Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengatasi Kekhawatiran dan Stres: Hikmah yang Dapat Dipetik dari Buku 'Filosofi Teras'

2 Juli 2023   21:39 Diperbarui: 2 Juli 2023   22:03 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat ini buku Filosofi Teras telah masuk cetakan ke-50. Foto: Instagram @nadiemmakarim

Berdasarkan hasil "Survei Khawatir Nasional" yang dilakukan pada November 2017 oleh Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, terhadap 3.634 responden, ditemukan bahwa sebanyak 63% (hampir dua pertiga) dari mereka mengaku merasa "lumayan khawatir bahkan sangat khawatir" terhadap kehidupan mereka (page 1).

Henry berpendapat bahwa kekhawatiran seharusnya diminimalkan karena menyebabkan banyak "biaya" yang ia sebut sebagai the cost of worrying, seperti penggunaan energi dan pikiran yang berlebihan. Selain itu, kekhawatiran juga dapat menghabiskan waktu dan uang (page 5).

Misalnya, beberapa orang yang merasa cemas sering kali menggunakan makanan atau jalan-jalan sebagai cara untuk meredakan kekhawatiran mereka.

Selain itu, kekhawatiran juga dapat mengganggu kesehatan tubuh. Banyak orang beranggapan bahwa apa yang terjadi di pikiran mereka tidak memiliki hubungan yang erat dengan kondisi fisik mereka (page 6). Kekhawatiran sehari-hari tidak boleh dianggap remeh, karena selain mengurangi kebahagiaan dalam hidup kita, juga dapat mengancam kesehatan fisik kita sendiri.

Di era media sosial saat ini, kita sering kali dibanjiri dengan informasi yang belum tentu kebenarannya. Hal ini dapat menambah kekhawatiran yang kita rasakan, karena sulit untuk memilah informasi yang valid dan relevan. 

Dalam filosofi stoisisme, kebahagiaan bukanlah tujuan utama, melainkan dianggap sebagai bonus atau apa yang disebut oleh Om Piring sebagai "efek samping". Para filsuf stoisisme lebih menekankan pada pengendalian emosi negatif dan pengembangan kebajikan (virtue).

Mereka meyakini bahwa dengan menguasai emosi negatif dan melatih diri dalam kebajikan (virtue), seseorang dapat mencapai kedamaian dan kebijaksanaan sejati.

Kata virtue dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin virtus, diambil dari bahasa Yunani, Arete.

Dalam konteks filosofi Yunani kuno, Arete memiliki makna ... menjalankan sifat dan esensi dasar kita dengan sebaik mungkin, dengan cara sehat dan terpuji .... Dalam bahasa sekarang, kita dapat mengartikannya sebagai ... hidup sebaik-baiknya sesuai dengan potensi kita... (page 24).

Setiap manusia memang diciptakan dengan keunikan dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang mahir dalam menulis, bernyanyi, dan banyak hal lainnya. Ketika seseorang mampu melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, meskipun tanpa imbalan atau bayaran, hal itu dapat dikatakan sebagai manifestasi dari Arete

Filosofi stoisisme memang mengajarkan kita untuk melakukan yang terbaik dalam apa pun yang kita lakukan, tanpa mempedulikan penilaian orang lain atau apakah kita dibayar atau tidak. 

Seorang praktisi stoisisme seharusnya mampu merasakan kebahagiaan yang berasal dari dirinya sendiri, tanpa bergantung pada validasi dari orang lain.

Dalam stoisisme, terdapat empat kebajikan utama (virtue/arete) yang diupayakan untuk dicapai. Salah satu di antaranya adalah kebijaksanaan (wisdom). 

Benar belum tentu bijak. Sebagai contoh, jika kita memiliki seorang teman yang memiliki berat badan di atas rata-rata dan kita memanggilnya dengan panggilan "gendut", hal itu mungkin benar secara fisik. Namun tidak bijak karena berpotensi sebagai tindakan body shaming, bullying, dan sebagainya. 

Selanjutnya,  kebajikan utama dalam stoisisme adalah keadilan (justice). Seorang praktisi stoisisme akan berusaha untuk memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan adil serta menghormati hak mereka.

Selain keadilan, keberanian (courage) juga merupakan kebajikan penting dalam stoisisme.  Berani untuk berpegang pada kebenaran dan prinsip-prinsip yang benar, tanpa ragu-ragu atau tidak plin-plan.

Misalnya, dalam prinsip hidup selaras dengan Alam (in accordance with Nature), Alam (ditulis dengan A kapital) dalam filsafat stoisisme memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar lingkungan hidup tempat kita tinggal. Alam dalam konteks ini mencakup seluruh Alam semesta beserta isinya.

Satu-satunya hal yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuan akal, nalar, dan rasio. Dengan kemampuan ini, manusia mampu hidup secara berkeutamaan (life of virtues), yaitu hidup sesuai dengan nilai-nilai kebajikan.

Ketika kita tidak menggunakan nalar, kita menjadi rentan untuk tidak bahagia, cenderung merasa khawatir, mudah terprovokasi, dan berperilaku tidak adil. 

Contohnya ketika kita menggunakan media sosial dan terprovokasi oleh unggahan seseorang. Tanpa menggunakan nalar, kita mungkin merespons secara emosional tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. 

Terakhir, kebajikan utama yang ingin dicapai dalam stoisisme adalah menahan diri (temperance). 

Menahan diri mencakup disiplin, kesederhanaan, dan kontrol diri dalam kehidupan kita. Dalam konteks stoisisme, menahan diri berarti mengendalikan keinginan dan hawa nafsu yang berlebihan, serta menjaga keseimbangan dalam tindakan dan pola pikir kita. 

Filosofi stoisisme mempercayai bahwa segala sesuatu dalam Alam ini saling terkait (interconnected), termasuk segala peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Hal ini mengacu pada pandangan bahwa tidak ada yang terjadi secara terisolasi atau acak dalam dunia ini, melainkan setiap peristiwa memiliki keterkaitan dan konsekuensi yang saling mempengaruhi (page 33).

Kamu bisa membaca tulisan ini adalah hasil dari suatu rangkaian peristiwa yang panjang, bukan sekadar kebetulan semata. 

Misalnya, kamu mungkin bisa membaca tulisan ini karena penasaran dengan buku Filosofi Teras dan melakukan pencarian di Google yang mengarahkanmu ke artikel ini. Atau mungkin juga karena telah membaca artikel-artikel sejenis sebelumnya, atau karena algoritma Kompasiana mengarahkanmu ke sini. 

Ada juga kemungkinan bahwa kamu telah mengikuti akun saya sebelumnya, sehingga mendapatkan akses ke tulisan ini. Semua faktor ini saling terhubung dan mempengaruhi kejadian-kejadian yang membawa kamu sampai pada tulisan ini.

Selain itu, para filsuf stoisisme sepakat pada prinsip fundamental yang disebut dengan "dikotomi kendali" atau dichotomy of control. Epictetus, salah satu tokoh penting dalam filsafat stoa, menyampaikan bahwa dalam dunia ini terdapat hal-hal yang dapat kita kontrol dan hal-hal yang tidak dapat kita kontrol (page 40). 

Dalam prinsip dikotomi kendali dalam stoisisme, hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan banyak sekali, meliputi tindakan orang lain, opini orang lain, serta segala sesuatu yang berada di luar diri kita, seperti kekayaan, ketenaran, kesehatan, etnis, cuaca, dan lain sebagainya. 

Banyak dari kita sering kali mengunggah sesuatu di media sosial dengan harapan mendapatkan banyak likes, views, dan meningkatkan jumlah pengikut. 

Epictetus menyebut bahwa hal-hal yang berada di luar kendali kita itu "bagaikan budak ... dan milik orang lain". 

Ketika kita terus-menerus berusaha menyenangkan orang lain, memenuhi harapan mereka, mencari persetujuan, dan mencari sebanyak mungkin likes dan views, kita tanpa sadar terperangkap dalam perbudakan opini orang lain. Inilah sumber ketidakbahagiaan.

Sementara itu, hal-hal yang berada di bawah kendali kita justru terbatas, seperti pertimbangan (judgment) kita, opini kita, keinginan kita, persepsi kita, tujuan kita, dan nalar kita. 

Saya tidak bisa mengendalikan pendapat orang lain (kamu) tentang artikel ini, tidak bisa juga mengendalikan apakah yang akan kamu komentari terhadap artikel ini. 

Tetapi yang bisa saya kendalikan adalah, bagaimana, agar saya bisa menulis artikel ini sebaik dan semampu saya berdasarkan arete atau virtue yang saya miliki.

Contoh lain, kamu tidak akan akan pernah bisa mengendalikan orang lain untuk tidak menjelek-jelekkanmu, tapi yang bisa kamu kendalikan adalah, kamu tidak menjelek-jelekkan orang lain.

Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam hal-hal yang ada di bawah kendali kita. Kaum stoa meyakini bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketenangan batin (peace of mind), bukan pada hal-hal eksternal seperti harta benda, pangkat, atau jabatan (page 42).  

Lantas mungkin kamu bertanya, apakah Filsafat Stoisisme mengajarkan apatis atau penolakan terhadap kekayaan duniawi?

Jika kita melihat para filsuf stoa, kita akan menemukan bahwa mereka hidup kecukupan bahkan kaya raya. Beberapa dari mereka adalah politisi senior, pedagang, bahkan Kaisar seperti Marcus Aurelius. 

Mereka menganggap hal-hal seperti kekayaan sebagai hal-hal yang indifferent, hal-hal yang tidak berpengaruh terhadap kebahagiaan (page 64). Karenanya, filosofi ini membagi hal-hal indifferent menjadi dua kategori, yaitu preferred Indifferent dan unpreferred Indifferent.

Preferred indifferent adalah hal-hal yang tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan kita, tetapi jika ada, ya bagus. Contohnya adalah kekayaan, kesehatan, kecantikan, dan popularitas.  

Sementara itu, unpreferred indifferent adalah hal-hal yang juga tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan kita, tetapi jika tidak ada, dianggap lebih baik. Contohnya adalah kemiskinan, pandemi.

Epictetus memberikan analogi yang menarik tentang preferred indifferent, seperti harta benda, dengan menggunakan perumpamaan bola dalam permainan sepakbola.

Bola memang penting di dalam permainan sepak bola, tetapi para pemain atau pelatih lebih mementingkan cara mengendalikan bola tersebut, seperti taktik, kualitas permainan,  dan bukan bola itu sendiri.  

Seperti saat Indonesia memenangkan SEA Games 2023 melawan Thailand beberapa waktu lalu. Kita bahagia bukan karena para pemain bisa membawa pulang bolanya, tapi karena mendali emasnya.

Selanjutnya, dalam filsafat stoa, terdapat pemisahan antara apa yang kita tangkap melalui indra kita (impression) dan interpretasi/makna yang kita berikan pada apa yang kita lihat dan dengar (representation). Namun, seringkali kita sulit memisahkan keduanya (page 80).  

Seringkali, kita dengan cepat memberikan interpretasi dan penilaian (value judgement) serta memberikan makna pada peristiwa yang kita alami. Padahal, peristiwa itu sendiri cenderung netral, dan menjadi "positif" atau "negatif" tergantung pada interpretasi dan makna yang kita berikan.

Inilah tools selanjutnya dalam filsafat stoa, mengendalikan interpretasi dan persepsi.

Contohnya, ketika kamu tinggal di Yogyakarta dan seorang teman datang dari Surabaya dengan Dialek Suroboyoan yang sering dianggap kasar. Dalam filsafat stoa, dialek tersebut merupakan impresi yang netral. Namun, interpretasi kamu sebagai "kasar" merupakan representasi yang sudah melibatkan penilaian subjektif.  

Oleh karena itu, Epictetus mengajarkan bahwa yang menyebabkan ketidakbahagiaan bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan pemikiran dan interpretasi kita terhadap peristiwa tersebut.

Kebahagiaan (ataraxia) dalam filsafat stoa kadang juga disebut apatheia, yaitu keadaan di mana seseorang jauh dari emosi negatif. Untuk mencapai keadaan ini, stoisisme mengajarkan pentingnya askesis atau latihan. 

Seperti otot yang perlu dilatih dengan mengangkat barbel secara berulang, demikian pula batin kita dapat diperkuat melalui latihan rutin sehari-hari menggunakan metode S-T-A-R (Stop, Think & Assess, Respond) (page 88).

Mempelajari stoisisme, menyadarkan kita bahwa banyak emosi negatif yang kita alami disebabkan oleh interpretasi otomatis atas suatu kejadian (impression). Filsafat ini mengajarkan pentingnya memeriksa (examined) interpretasi kita sebelum menentukan respon kita.   

Hal ini juga berlaku ketika melihat unggahan di media sosial, di mana kita sering kali bereaksi dengan kemarahan tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Padahal media sosial dapat mendistorsi persepsi realitas kita. 

Kemudian, Premeditatio malorum, yang diterjemahkan sebagai "pikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi", adalah salah satu alat dalam filsafat stoa yang tampak paradoks (page 111).

Seperti kata Marcus Aurelius, ".... awali setiap hari dengan berkata pada diri sendiri; hari ini saya akan menemui gangguan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, hinaan, pengkhianatan, niat buruk, dan keegoisan - semua itu karena pelakunya tidak mengerti apa yang baik dan apa yang buruk".

Praktik ini sangat mirip dengan kerja imunisasi. Dalam imunisasi, tubuh kita dimasukkan kuman yang sudah dilemahkan sehingga sistem kekebalan tubuh kita bisa mempersiapkan diri melawan kuman yang sesungguhnya jika datang.

Dengan mempertimbangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, kita sedang mempersiapkan kekebalan mental untuk menghadapinya jika memang terjadi.

Mungkin ilustrasi yang lebih cocok adalah di masa perdamaian, para tentara berlatih melakukan manuver, menggali tanah, dan melelahkan diri dengan kerja keras, meskipun tidak ada musuh yang nyata. Hal ini dilakukan agar mereka siap ketika perang benar-benar terjadi. 

Dalam filsafat Stoisisme, terdapat formula yang menarik yang dikenal sebagai amor fati, yang berarti "cinta terhadap takdir" atau "mencintai nasib." Konsep ini mengajarkan kita untuk menerima dengan tulus apa pun yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu nasib baik maupun nasib buruk, karena kita menyadari bahwa hal tersebut berada di luar kendali kita (page 122).

Dalam perspektif filsuf Stoa, nasib baik seperti harta benda atau keberuntungan dianggap sebagai "pinjaman" atau "penggunaan sementara". Oleh karena itu, kita harus siap secara mental dan emosional ketika segala harta benda yang kita miliki diminta kembali oleh Dewi Fortuna.

Salah satu hal yang benar-benar meningkatkan wawasan saya tentang filsafat Stoa adalah pandangan mereka bahwa orang jahat sebenarnya patut dikasihani. Menurut Stoisisme, perbuatan jahat lahir dari ketidaktahuan (ignorance) bukan niat jahat yang disengaja (page 146).

 "Sama seperti kita merasa iba kepada mereka yang pincang, kita juga harus merasa iba kepada mereka yang nalarnya buta dan pincang," kata Epictetus. 

Stoisisme adalah sebuah filosofi praktis yang mengedepankan manajemen emosi melalui kendali nalar, persepsi, dan pertimbangan (page 205). Oleh karena itu, ia bukanlah filosofi yang hanya relevan bagi orang dewasa, melainkan prinsip-prinsipnya dapat diterapkan sejak dini.

Filosofi ini juga mengajarkan konsep warga dunia (citizen of the world) atau kosmopolitan. Istilah "kosmopolitan" berasal dari kata Yunani "kosmopolites," yang secara harfiah berarti "warga dunia" (page 222).

Dalam filosofi ini, kematian tidaklah harus ditangisi atau ditakuti, karena dianggap sebagai bagian yang alami dan seharusnya selaras dengan Alam. Dalam pandangan ini, hidup bukanlah hanya tentang lamanya waktu (panjang umur), tetapi lebih tentang kualitasnya (page 240). Dalam bahasa kita mungkin, hidup adalah jihad.

Seperti yang diungkapkan oleh Teuku Umar, "Hidup ini sederhana. Kalau besok mati berarti aku syahid, kalau besok pagi hidup aku akan minum kopi".

Dalam konteks sekarang, hidup dengan jihad tidak harus berperang seperti Teuku Umar dahulu. Membuang sampah pada tempatnya, membaca buku, dan hidup selaras dengan Alam merupakan salah satu bentuk jihad. 

BUKU FILOSOFI TERAS adalah salah satu buku bertema self-help dari sudut pandang Filsafat. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan tulisan self-help lain yang menjanjikan kekayaan, kesuksesan, popularitas, hingga jodoh.

Dalam filosofi teras, kebahagiaan bukanlah tujuan utama, melainkan hanya "efek samping" ketika seseorang memaknai hidupnya sendiri dan mencapai makna tersebut (page 244).

Sama seperti Henry Manampiring, yang membuat dia bahagia menurut interpretasi saya, bukan hanya buku masterpiece ini yang sudah masuk ke cetakan ke-50, tetapi Filosofi Teras juga menjadi Book of The Year di Pameran Buku Internasional Indonesia pada 2019. 

Henry Manampiring bisa merasakan kebahagiaan sebagai "efek samping" dari mempelajari dan mempraktikkan Stoisisme dalam hidupnya (page 245).

Dari situ, ia menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan lebih positif, bahkan ia berhasil terbebas dari major depressive disorder yang pernah ia derita.  

Bagi Henry Manampiring sendiri, Filosofi Teras dianalogikan seperti Operating System (OS) pada smartphone berbasis Android atau iOS pada iPhone. OS pada smartphone memastikan bahwa penggunaan sehari-hari dan aplikasi-aplikasi berjalan lancar.

Bahkan aplikasi tercanggih dan terhebat akan mengalami hambatan jika tidak didukung oleh OS yang baik. 

Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, seperti pergi kuliah, bekerja, menjalin hubungan dengan orang tua, pacaran, dan sebagainya. "Aplikasi-aplikasi" tersebut membutuhkan OS yang baik untuk berfungsi secara optimal, dan filsafat Stoa adalah OS yang dapat membantu mencapai tujuan tersebut. 

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg]. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun