Seorang praktisi stoisisme seharusnya mampu merasakan kebahagiaan yang berasal dari dirinya sendiri, tanpa bergantung pada validasi dari orang lain.
Dalam stoisisme, terdapat empat kebajikan utama (virtue/arete) yang diupayakan untuk dicapai. Salah satu di antaranya adalah kebijaksanaan (wisdom).
Benar belum tentu bijak. Sebagai contoh, jika kita memiliki seorang teman yang memiliki berat badan di atas rata-rata dan kita memanggilnya dengan panggilan "gendut", hal itu mungkin benar secara fisik. Namun tidak bijak karena berpotensi sebagai tindakan body shaming, bullying, dan sebagainya.
Selanjutnya, kebajikan utama dalam stoisisme adalah keadilan (justice). Seorang praktisi stoisisme akan berusaha untuk memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan adil serta menghormati hak mereka.
Selain keadilan, keberanian (courage) juga merupakan kebajikan penting dalam stoisisme. Berani untuk berpegang pada kebenaran dan prinsip-prinsip yang benar, tanpa ragu-ragu atau tidak plin-plan.
Misalnya, dalam prinsip hidup selaras dengan Alam (in accordance with Nature), Alam (ditulis dengan A kapital) dalam filsafat stoisisme memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar lingkungan hidup tempat kita tinggal. Alam dalam konteks ini mencakup seluruh Alam semesta beserta isinya.
Satu-satunya hal yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuan akal, nalar, dan rasio. Dengan kemampuan ini, manusia mampu hidup secara berkeutamaan (life of virtues), yaitu hidup sesuai dengan nilai-nilai kebajikan.
Ketika kita tidak menggunakan nalar, kita menjadi rentan untuk tidak bahagia, cenderung merasa khawatir, mudah terprovokasi, dan berperilaku tidak adil.
Contohnya ketika kita menggunakan media sosial dan terprovokasi oleh unggahan seseorang. Tanpa menggunakan nalar, kita mungkin merespons secara emosional tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.
Terakhir, kebajikan utama yang ingin dicapai dalam stoisisme adalah menahan diri (temperance).
Menahan diri mencakup disiplin, kesederhanaan, dan kontrol diri dalam kehidupan kita. Dalam konteks stoisisme, menahan diri berarti mengendalikan keinginan dan hawa nafsu yang berlebihan, serta menjaga keseimbangan dalam tindakan dan pola pikir kita.