Atmosfer politik semakin memanas jelang pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang.Â
Dalam arena politik yang penuh gejolak, pertempuran narasi antara relawan ketiga bakal calon presiden telah menguasai perbincangan publik tanpa henti.Â
Seperti perang retoris yang menghiasi sosial media dan layar gawai saya. Ada relawan yang merasa jagoannya menjadi target penjegalan, diintervensi, bahkan ada yang tak segan menuduh presiden yang sedang berkuasa terlibat dalam "cawe-cawe" politik.Â
Masyarakat kita memang belum sepenuhnya menyadari dampak dari polarisasi yang terjadi dalam dunia politik.Â
Pilpres yang lalu, bangsa ini terpecah menjadi dua kubu yang saling berseberangan, dengan julukan "Cebong" dan "Kampret" yang menjadi simbol perbedaan ideologi dan pandangan politik.
Bahkan, ada yang sampai mendoakan agar jagoannya terpilih, jika tidak, maka ia khawatir tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan.
Seolah-olah keselamatan dan kesalehan agama hanya bergantung pada pilihan politik semata. Â
Sebagai orang awam, saya jadi bingung. Bagaimana mungkin mereka yang dulu saling bertarung kini berjalan seiring bahu seayun langkah di panggung kekuasaan? Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada koalisi 2024 yang akan terbentuk saat ini?Â
Saya jadi berpikir, mungkinkah, sebenarnya bakal calon yang akan bertarung adalah sekelompok wayang dengan dalang yang sama? Tapi jangan khawatir, itu hanya imajinasi liar saya.
Kita seharusnya lebih khawatir dengan apa yang disampaikan oleh guru saya, A.M. Safwan, Koordinator JAKFI Nusantara, dalam Kuliah Umum Filsafat Pendidikan: Antara Pengetahuan Instrumen dan Kapitalisme Moral yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 14 Juni 2023 yang lalu.
Di era post-truth seperti saat ini, kita bisa melihat contoh nyata dari kekacauan politik belakangan ini.Â
Politik kita seringkali menyederhanakan masalah, seakan-akan panggung politik hanya berkisar pada persaingan antara calon presiden dan calon wakil presidennya. Lalu, apakah kita mengira semua masalah sudah teratasi hanya dengan itu?Â
Politik kita seringkali bergantung pada tokoh-tokoh populer, berdasarkan survei, berdasarkan algoritma. Padahal popularitas seseorang tidak selalu mencerminkan kemampuannya sebagai pemimpin.Â
Banyak komedian atau tokoh populer lainnya yang mungkin memiliki pengaruh besar di masyarakat, namun itu belum tentu menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan untuk memimpin negara.
Politik seharusnya melibatkan lebih dari sekadar tokoh populer dan pertarungan kekuasaan. Paradigma, budaya politik, dan etika politik harus menjadi bagian integral dari proses politik. Paradigma politik mencakup landasan pemikiran, ideologi, dan prinsip yang mengarahkan tindakan politik.
Kita seringkali terlibat dalam perdebatan dan menghabiskan energi untuk mendukung calon yang kita anggap ideal, namun kita seringkali lupa akan esensi menjadi bagian dari sebuah bangsa dan negara.Â
Kita lupa bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan nanti, tetap akan berada dalam genggaman oligarki yang kuat.
Pendidikan memegang peranan krusial dalam menciptakan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju kemakmuran. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam, ada dua hal utama yang perlu dibangun.Â
Pertama, adalah kemampuan berpikir kritis. Jika para siswa peserta didik hanya pasif dan menuruti apa yang dikatakan oleh para pengajar, maka pendidikan tersebut dapat dianggap gagal.Â
Selama ini, memang terdapat kekurangan dalam pendidikan kita di mana sikap kritis tidak diajarkan secara memadai. Terlalu sering siswa hanya diajarkan untuk menjadi penurut terhadap guru, dosen, atau otoritas lainnya.Â
Akibatnya, ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi pemimpin, mereka cenderung kurang memiliki kemampuan berpikir kritis. Mereka mungkin menjadi tunduk dan mengikuti kehendak ketua partai atau otoritas lainnya tanpa menggunakan nalar kritis mereka sendiri.Â
Kedua, penting untuk mendorong kreativitas dalam pendidikan. Hal ini berarti tidak hanya fokus pada aspek kognitif semata, tetapi juga melihat masalah secara komprehensif.Â
Permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan nyata sangat kompleks dan melibatkan berbagai variabel yang saling terkait. Bukan sekadar siapa presidennya dan siapa wakilnya, semua masalah akan teratasi.
Pendidikan yang efektif haruslah bersifat integratif dan tidak terpaku pada ego sektoral yang sempit.Â
Seorang calon pemimpin bangsa tidak hanya perlu menguasai ilmu politik saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang terintegrasi, seperti sosiologi, antropologi, dan disiplin ilmu lainnya. Selain itu, pemimpin juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah perjalanan bangsa.Â
Ketika pemimpin memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu politik, mereka dapat memahami sistem politik, struktur kekuasaan, dan mekanisme pengambilan keputusan.Â
Namun, untuk memahami kondisi sosial, budaya, dan nilai-nilai yang membentuk masyarakat, pemahaman dalam bidang sosiologi dan antropologi sangatlah penting. Ilmu-ilmu ini membantu pemimpin dalam memahami dinamika sosial, keragaman budaya, dan interaksi sosial yang dapat mempengaruhi kebijakan dan pengambilan keputusan.Â
Selain itu, pemimpin yang memahami sejarah perjalanan bangsa akan dapat melihat pola-pola historis, belajar dari kesalahan masa lalu, dan menerapkan kebijakan yang sesuai dengan konteks sejarah.Â
Semangat seperti itu merupakan harapan yang diutarakan oleh Bung Karno, bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membangun sifat integrasi pengetahuan. Sifat integrasi ini tidak bersifat sektoral, yang berarti pendidikan tidak boleh mengabaikan aspek-aspek lain yang relevan.
Pendidikan memang memiliki hubungan erat dengan berbagai jenis kecerdasan, seperti Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Transcendental Quotient (TQ) atau kecerdasan spiritual.Â
Indikator kecerdasan bukan hanya sebatas pengetahuan yang dimiliki seseorang, tetapi juga meliputi kemampuan empati dan pemahaman yang mendalam terhadap aspek-aspek manusia yang lebih dalam.Â
Meskipun teknologi seperti mesin pencari Google memiliki kemampuan besar dalam menyimpan dan mengakses informasi, serta dapat melakukan tugas-tugas tertentu dengan tingkat keakuratan yang tinggi, namun apakah kecerdasan buatan ini mampu menyentuh aspek-aspek terdalam dari diri manusia?Â
"Menurut saya, pendidikan kita ini tidak punya penghayatan, tidak punya satu kekuatan untuk orang menemukan hakekat dirinya sebagai seorang anak didik," ujar A. M. Safwan.
Sementara itu, Nurlaiha Ibrahim, seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon, juga diundang sebagai pembicara dalam kuliah umum tersebut.
"Pendidikan tak hanya tentang mengajar (transfer ilmu), namun juga tentang membimbing, melatih, memberi contoh, mengasihi, menjaga, menumbuhkembangkan, serta mensucikan," kata Nur.
Itulah sebabnya, lanjut Nur, pendidikan yang mampu menyentuh aspek kedalaman diri manusia, seperti jiwa, hati, dan akal, akan memiliki dampak yang lebih signifikan dalam mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan ego, memunculkan kesadaran, serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kehidupan.
Sebaliknya, pendidikan yang hanya fokus pada aspek intelektual semata, sementara mengabaikan pengembangan aspek lain seperti aspek spiritual atau Transcendental Quotient (TQ), sosial, dan budaya, cenderung menghasilkan manusia yang hanya terbatas sebagai alat produksi atau alat pekerja tanpa memiliki empati.Â
Inilah salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi kita saat ini.
Selain itu, kampus-kampus saat ini sering kali terlihat lebih seperti perusahaan pencetak tenaga kerja daripada lembaga pendidikan yang mendorong kreativitas.Â
Mereka cenderung menghasilkan lulusan yang hanya tunduk pada sistem, menjadi pekerja partai, dan kurang memiliki kapasitas serta kapabilitas untuk menjadi pemimpin yang kreatif dan mampu membawa bangsa ini menuju kemandirian. Â
Terakhir, tambah Nur, karena sistem pendidikan kita yang kurang mementingkan pengembangan empati, dimensi spiritual menjadi rentan terhadap pertumbuhan kapitalisme moral. Keadaan ini mengarah pada perdagangan kebaikan dan jualan moral dengan mudah.
Kita dapat melihat contohnya mulai dari praktik penetapan tarif manggung oleh ustaz (selebritas), hingga fenomena jual-beli ayat saat pemilihan umum menjadi hal yang biasa.Â
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual sering kali dieksploitasi dan dijadikan objek transaksi ekonomi, bahkan dalam konteks jual-beli politik. Semoga keadaan ini tidak terulang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang maupun koalisi 2024 yang belum jelas juntrungnya ini.
Â
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H