Mohon tunggu...
Husnul Jumadi
Husnul Jumadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Denny Siregar Ajak Jokowi Minum Pil Pahit!

23 April 2017   13:45 Diperbarui: 24 April 2017   00:00 12922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Om Denny Siregar, saya suka beberapa tulisan Anda. Meski bukan pembaca aktif, tapi beberapa saya sempat membacanya. Agak bercanda, tapi pesannya dapat dijlentrehkan dengan “manja”. Mengajak tertawa, tanpa sadar ada sesuatu yang “tajam” memasuki pikiran pembacanya. Lalu kemarin, Jum’at (21/04/2017), publik kembali disajikan tulisan renyah Anda, dengan gaya khas “seruput kopi”nya, membahas “kegagalan” Jusuf Kalla (JK) dalam memahami kemenangan Anies sebagai kemenangan islam garis keras atau radikal. Judulnya cukup “menggigit” (sebelum akhirnya terpaksa saya katakan naif): “Pak JK, Mari Seruput Kopi Pahit Dengan Saya”.

Untuk tulisan Anda kali ini, saya merasa tergerak menanggapinya, tentu, melalui logika sederhana yang saya punya. Saya bukan siapa-siapa di mata Anda, sebelum akhirnya saya juga sadar, bahwa Anda bukan siapa-siapa di mata JK. Jadi impas. Menanggapi sesuatu dalam posisi yang sama: sama-sama bukan siapa-siapa dari yang dituliskan. Lalu untuk apa? Anda lebih berhak menjawabnya melalui isyarat kebangsaan dan toleransi yang Anda gunakan dalam tulisan itu atau isyarat-isyarat tersembunyi lainnya. Tapi percayalah, ketika menulis ini, saya ditemani secangkir kopi. Mari seruput kopi dulu, Om.

Kenapa penting untuk menanggapi? Karena Anda hendak mengajarkan dan mendikte JK bagaimana cara membaca dan menghadapi realitas ke depan. Anda berbicara, seolah-olah JK seonggok botol kosong yang harus Anda isi: menafikan ketokohan, senioritas, dan posisinya sebagai Wakil Presiden yang sah saat ini. Menurut Anda, JK harusnya belajar membaca peta politik global. Saya berpikir, ada semacam lawakan lucu dalam tulisan Anda: ada seorang bocah yang baru lahir, mau ngajarin cara berjalan kepada orang lain yang sudah pandai berlari. Entah lucu, entah gila, tapi itulah yang saya tangkap dari tulisan Anda.

Saya tidak ingin membandingkan Anda dengan JK, karena itu terlalu jauh dan memungkinkan Anda ge-er. Tapi yang pasti; ketika Anda hanya berbicara, JK telah melakukannya. Anda sepertinya lupa untuk tracking sosok seseorang sebelum menulis. JK adalah Wakil Presiden, dan pasti lebih tahu banyak hal ketimbang Anda. Berbicara tentang kebangsaan, berbagai macam rasa “kopi kebangsaan” telah ia rasakan. Lalu siapa Anda yang ingin mengajak JK ngopi pahit untuk memetakan perkembangan global dan bangkitnya radikalisme?

Menurut Anda, Pak JK menutup mata terhadap cara-cara menuju kemenangan dalam konteks demokrasi yang tidak demokratis. Demo ribuan massa, tidak menshalatkan jenazah bagi pemilih berbeda, serta ceramah-ceramah bernada keras, memaksa dan memaki dalam shalat Jum’at kemudian dijadikan sebagai simplifikasi atas klaim radikalisme. Disebut simplifikasi karena Anda, bahkan tidak pernah berdiskusi dengan kelompok mereka untuk menjlentrehkan semuanya. Apakah Anda pernah benar-benar ngopi bareng dengan mereka, mendatangi markasnya, lalu adu argumentasi secara cerdas dan lugas? Atau, Anda mengamati dari luar, lalu sok tahu menilai dapur orang lain sebagaimana kebiasaan Anda? Dalam konteks ini, sejatinya Anda (dan mungkin kelompok Anda) mempunyai kesamaan yang tak terbantahkan dengan mereka, yaitu sama-sama intoleran terhadap kelompok yang lain! Tak berbeda jauh!

Om Denny Siregar, Anda khawatir atas gejala global terbentuknya sistem khilafah dengan cara menunggangi orang-orang yang haus kekuasaan. Itu akan menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Bahkan, entah dengan alasan apa, itu adalah lampu kuning bagi Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Australia (Saya berpikir keras, kok jauh amet mikirnya). Mungkin Anda punya banyak pengetahuan soal itu, sehingga Anda menganggap JK sebagai orang yang “gagal paham” membaca gejala dan gelombang yang sedang menuju ke arah sana. Meski, aneh bagi saya ketika Wakil Presiden tidak mengetahui informasi secetek itu.

Padahal, ini Jakarta. Sejauh mana seorang gubernur Jakarta mempunyai kewenangan untuk menciptakan negara khilafah? Bukankah masih ada Presiden sebagai penguasa tertinggi? Atau jangan-jangan, Anda mendelegitimasi kemampuan dan kekuasaan seorang Presiden? Bukankah kalau itu benar terjadi justeru menjadi salah satu contoh representatif kegagalan Presiden dalam ngurusin anak buahnya yang Gubernur? Hal ini agak lucu, terutama ketika secara tegas dalam statementnya (debat Cagub-Cawagub terakhir), Anies mengatakan; tak akan ada Jakarta bersyari’ah! (apalagi khilafah, yang Anda khawatirkan itu). Tak ada!.

Anda juga (pura-pura) lupa, bahwa satu-satunya penyebab yang membuat kekisruhan ini muncul dan membuat se-Indonesia capai adalah kecerobohan Ahok (jagoan Anda). Ia tidak bisa menjaga mulutnya yang kasar, arogan, dan sadis. Anda khawatir kekisruhan itu akan terjadi di daerah lain dan akan meluas ke se-antero Indonesia? Anda punya data dan fakta? Jangan berlebihan, Om. Itu tidak mudah. Ini bukan simplifikasi persoalan, tapi apa yang Anda bayangkan terlalu jauh dijangkau. Sini, Om, kopinya masih anget, nih.

Anda menafikan JK sebagai Wakil Presiden, yang setiap statementnya diperhatikan oleh banyak orang. Sebagai senior buzzer yang berpengalaman, harusnya Anda memahami statement JK sebagai komitmen untuk menjaga suasana dan meredam gejolak. Sudah cukup segala kegaduhan. Lalu, apakah JK harus mengatakan, bahwa benar kemenangan Anies adalah kemenangan islam radikal sebagai mana alur pikiran Anda yang kacau? Apa implikasinya? Padahal, jutaan pendukung Anies lainnya adalah mereka yang bukan bagian dari islam radikal. Hmmm, ilmu pengetahuan macam apa yang membenarkan generalisasi rumpang semacam itu, Om?

Sayang sekali, Om Denny Siregar, JK bukan Anda atau Ahok yang Anda bela. Kopi yang Anda minum tiap hari, sudah dirasakan JK, bahkan ketika Anda masih dalam kandungan.

Anda dengan entengnya menegasikan JK, dan menafikan perannya sebagai tokoh perdamain, yang mempunyai peran penting dalam mendamaikan konflik-konflik di di tanah air, termasuk di Aceh. Apakah dengan begitu, Anda ingin mengatakan JK sebagai orang radikal? Padahal banyak sekali statement tentang bahaya radikalisme. Kalau Anda tidak sempat membaca berita, ini saya kasih link-nya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun