanita, terutama terkait dengan persepsi sosial dan biologis mengenai usia dan penampilan seperti yang sudah saya singgung di atas.

Ihwal ini mencelikkan kembali pada kumpulan cerpen Mereka yang (Enggan) Pulang karya Aisyah Nursyamsi yang baru saja saya reviu. Pada bab "kembali," kita diselentik oleh fenomena bahwa perempuan yang menunda, atau bahkan tidak menikah, kerap diberikan berbagai stigma.

Lalu, bagaimana cara menjawab pertanyaan "kapan nikah"?

Jawabannya tergantung pada niat orang yang bertanya. Jadi, tanyakan kembali pada sipenanya, apa motivasinya bertanya?

Jika pertanyaan itu sekadar ingin tahu, jawablah dengan sopan dan ramah. Jelaskan bahwa kamu sedang fokus pada suatu tujuan atau pencapaian. Sebab bisa jadi, ia bertanya untuk memperkuat posisinya, karena yang bersangkutan juga sering mengalami pertanyaan serupa.

Jika pertanyaan itu sekadar julid, abaikan saja. Kamu tidak perlu meladeni pertanyaan yang tidak sopan dan tidak menghargai privasimu serta buang-buang energi.

Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Perlu diingat bahwa menikah bukan untuk membahagiakan orang lain, melainkan diri sendiri. Jangan menikah karena tekanan dari orang lain. Menikahlah ketika kamu sudah siap dan yakin dengan pasanganmu.

Kata orang bijak, "Salah potong rambut kecewanya seminggu, tapi kalau salah pilih pasangan, kamu akan menderita seumur hidup."

Menunda pernikahan (waithood) bukan berarti membatalkan nikah. Justru, menunda pernikahan bisa menjadi waktu yang tepat untuk mengembangkan diri dan mempersiapkan diri untuk pernikahan yang lebih matang.

Alih-alih mencak-mencak dengan pertanyaan julid, berikut beberapa aspek yang perlu dikembangkan selama menunda pernikahan: 

Memahami Definisi dan Motivasi Menikah

Luangkan waktu untuk merenungkan definisi pernikahan menurut versi kamu. Apa makna pernikahan bagimu?

Jika motifmu masih dangkal, seperti hasrat seksual atau penampilan, saran saya sebaiknya memang ditunda dulu.

Menikah bukanlah jawaban dan satu-satunya solusi atas hasrat seksual. Jika pernikahan dilandasi oleh hasrat seksual, kemungkinan besar umur pernikahannya tidak akan lama, karena alat reproduksi atau alat seksual memiliki masa kadaluarsa. 

Sehingga, ketika pasangan atau kamu sendiri tidak menemukan kepuasan seksual dengan pasanganmu, akan menimbulkan niat untuk berganti pasangan, baik secara legal maupun tidak.  

Begitu pun wajah, yang memiliki masa keriputnya. Menikah dengan alasan yang salah dapat mengakibatkan pernikahan yang tidak bahagia dan rawan pertengkaran berujung perceraian.

Lantas, ketika ada yang mengatakan "saya menikah untuk ibadah atau menyempurnakan agama," itu sepenuhnya tepat. 

Tetapi, ibadah juga perlu ilmu. Hal ini senada dengan yang disampaikan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mengatakan, "Tanpa ilmu, amal tiada gunanya. Sedangkan, ilmu tanpa amal adalah hal yang sia-sia."

Maka itu, merenungkan kembali definisi menikah dan motivasi menikah merupakan salah satu bentuk ilmu yang penting. Dengan memahami definisi dan motivasi yang tepat, kamu akan lebih siap untuk menjalani pernikahan yang bahagia dan langgeng.

Mengembangkan Kedewasaan Emosional  

Belajar mengelola emosi dengan baik. Emosi di sini bukan semata-mata amarah. Mampu mengendalikan stres dan frustrasi dengan cara yang sehat sangat penting dalam pernikahan. Hal ini dapat ditunjang dengan kemampuan komunikasi. Paling tidak, 80% dalam sebuah hubungan adalah komunikasi.

Mencapai Kemandirian Finansial

Mencapai kemandirian finansial dalam pernikahan sering disalahartikan sebagai memiliki kekayaan atau penghasilan yang tinggi. Meskipun memiliki penghasilan yang stabil dan cukup merupakan faktor penting, kemandirian finansial lebih dari itu.

Kemandirian finansial dalam pernikahan melibatkan kemampuan untuk mengelola keuangan dengan baik, dari seberapa besar pendapatan yang dimiliki. Ini mencakup pembuatan anggaran yang realistis, penabungan untuk masa depan seperti dana pendidikan atau pensiun, serta memiliki tabungan darurat untuk mengatasi situasi tak terduga. 

Selain itu, kemandirian finansial juga mencakup investasi yang bijak untuk mengembangkan keuangan. Komunikasi terbuka dan jujur tentang keuangan dengan pasangan juga menjadi kunci dalam mencapai kemandirian finansial dan membangun kestabilan finansial bersama.

Uang dan finansial memang penting dalam pernikahan, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menjamin kebahagiaan. Makanya saya meletakkan poin ini di nomor tiga.

Kembali lagi ke jantung hati saya yang hendak dilamar orang, sakit sih, tapi jikalau pacar saya menerima pinangan dari lelaki itu dan pacar saya akan jauh lebih baik masa depannya, saya akan belajar menerima.

Meskipun saya mencintainya, saya memilih untuk menunda pernikahan karena saya masih memiliki tanggung jawab hutang yang harus diselesaikan.

Bagi saya, menyelesaikan hutang sebelum menikah adalah jalan terbaik untuk membangun rumah tangga yang bebas dari beban finansial.

Menikah adalah keputusan besar yang perlu dipikirkan matang-matang. Menunda pernikahan bukan berarti membatalkan nikah, tapi kesempatan untuk mengembangkan diri dan mempersiapkan diri untuk pernikahan yang lebih matang.

Penting untuk membekali diri dengan ilmu sebelum menikah. Jadi, manfaatkan jenak menunda menikah dengan memperbanyak ilmu tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta bagaimana membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 

Last but not least, menikahlah untuk kebahagiaan diri sendiri, bukan untuk membahagiakan orang lain [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun