Selanjutnya, dalam filsafat stoa, terdapat pemisahan antara apa yang kita tangkap melalui indra kita (impression) dan interpretasi/makna yang kita berikan pada apa yang kita lihat dan dengar (representation). Namun, seringkali kita sulit memisahkan keduanya (page 80).
Seringkali, kita dengan cepat memberikan interpretasi dan penilaian (value judgement) serta memberikan makna pada peristiwa yang kita alami. Padahal, peristiwa itu sendiri cenderung netral, dan menjadi "positif" atau "negatif" tergantung pada interpretasi dan makna yang kita berikan.
Inilah tools selanjutnya dalam filsafat stoa, mengendalikan interpretasi dan persepsi.
Contohnya, ketika kamu tinggal di Yogyakarta dan seorang teman datang dari Surabaya dengan Dialek Suroboyoan yang sering dianggap kasar. Dalam filsafat stoa, dialek tersebut merupakan impresi yang netral. Namun, interpretasi kamu sebagai "kasar" merupakan representasi yang sudah melibatkan penilaian subjektif.
Oleh karena itu, Epictetus mengajarkan bahwa yang menyebabkan ketidakbahagiaan bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan pemikiran dan interpretasi kita terhadap peristiwa tersebut.
Kebahagiaan (ataraxia) dalam filsafat stoa kadang juga disebut apatheia, yaitu keadaan di mana seseorang jauh dari emosi negatif. Untuk mencapai keadaan ini, stoisisme mengajarkan pentingnya askesis atau latihan.
Seperti otot yang perlu dilatih dengan mengangkat barbel secara berulang, demikian pula batin kita dapat diperkuat melalui latihan rutin sehari-hari menggunakan metode S-T-A-R (Stop, Think & Assess, Respond) (page 88).
Mempelajari stoisisme, menyadarkan kita bahwa banyak emosi negatif yang kita alami disebabkan oleh interpretasi otomatis atas suatu kejadian (impression). Filsafat ini mengajarkan pentingnya memeriksa (examined) interpretasi kita sebelum menentukan respon kita.
Hal ini juga berlaku ketika melihat unggahan di media sosial, di mana kita sering kali bereaksi dengan kemarahan tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Padahal media sosial dapat mendistorsi persepsi realitas kita.
Kemudian, Premeditatio malorum, yang diterjemahkan sebagai "pikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi", adalah salah satu alat dalam filsafat stoa yang tampak paradoks (page 111).
Seperti kata Marcus Aurelius, ".... awali setiap hari dengan berkata pada diri sendiri; hari ini saya akan menemui gangguan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, hinaan, pengkhianatan, niat buruk, dan keegoisan - semua itu karena pelakunya tidak mengerti apa yang baik dan apa yang buruk".