Untuk mencegah kehamilan, mereka diminta oleh komandan-komandan itu untuk minum pil KB.
Dalam bukunya, Anna juga menyinggung kisah perjalanan  jugun ianfu atau wanita penghibur . Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta memasang iklan pencarian para mantan jugun ianfu.Â
Dari iklan tersebut, muncul sosok Mardiyem yang menyatakan diri sebagai jugun ianfu pada 29 April 1993. Sebanyak sekitar 1156 perempuan mendaftarkan diri di LBH Yogyakarta sebagai mantan jugun ianfu.
Sebelum dipaksa menjadi pemuas hasrat seksual, para perempuan diberi dan diiming-imingi tawaran bekerja sebagai pemain sandiwara.
Mardiyem bersama dua puluh orang lainnya merupakan para jugun ianfu yang direkrut dari Jawa dan menjadi angkatan pertama yang ditempatkan di Asrama Telawang (Banjarmasin).
Setiap orang diberi kamar dan nama panggilan. Mardiyem waktu itu diberi nama "Momonye." Ada 24 kamar beserta nomornya. Tarif untuk kalangan militer adalah 2 yen 50 sen, sementara untuk kalangan sipil adalah 3 yen.
Setahun kemudian di sana, ia menyaksikan kedatangan rombongan yang menjadi angkatan ke-2.
"Kala itu saya gelisah dan takut sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur dan menangis sepanjang malam. Saya teringat almarhum bapak di kampung halaman. Saya tidak tahu mengapa nasib menjadi seperti ini," ujar Mardiyem.Â
Kisah Inting tak kalah memilukan. Saat itu, Inting masih kelas 3 SD ketika ia direnggut dari keluarganya oleh tentara Jepang setelah selesai salat Isya dan mengaji bersama ayahnya.Â
Tiba-tiba datanglah empat tentara yang mengatakan ingin meminjam Inting. Meskipun ia dan orangtuanya menolak dengan keras, mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada keinginan para tentara. Mereka hanya bisa menangis tak sanggup melawan.Â
Bersama empat perempuan lain dari sekampungnya, Inting kemudian dibawa ke Gedung Kipers di Sukabumi. Di sana, tiap malam, Inting dipaksa "melayani" para serdadu hingga 15 orang.Â