"Menurut saya, pendidikan kita ini tidak punya penghayatan, tidak punya satu kekuatan untuk orang menemukan hakekat dirinya sebagai seorang anak didik," ujar A. M. Safwan.
Sementara itu, Nurlaiha Ibrahim, seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon, juga diundang sebagai pembicara dalam kuliah umum tersebut.
"Pendidikan tak hanya tentang mengajar (transfer ilmu), namun juga tentang membimbing, melatih, memberi contoh, mengasihi, menjaga, menumbuhkembangkan, serta mensucikan," kata Nur.
Itulah sebabnya, lanjut Nur, pendidikan yang mampu menyentuh aspek kedalaman diri manusia, seperti jiwa, hati, dan akal, akan memiliki dampak yang lebih signifikan dalam mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan ego, memunculkan kesadaran, serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kehidupan.
Sebaliknya, pendidikan yang hanya fokus pada aspek intelektual semata, sementara mengabaikan pengembangan aspek lain seperti aspek spiritual atau Transcendental Quotient (TQ), sosial, dan budaya, cenderung menghasilkan manusia yang hanya terbatas sebagai alat produksi atau alat pekerja tanpa memiliki empati.Â
Inilah salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi kita saat ini.
Selain itu, kampus-kampus saat ini sering kali terlihat lebih seperti perusahaan pencetak tenaga kerja daripada lembaga pendidikan yang mendorong kreativitas.Â
Mereka cenderung menghasilkan lulusan yang hanya tunduk pada sistem, menjadi pekerja partai, dan kurang memiliki kapasitas serta kapabilitas untuk menjadi pemimpin yang kreatif dan mampu membawa bangsa ini menuju kemandirian. Â
Terakhir, tambah Nur, karena sistem pendidikan kita yang kurang mementingkan pengembangan empati, dimensi spiritual menjadi rentan terhadap pertumbuhan kapitalisme moral. Keadaan ini mengarah pada perdagangan kebaikan dan jualan moral dengan mudah.
Kita dapat melihat contohnya mulai dari praktik penetapan tarif manggung oleh ustaz (selebritas), hingga fenomena jual-beli ayat saat pemilihan umum menjadi hal yang biasa.Â
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual sering kali dieksploitasi dan dijadikan objek transaksi ekonomi, bahkan dalam konteks jual-beli politik. Semoga keadaan ini tidak terulang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang maupun koalisi 2024 yang belum jelas juntrungnya ini.