Di era post-truth seperti saat ini, kita bisa melihat contoh nyata dari kekacauan politik belakangan ini.Â
Politik kita seringkali menyederhanakan masalah, seakan-akan panggung politik hanya berkisar pada persaingan antara calon presiden dan calon wakil presidennya. Lalu, apakah kita mengira semua masalah sudah teratasi hanya dengan itu?Â
Politik kita seringkali bergantung pada tokoh-tokoh populer, berdasarkan survei, berdasarkan algoritma. Padahal popularitas seseorang tidak selalu mencerminkan kemampuannya sebagai pemimpin.Â
Banyak komedian atau tokoh populer lainnya yang mungkin memiliki pengaruh besar di masyarakat, namun itu belum tentu menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan untuk memimpin negara.
Politik seharusnya melibatkan lebih dari sekadar tokoh populer dan pertarungan kekuasaan. Paradigma, budaya politik, dan etika politik harus menjadi bagian integral dari proses politik. Paradigma politik mencakup landasan pemikiran, ideologi, dan prinsip yang mengarahkan tindakan politik.
Kita seringkali terlibat dalam perdebatan dan menghabiskan energi untuk mendukung calon yang kita anggap ideal, namun kita seringkali lupa akan esensi menjadi bagian dari sebuah bangsa dan negara.Â
Kita lupa bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan nanti, tetap akan berada dalam genggaman oligarki yang kuat.
Pendidikan memegang peranan krusial dalam menciptakan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju kemakmuran. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam, ada dua hal utama yang perlu dibangun.Â
Pertama, adalah kemampuan berpikir kritis. Jika para siswa peserta didik hanya pasif dan menuruti apa yang dikatakan oleh para pengajar, maka pendidikan tersebut dapat dianggap gagal.Â
Selama ini, memang terdapat kekurangan dalam pendidikan kita di mana sikap kritis tidak diajarkan secara memadai. Terlalu sering siswa hanya diajarkan untuk menjadi penurut terhadap guru, dosen, atau otoritas lainnya.Â
Akibatnya, ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi pemimpin, mereka cenderung kurang memiliki kemampuan berpikir kritis. Mereka mungkin menjadi tunduk dan mengikuti kehendak ketua partai atau otoritas lainnya tanpa menggunakan nalar kritis mereka sendiri.Â