Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Menyingkap Kompleksitas Keputusan Pindah Kewarganegaraan: Politik, Rasisme, Gender, dan Ekonomi

17 Juli 2023   16:52 Diperbarui: 18 Juli 2023   19:49 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lantas, mengapa kaget saat 3.192 WNI pindah ke Singapura? Dirjen Imigrasi Kemenkumham ungkap data. (Foto: KOMPAS.com/ERICSSEN)

Saya memiliki seorang kenalan yang menikah dengan seorang warga Belanda dan mengganti kewarganegaraannya dengan passport Belanda.

Namun, dia tidak pernah melupakan Indonesia. Misalnya, dia tetap terlibat dalam komunitas gereja Indonesia atau masih menyukai masakan Indonesia dengan sepenuh hati.

Ada banyak faktor yang memengaruhi keputusan ini. Kita sering mendengar dan mungkin juga dalam lingkunganmu ada yang mengatakan, "Aduh, kalau bisa, pindah negara aja deh. Aturannya tak jelas. Orang-orangnya tak disiplin. Pejabatnya korup."

Saya sempat berbincang dengan beberapa diaspora, baik yang sudah mengganti kewarganegaraan maupun yang masih setia dengan paspor Indonesia.

Salah satunya adalah Supriadi, saat ini dia tinggal di Rusia. Menurut penuturan Supri, tidak semua orang yang berpindah kewarganegaraan melakukannya karena alasan ekonomi. 

Banyak orang kaya di Indonesia yang memilih untuk berpindah kewarganegaraan karena mereka menghadapi diskriminasi dan rasisme, terutama karena mereka merupakan warga keturunan Tionghoa. 

Diskriminasi dan rasisme dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada individu dan masyarakat secara keseluruhan. Ia tidak hanya terjadi pada ras tertentu, tetapi juga jenis kelamin tertentu.

Terutama pada perempuan, banyak perempuan hebat di Indonesia memilih untuk mengganti kewarganegaraan karena masih terjadi kesenjangan gender yang sangat signifikan di negara ini. 

Misalnya, adanya pandangan bahwa perempuan seharusnya berada di dapur, di kasur, atau di sumur, masih sering ditemui dalam masyarakat kita.

Kesenjangan gender yang masih ada di Indonesia dapat menghambat perkembangan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses pendidikan, kesempatan karir, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. 

Ini mendorong beberapa perempuan berbakat dan berpotensi untuk mencari kesempatan dan perlindungan di luar negeri, di mana mereka berharap dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih bebas dan setara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun