Saya memiliki seorang kenalan yang menikah dengan seorang warga Belanda dan mengganti kewarganegaraannya dengan passport Belanda.
Namun, dia tidak pernah melupakan Indonesia. Misalnya, dia tetap terlibat dalam komunitas gereja Indonesia atau masih menyukai masakan Indonesia dengan sepenuh hati.
Ada banyak faktor yang memengaruhi keputusan ini. Kita sering mendengar dan mungkin juga dalam lingkunganmu ada yang mengatakan, "Aduh, kalau bisa, pindah negara aja deh. Aturannya tak jelas. Orang-orangnya tak disiplin. Pejabatnya korup."
Saya sempat berbincang dengan beberapa diaspora, baik yang sudah mengganti kewarganegaraan maupun yang masih setia dengan paspor Indonesia.
Salah satunya adalah Supriadi, saat ini dia tinggal di Rusia. Menurut penuturan Supri, tidak semua orang yang berpindah kewarganegaraan melakukannya karena alasan ekonomi.Â
Banyak orang kaya di Indonesia yang memilih untuk berpindah kewarganegaraan karena mereka menghadapi diskriminasi dan rasisme, terutama karena mereka merupakan warga keturunan Tionghoa.Â
Diskriminasi dan rasisme dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada individu dan masyarakat secara keseluruhan. Ia tidak hanya terjadi pada ras tertentu, tetapi juga jenis kelamin tertentu.
Terutama pada perempuan, banyak perempuan hebat di Indonesia memilih untuk mengganti kewarganegaraan karena masih terjadi kesenjangan gender yang sangat signifikan di negara ini.Â
Misalnya, adanya pandangan bahwa perempuan seharusnya berada di dapur, di kasur, atau di sumur, masih sering ditemui dalam masyarakat kita.
Kesenjangan gender yang masih ada di Indonesia dapat menghambat perkembangan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses pendidikan, kesempatan karir, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.Â
Ini mendorong beberapa perempuan berbakat dan berpotensi untuk mencari kesempatan dan perlindungan di luar negeri, di mana mereka berharap dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih bebas dan setara.