Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Perempuan dalam Bayang-Bayang Sejarah: Kekerasan dan Eksploitasi yang Terlupakan

1 Agustus 2023   22:25 Diperbarui: 1 Agustus 2023   22:32 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Diskusi Ke-60 Klub Buku Main-Main

Selama berkali-kali ganti milenium, pandangan yang salah dalam memposisikan perempuan sebagai objek telah menyebabkan dampak serius pada kehidupan mereka. 

Tergiring dalam lingkaran eksploitasi dan "tertundukkan", perempuan telah berjuang untuk mendapatkan hak dan keadilan yang layak. 

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pemosisian perempuan sebagai ras kelas dua dicatat dengan komprehensif oleh Anna Mariana dalam bukunya Perbudakan Seksual: Perbandingan antara Masa Fasis Jepang dan Neofasis Orde Baru.


Buku ini membahas dan membandingkan kekerasan pada masa fasis Jepang dan neofasis Orde Baru pasca 1965. 

Walau banyak diingkari oleh penguasa, kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada kedua era itu layak disebut sebagai perbudakan seksual, karena berlangsung terus-menerus, sistemik, dan berulang.

Buku ini dilengkapi dengan wawancara dan petikan-petikan kesaksian para penyintas, baik mereka yang diperbudak sebagai jugun ianfu pada masa Jepang, maupun tapol perempuan yang diperlakukan semena-mena pasca 1965. 

Melalui materi yang mendalam ini, buku tersebut bermaksud untuk menjawab beberapa pertanyaan krusial terkait fenomena perbudakan seksual dalam konteks sosial-politik dan kultural. 

Pada masa rezim Orde Baru (Orba), perempuan sering kali "dikandangkan" melalui pembentukan organisasi yang diperuntukkan untuk mendukung rezim. 

Salah satu contoh organisasi tersebut adalah Dharma Wanita, yang merupakan organisasi yang didedikasikan untuk para istri pegawai negeri dan pejabat pemerintahan.

Dharma Wanita pada masa rezim Orba seringkali hanya menitikberatkan peran perempuan sebagai "konco wingking" (mitra setia) yang terbatas pada urusan domestik. 

Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk menggalang dukungan dari istri-istri pegawai negeri agar dapat berperan aktif dalam mempromosikan dan mendukung program-program pemerintah. 

Melalui Dharma Wanita, rezim Orde Baru berharap dapat memperkuat basis dukungan politik dari kalangan perempuan, sekaligus menciptakan citra pemerintahan yang "peduli" terhadap kaum perempuan. 

Rezim Orba di Indonesia sering menggunakan strategi untuk mengondisikan masyarakat seolah-olah selalu berada dalam situasi perang dan menciptakan musuh imajiner sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan dan mengendalikan opini publik.  

Dalam konteks ini, musuh imajiner dapat berupa pihak-pihak yang dianggap mengancam kestabilan dan keamanan negara, meskipun seringkali ancaman tersebut dibesar-besarkan atau bahkan dibuat-buat. 

Apa yang dialami oleh perempuan jauh lebih mengenaskan. Kamp Plantungan di Kendal, misalnya; kamp para tapol perempuan. Berisi tahanan yang dituduh Gerwani tanpa bukti, perempuan bermasalah, ateis, pelacur.

Banyak perempuan, termasuk ibu hamil, ibu-ibu tua, dan pelajar perempuan, mengalami penahanan dan perlakuan yang tidak adil. Bahkan, ada kasus yang sangat mengharukan seperti ibu yang harus mendekam dalam tahanan bersama anaknya yang masih berusia 18 bulan. 

Ada juga Kamp Pengasingan di Pulau Buru dan Pulau Kemarau: terletak di tengah-tengah Sungai Musi. Pulau ini berfungsi sebagai kamp pengasingan bagi tahanan politik dari Provinsi Sumatera Selatan. 

Sayangnya, hampir 90% tahanan politik di kamp tersebut tewas, sebagian besar di antaranya dibunuh.

Eksploitasi seksual dalam praktik interogasi bagi mereka yang distigma Gerwani adalah suatu hal yang menggambarkan kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan. 

Proses interogasi dimulai dengan pertanyaan menuduh, lalu dilanjutkan dengan tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh para penjaga atau penyelidik. 

Dalam proses interogasi tersebut, para perempuan yang dianggap sebagai anggota Gerwani sering kali dihinakan dan disiksa dengan cara yang sangat kejam. Mereka dituduh tanpa bukti yang kuat dan kemudian ditelanjangi dengan dalih mencari bukti tersembunyi di tubuh mereka. 

Komnas Perempuan bahkan mencatat anak perempuan dari tapol ada yang dijadikan budak seks oleh 3 orang komandan tentara. Korban-korbannya tiga anak gadis berumur 17, 14, dan 16 tahun. 

Untuk mencegah kehamilan, mereka diminta oleh komandan-komandan itu untuk minum pil KB.

Dalam bukunya, Anna juga menyinggung kisah perjalanan  jugun ianfu atau wanita penghibur . Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta memasang iklan pencarian para mantan jugun ianfu. 

Dari iklan tersebut, muncul sosok Mardiyem yang menyatakan diri sebagai jugun ianfu pada 29 April 1993. Sebanyak sekitar 1156 perempuan mendaftarkan diri di LBH Yogyakarta sebagai mantan jugun ianfu.

Sebelum dipaksa menjadi pemuas hasrat seksual, para perempuan diberi dan diiming-imingi tawaran bekerja sebagai pemain sandiwara.

Mardiyem bersama dua puluh orang lainnya merupakan para jugun ianfu yang direkrut dari Jawa dan menjadi angkatan pertama yang ditempatkan di Asrama Telawang (Banjarmasin).

Setiap orang diberi kamar dan nama panggilan. Mardiyem waktu itu diberi nama "Momonye." Ada 24 kamar beserta nomornya. Tarif untuk kalangan militer adalah 2 yen 50 sen, sementara untuk kalangan sipil adalah 3 yen.

Setahun kemudian di sana, ia menyaksikan kedatangan rombongan yang menjadi angkatan ke-2.

"Kala itu saya gelisah dan takut sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur dan menangis sepanjang malam. Saya teringat almarhum bapak di kampung halaman. Saya tidak tahu mengapa nasib menjadi seperti ini," ujar Mardiyem. 

Kisah Inting tak kalah memilukan. Saat itu, Inting masih kelas 3 SD ketika ia direnggut dari keluarganya oleh tentara Jepang setelah selesai salat Isya dan mengaji bersama ayahnya. 

Tiba-tiba datanglah empat tentara yang mengatakan ingin meminjam Inting. Meskipun ia dan orangtuanya menolak dengan keras, mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada keinginan para tentara. Mereka hanya bisa menangis tak sanggup melawan. 

Bersama empat perempuan lain dari sekampungnya, Inting kemudian dibawa ke Gedung Kipers di Sukabumi. Di sana, tiap malam, Inting dipaksa "melayani" para serdadu hingga 15 orang. 

Di Gedung Kipers, Inting menangis terus menerus dan akhirnya jatuh sakit karena diperkosa secara brutal oleh tentara.  

Ada pernyataan kontroversial Menteri Sosial Inten Soewono (1997). Keberadaan mantan jugun ianfu tidak usah diperbincangkan lagi karena sebagai bangsa Timur tidaklah pantas untuk membuka aib masa lalu.

Lantas, Inten Soewono menerima dana "kompensasi" dari AWF (Asian Women Fund) sebesar 377 juta yen, namun penggunaan dana tersebut tidak dilakukan secara transparan dan pertanggungjawabannya tidak jelas.

Pada tahun 1998, pemerintah berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk membangun panti jompo yang akan menampung penyintas jugun ianfu. 

Namun, hingga saat ini, panti jompo yang telah didirikan dan siapa saja penghuninya masih tidak jelas.

Lalu, pada tahun 2001, di Den Haag, pengadilan internasional kembali digelar dan memutuskan Kaisar Hirohito sebagai penjahat perang karena menjadikan 200.000 perempuan di Asia sebagai budak seks. 

***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun