Aku sendiri tidak menginginkan pertemuan itu berlalu begitu saja. Akal jahatku bermain, ia kutitipkan jaket kesayanganku. Selain untuk bertemu kembali, aku menginginkan nomor teleponnya.Â
SEMUA ORANG PAGI itu masih tertidur pulas, hanya aku yang terbangun dengan penuh harap dan cemas. Pukul setengah empat pagi, Sabtu 30 Maret 2019 saat jalanan kota Medan masih becek sisaan hujan.
Pagi ini aku berencana berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan perjalanan ke Pangkalpinang di Bangka Belitung. Â
Raut wajah Dinda yang masih tertidur pulas terlihat lelah. Di sisinya terbaring Mila salah satu mahasiswa yang cukup vokal menyuarakan isu-isu pemberdayaan perempuan.
"Pamit dulu, makasih udah dijemput," ucapku melalui pesan singkat. Â
"Heee, Mahengggg, belom foto. Kok gak kau banguni aku.... Ehhhh, kamprettt. Sumpah dongkol kali, aku sedih ni serius," balasan dengan logat Sumatera itu aku terima saat aku hampir menaiki pesawat.
Dinda bersama dengan teman-teman Suara USU (kemudian berganti nama menjadi Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana) lain memilih untuk tetap mendiami sekretariat sebagai rumah mereka. Alumni mereka sudah membangun Suara USU belasan tahun. Â
Jajaran Birokrasi Universitas Sumatera Utara (USU) membredel Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU setelah sebuah cerpen terpublis di website mereka suarausu.co (kini berganti jadi wacana.org).
Tidak pernah mereka bayangkan, kampus kesayangannya begitu diktator. Dinda kecewa diperlakukan semena-mena sebagai mahasiswa. Padahal lembaga yang diasuhnya bahkan para alumninya telah banyak berkontribusi bagi pembangun bangsa.
KENANGANKU MELAYANGÂ pada 31 Maret 2019 silam sehari setelah meninggalkan kota Medan.Â
Saat itu pertama kali aku bertemu dengan manusia, yang sekarang jadi pacarku Nadila, di sebuah warung kopi di sudut Pangkalpinang, Bangka Belitung.Â
Tak ada yang istimewa di situ, kecuali pertemuan para jurnalis kampus untuk persiapan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke IV. Di organisasi itu aku didapuk sebagai pimpinan sejak 10 Agustus 2018.Â
Pada pertemuan itu kami saling beradu argumen. Mulanya ia tak terima, karena darah mudanya masih mengalir begitu deras. Pun denganku. Tapi kami punya kesamaan, sama-sama mendukung eksistensi Suara USU. Dari situ awal mula perasaanku tumbuh.
Kami baru intens berkomunikasi setelah Rapimnas Ke IV PPMI selesai. Waktu itu Sabtu 6 April 2019 kami sedang berlibur ke sebuah Vihara di Sungailiat. Namanya Vihara Puri Tri Agung.Â
Jika berkunjung ke Kabupaten Bangka, Sungailiat adalah pilihan untuk menikmati keindahan pantai-pantai berpasir putih. Hamparan batu granit menambah keindahan pantai di Sungailiat.Â
Tempat ini dapat ditempuh kurang lebih 40-50 menit pada jarak kurang lebih 35 kilometer dari pusat Kota Pangkalpinang.Â
 Tempat ini mengesankan. Kami menghabiskan waktu di pantai kurang lebih 50 meter dari sudut Vihara. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Pantai Tongaci 'De Locomotief' beberapa kilometer dari Vihara.
"Kak Maheng dari Aceh ya?," Dila bertanya penuh dendam.
"Kenapa?," jawabku sambil mengiakan.Â
Selanjutnya kami pergi melihat-lihat Pantai Tongaci. Di sana kebetulan sedang ada parade budaya. Berbagai budaya di Bangka sedang diperlombakan kala itu.Â
Pantai Tongaci memiliki spot unik bagi traveler yang mengunjunginya. Tidak hanya ada De Locomotief, di sepanjang pintu gerbang, tampak payung-payung bernuansa chinese yang terpasang di bagian atas sebagai hiasan. Barang-barang di sana pun unik, dan memiliki kesan jadul.Â
Ada juga Museum Gallery. Di sana kamu bisa melihat karya-karya menakjubkan dari para seniman. Sejumlah karya tersebut sangat menarik untuk diabadikan ke dalam akun sosial media.Â
Selain pantainya yang cantik dan bersih, di sana juga terdapat penangkaran penyu yang bisa dilihat pengunjung.Â
Kami juga mengelilingi bibir pantai dan berswafoto. Indah sekali. Ceritanya, seperti pasangan Rama dan Sinta. Bagaimana tidak, ia aku culik dari kerumunan agar kami bisa berdua.Â
Aku sendiri tidak menginginkan pertemuan itu berlalu begitu saja. Akal jahatku bermain, ia kutitipkan jaket kesayanganku. Selain untuk bertemu kembali, aku menginginkan nomor teleponnya.Â
"Nanti malam kembalikan ya, sambil rapat penutupan," perintahku.Â
Malam itu ia menatapku penuh emosi. Perempuan yang sangat takut sama hantu ini matanya memerah. Namun karena itu perasaanku semakin dalam.
"Tau enggak aku ke sini sambil ngebut," ujarnya kesal.
Aku juga suka gaya dan mimik mukanya, yang kadang dibuat aneh-aneh apalagi kalau aku lagi kesal. Yang membuat dia beda adalah dia gila, dan ada saat aku tidak ada, atau saat aku tidak tau bahwa aku ini ada.Â
Kami resmi berpacaran pada Minggu 26 Mei 2019, enam hari setelah perayaan ulang tahunku atau 57 hari setelah kami bertemu. Ini kado yang indah.
Hari-hari berikutnya, seperti kebanyak "bucin" lainnya, kami menghabiskan waktu dengan bercanda, bertengkar, dan menangis bersama.
JIKA ANDA TENGAH MENGUNJUNGIÂ Kabupaten Bangka Selatan dan menyukai sesuatu yang berkaitan dengan alam maka Pantai Batu Bedaun Rajik harus masuk dalam daftar tempat yang harus dikunjungi.
Pantai ini terletak di Jalan Laut Cina, Desa Rajik, Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
Bertolak tidak lebih dari 75 kilometer dari pusat kota Pangkalpinang, dan bisa ditempuh dengan jarak dua jam perjalanan melewati jalan berlubang Pantai Batu Bedaun Rajik memiliki banyak keunikan.Â
Salah satunya terdapat bongkahan batu mirip tudung (caping) dan batu mirip bantal guling. Menurut mitos yang berkembang, tudung dan bantal tersebut milik Akek Antak. Kini menjadi salah satu spot point untuk mengabadikan gambar.
Akek Antak adalah ulama kesohor di Pulau Timah. Teungku Sayyid Deqy dalam bukunya Korpus Mapur dalam Islamisasi di Bangka menulis, Akek Antak hidup pada sekitar abad ke-10 Masehi.Â
Sekitar sepuluh meter dari Barat Laut Caping milik Akek Antak, terdapat sebuah batu yang ditumbuhi pohon yang bagi para penggemar Bonsai dinamakan saike yang tumbuh di atas batu tersebut. Â
Mulanya pohon yang tumbuh adalah pohon Leban Pantai, namun kini pohon cemara angin pun menghiasi gugusan batu granit mirip pulau tersebut. Menurut Erwanti atau disapa Eeng Tour Guide saya, dari sanalah asal mula penamaan Pantai Batu Bedaun.
Penamaan ini mirip dengan dua Pantai Batu Bedaun lain di Indonesia. Salah satunya terletak empat kilometer dari kota Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, Propinsi Kepulauan Riau.
Pasir pantainya berwarna putih yang terbentang luas antara Desa Kampung Baru dengan Desa Kebun Nyiur. Bukan hanya itu, pantai ini diapit oleh sebuah kolong (sejenis danau kecil) dengan airnya yang berwarna hijau.
Sementara di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat dua Pantai Batu Bedaun. Salah satunya adalah Pantai Batu Bedaun Rajik dan yang lain ada Pantai Batu Bedaun Sungailiat bersebelahan dengan pantai Tengiri.
Pantai ini memiliki pasir putih serta sebuah dermaga yang terbuat dari kayu yang kokoh. Biasanya dermaga ini dijadikan para traveler untuk memancing dan aktivitas photography.
Fasilitas di pantai ini cukup lengkap karena sepanjang bibir pantai ada resort untuk makan minum dan mencicipi masakan laut segar. Sementara itu, Bedaun merupakan akses Melayu untuk kata 'Berdaun'.
Berkunjung ke Desa Rajik dan hinggap di Pantai Batu Bedaun, kamu akan disuguhkan rindangnya pohon kelapa dan pohon bakau. Pasirnya yang halus dan berwarana kekuning -- kuningan, airnya jernih membiru cocok untuk berenang dan kegiatan memancing.
Bila tidak membawa bekal. Kamu bisa membeli makanan yang dijajakan oleh pedagang di sekitar pantai.
Bibir pantai banyak terdapat bebatuan yang cukup besar yang dipergunakan oleh pengunjung untuk duduk dan santai sambil menikamati keindahan pantai. Ada tulisan "Jangan mendekati zina" di beberapa titik.
Bagi siapapun yang menyukai memancing, berenang, berjemur atau fotografi, Batu Bedaun Rajik adalah pilihan spesial untuk anda dan keluarga menghabiskan masa liburan.
Jangan lupa untuk membersihkan sampah-sampah yang berserakan dan bawa pulang juga sampah-sampah yang kamu hasilkan di situ. Karena tidak ada penampungan sampah atau toilet layak pakai.
Begitu juga jalan yang berlumpur siap menghiasi kepala dirimu untuk berkeluh kesah pada pejabat. Atau kamu dapat membersihkan dan memotong rumput yang meninggi.
Terakhir dan yang paling penting, jaga situs sejarah atau paling tidak jangan dirusak kalau tidak bisa memperbaiki.
SETELAH DUA TAHUNÂ pengabdian sejak 10 Agustus 2018, pada 17 Februari 2020, saya secara resmi melepaskan jabatan sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
Dalam rentang waktu tersebut, kami mencatat 33 kasus represi terhadap pers mahasiswa dengan 58 jenis penindasan yang terjadi.Â
Meskipun perjuangan ini berat, langkah kami tidak berhenti di sini. Made Aristya Kerta Setiawan dari Bali akan melanjutkan perjuangan kami.Â
Mulai dari intimidasi, kriminalisasi, pemukulan, hingga ancaman drop out, semua bentuk represi ini harus terus diperjuangkan. Termasuk pembekuan LPM Suara Usu seperti saya singgung di muka tulisan, kini  bangkit sebagai Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana yang independen.Â
Meskipun Suara USU telah bertransformasi menjadi Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana yang independen, hubungan cinta antara aku dan Nadila tetap berlanjut.Â
Kami saling mencintai Suara USU versi lama maupun versi Wacana yang telah banyak menginspirasi kami.
Setelah meninggalkan dunia jurnalis mahasiswa, saya memilih untuk berkontribusi sebagai "jurnalis profesional" untuk salah satu media nasional di Indonesia, hingga akhirnya pekerjaan itu tidak lagi berlanjut.
Akhirnya saya membulatkan tekad menjadi penulis lepas dalam bahasa Indonesia di Kompasiana.com dan dalam bahasa Inggris di Peakd.com. Sembari menabung, kami berencana untuk segera melangsungkan pernikahan yang kami impikan bersama. Â Â
Â
Â
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H