Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Penulis - Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Antara Realitas Sinema dan Stereotipe: Potret Konflik Multikultural Bu Tejo Sowan Jakarta

13 Agustus 2024   14:47 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Bu Tejo Sowan Jakarta (Sumber: IMDb)

Bu Tejo kembali ke layar lebar lewat film berjudul Bu Tejo Sowan Jakarta (2024). Dalam poster filmnya, Bu Tejo eksis bersama teman-temannya dalam bingkai kamera -- tangan Bu Tejo seolah memegang dan mengarahkan kamera itu sendiri. Di samping menegaskan kalau ia dan kawan-kawannya tengah berlakon dalam realitas kedua (realitas sinema), mereka (Bu Tejo dan teman-temannya) dalam poster itu juga dimediasi oleh kamera bersamaan dengan beban berat berjuluk representasi.

Karya 'representasi' tak jarang bermanifestasi stereotipikal. Sehubungan dengan masalah itu, Bu Tejo Sowan Jakarta memikul beban ganda, bukan cuma stereotipe perempuan (yang juga tampak pada Tilik (2018)), tetapi juga etnis Tionghoa. Memang, sebagai sebuah realisme, tak mengejutkan bagi film bergumul dengan prasangka stereotipikal. Maka terjebaklah kembali Bu Tejo dalam kubangan permasalahan itu.

The Opening Image: Terbentuknya Prasangka

"The very first impression of what a movie is -- its tone, its mood, the type and scope of the film -- are all found in the opening image... The opening and final images should be opposites, a plus and a minus, showing change so dramatic it documents the emotional upheaval that the movie represents," Blake Snyder -- Save The Cat.

Apabila disajikan sebuah bingkai visual yang mana di dalam bingkai itu memperlihatkan kegiatan arisan sekumpulan perempuan paruh baya tengah asyik berbicang menggunakan bahasa daerah, kira-kira apa kesan pertama kita (sebagai penonton)?  

Walaupun tak mengerti bahasanya, sebagian penonton mungkin akan menafsir kalau yang dibicarakan oleh ibu-ibu itu berpusat pada 'orang' dan 'kejadian' -- bukan 'gagasan'. Singkatnya mereka tengah bergosip. Itulah opening image dalam film teranyar arahan Andibachtiar Yusuf, Bu Tejo Sowan Jakarta.

Bagi penonton yang sudah mafhum dengan karakter Bu Tejo (Siti Fauziah) lewat kemunculannya pada film pendek produksi Ravacana Films bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY, Tilik, opening image semacam ini hanya sebatas penyegaran. Sedangkan, bagi penonton yang belum pernah bersua Bu Tejo dan kawan-kawannya, scene pembuka dalam film ini sangatlah efisien dalam memberi pemahaman kepada penonton; seperti apa karakter Bu Tejo, teman-teman arisannya, serta dunia cerita. Lebih jauh, juga sebagai peringatan akan isu yang diangkat.

Ada problematika yang sangat kental yang terhantar lewat karakter Bu Tejo dkk. Hal itu bisa ditangkap sekejap mata, baik dalam Tilik maupun Bu Tejo Sowan Jakarta. Di Tilik, viralnya Bu Tejo memantik perdebatan apakah film ini benar-benar menggambarkan realitas dari kehidupan ibu-ibu desa atau sekadar stereotipikal yang bersembunyi di balik selimut komedi, membawa penonton hanyut dan lupa akan penyakit inti.

Bu Tejo yang stereotipe itu juga terbaca dalam Bu Tejo Sowan Jakarta melalui unsur narasi (terutama dialog). Bukan cuma terhadap perempuan, sasaran stereotipe kali ini juga etnis Tionghoa. Dan, semua itu ada sedari opening image atau gambar pembuka dalam film.

Opening image Bu Tejo Sowan Jakarta sudah bisa memancing diskusi panjang apakah film ini merupakan upaya dalam menjaga integritas sosial di tengah masyarakat yang multikultur, atau sebaliknya, melestarikan disintegritas? Namun, untuk menjawab pertanyaan itu, tidak cukup hanya menitikberatkan pada opening image.

Moralitas Gosip: Kontrol Sosial 

Dalam Tilik, Bu Tejo berada di truk bak terbuka bersama sekumpulan ibu-ibu lainnya (semuanya berhijab) membicarakan soal Dian yang diduga memiliki pekerjaan yang 'tidak baik'. Sepanjang 30 menit, gosip itu berkembang dan penonton dipaksa menebak-nebak apakah gosip itu terbukti atau hanya fitnah belaka -- sambil sesekali menertawai tingkah konyol dan celetukan para karakter.

Sutradara film Tilik, Wahyu Agung Prasetyo, pernah menekankan intensinya dalam suatu wawancara. Ia mendaku film garapannya adalah ironi yang dihumorkan. Ironi dalam filmnya, kata Wahyu, ada pada sekumpulan perempuan berkerudung yang asyik bergibah. Memang ada muatan agama dalam pernyataan Wahyu, tapi untuk kali ini, mari berfokus pada gibah atau gosip. Pasalnya, dalam Bu Tejo Sowan Jakarta, Andibacthiar juga mengikutsertakan 'gosip' dalam kopor intellectual property (IP) Bu Tejo.

Dari kedua film ini, maka pantaslah untuk menyimpulkan bahwa Bu Tejo dan kawan-kawannya memang didesain dan dimaksudkan untuk mewakili kehidupan ibu-ibu desa berikut aktivitas gosipnya yang sangat berpengaruh. Seberapa besar pengaruh tersebut?

Gosip mendasari cerita (juga karakter) dalam Bu Tejo Sowan Jakarta. Prasangka Bu Tejo terhadap etnis Tionghoa telah terbentuk dan divalidasi oleh teman-teman arisannya. Semua bermula saat salah satu teman arisan Bu Tejo, Saodah, menebak kalau ketan yang Bu Tejo suguhkan dibeli dari Cicik Martha.

"Aku pernah belanja di Cicik Martha itu. Uangnya kelebihan 50 rupiah, minta kembaliannya, ya ampun!" ucap Saodah.

Dalam dialog hiperbolis ini, Saodah sedang menggiring percakapan dan menantikan respons setuju dari karakter lainnya atas pengalaman menyebalkan yang ia alami. Respons itu ia peroleh dan segera stereotipe Tionghoa sebagai etnis yang pelit pun berkembang lewat dialog.

"Iya Cina itu perhitungan banget."

"Memang pelit banget Cicik Martha itu."

"Aku pernah mau utang di Cicik Martha tapi gak boleh."

Pertanyaannya, kenapa sebagian besar karakter sepakat kalau Cina adalah etnis yang perhitungan? Kenapa tidak ada yang menyanggah? Apa iya semua karakter punya pengalaman buruk dengan Cina (atau Cicik Martha)? Atau mungkin film ini memang sengaja membingkai negatif etnis tertentu dengan alibi realitas?

Jawabannya ada pada 'gosip'. Gosip, beserta pelakunya, telah lama memunculkan stigma di mata masyarakat. Menurut Wert dan Salovey (2004), gosip adalah percakapan informal evaluatif mengenai sesuatu yang negatif tentang permasalahan suatu kelompok atau individu yang absen dalam suatu lingkungan sosial.

Namun, kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi. Gosip juga memiliki dampak positif. Antropolog sekaligus psikolog Oxford University, Robin Dunbar, dalam bukunya "Grooming, Gossip, and the Evolution of Language (1996)", menyatakan kalau gosip berperan dalam tatanan dan kohesi sosial untuk mempererat relasi.

Walaupun secara moral dinilai negatif, sosiolog Stanford University, Robb Willer, menemukan bahwa gosip dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kerja sama, hingga menggagalkan eksploitasi pada 'orang baik'. Pada kelompok masyarakat yang sangat menjunjung dan mementingkan reputasi, gosip menjadikan seseorang berperilaku pro-sosial karena tidak ingin dikucilkan.

Kalimat "tidak ingin dikucilkan" perlu kita highlight. Dalam ilmu komunikasi dikenal teori Spiral Of Silence (Elisabeth Noelle-Neumann) yang secara singkat didefinisikan sebagai kecenderungan manusia untuk mengikuti arus demi mempertahankan keanggotaan dalam kelompok sosial.

Berdasarkan definisi-definisi dan teori di atas, bisa disimpulkan bahwa Bu Tejo (yang tak menimpali dan hanya cengengesan) dan teman-teman arisannya ingin keanggotaan mereka dalam kelompok kecil ini (kelompok arisan) dapat terus bertahan dan tak ada yang mau dikucilkan.  Dan, insting itu merupakan kecenderungan manusia.

Gosip menjelaskan kenapa setiap pernyataan atau cerita yang terlontar memperoleh afirmasi dari karakter lain. Karenanya terlalu dini untuk serta-merta menghakimi kelompok ibu-ibu ini stereotipe semata terhadap etnis Tionghoa, terlebih diskusi mereka bertumpu pada "orang" dan gosip dalam film ini condong digunakan sebagai alat relasi dan kontrol sosial.

Tapi, itu kalau bicara soal gosip dan etnis Tionghoa. Beda cerita kalau soal perempuan.

Bu Tejo Sowan Jakarta sulit mengelak dari kecenderungan stereotipe terhadap perempuan. Tak bisa juga ia bersembunyi lewat humor seperti yang sudah-sudah. Melalui opening scene, ia secara terang-terangan mencitrakan ibu-ibu adalah tukang gosip dan para lelaki selalu kalah pada kecerewetan ibu-ibu. Dan, penggambaran itu terus mengalir hingga final images.

Sebagaimana Tilik, ibu-ibu arisan yang tengah bergosip (sebagai representasi kenyataan) dalam opening scene ini dapat dicap memiliki moral yang melencang. Dan, bapak-bapak yang tersorot dalam film ini enggan terlibat dan memilih mencari kenyamanan yang didamba lewat sowan-nya ibu-ibu ke Jakarta.

Baik Tilik maupun Bu Tejo Sowan Jakarta, itulah secuil kenyataan (termasuk stereotipe) yang berusaha dipotret oleh sutradara untuk mendukung visinya dalam bercerita -- meskipun disutradarai orang berbeda. Dalam Tilik, respons masyarakat terhadap potret realitas ini bermacam, sebagian mendukung, sebagian mengecam. Kritik terutama datang dari perspektif feminis yang membaca bahwa Tilik telah memperkokoh stereotipe perempuan (terutama karena ending-nya).

Namun demikian, meneruskan catatan Putu Nur Ayomi dalam penelitiannya berjudul "Gosip, Hoaks, dan Perempuan: Representasi dan Resepsi Khalayak Terhadap Film Pendek Tilik" (2021), walaupun dikritik tidak edukatif lantaran bias patriarkis, Tilik mendapatkan pembacaan dominan sebagai film yang merepresentasikan realitas masyarakat Indonesia.

Metafora Kehidupan: Stereotipe Tionghoa

A storyteller is a life poet, an artist who transforms day to day living, inner life and outer life, dream and actuality into a poem whose rhyme scheme is events rather than words -- a two hour metaphor that says: Life is like this! -- Robert Mckee.

Film adalah metafora atas hidup. Begitu kata guru skenario, Robert Mckee, dalam bukunya berjudul "Story: Substance, Structure, Style and the Principles of Screenwriting" (1998). Jika menggunakan falsafah tersebut, maka Bu Tejo Sowan Jakarta berupaya memfilmkan cara hidup kita, masyarakat Indonesia, sebagai masyarakat yang multikultural -- film ini begitu doyan memasukan cukup banyak karakter ke dalam frame atau saling sahut dalam suatu dialog.

Unsur-unsur narasi dan sinematik Bu Tejo Sowan Jakarta dipenuhi dengan simbol-simbol (secara denotasi maupun konotasi) yang mengindikasikan pluralisme budaya. Tidak cuma di kehidupan nyata, pluralisme budaya dalam film juga dianggap sebagai elemen yang eksotis.

Namun kenyataannya, profesor emeritus sosiologi dan antropologi Universitas Washington, Pierre L. van den Berghe, menemukan bahwa salah satu sifat masyarakat majemuk ialah sering kali mengalami konflik antarkelompok. Maka, dengan narasi tersebut, untuk menghadirkan realitas yang terkoneksi dengan masyarakat majemuk, wajar bagi Bu Tejo Sowan Jakarta berkecimpung dalam konflik-konflik itu.

Seperti yang sudah dibahas di atas, Bu Tejo dan sejumlah karakter yang terlibat telah mufakat kalau Tionghoa adalah etnis yang pelit. Maka berkembanglah stereotipe tersebut dan terjebaklah, atau terpaksa, Bu Tejo mengamininya agar dapat mempertahankan keanggotaan dalam kelompoknya.

Kekhawatiran Bu Tejo (terancamnya keanggotaan dalam kelompoknya) muncul tatkala dirinya mengetahui kalau putranya, Tedy, berniat menikahi Vanessa yang beretnis Tionghoa. "Kenapa mesti jatuh cinta sama Cina. Ibu tuh nggak tahu mesti ngomong gimana sama teman ibu yang lain, pak?" keluh Bu Tejo.

"Nanti Tedy digosipin, kita digosipin. Aku gak mau Tedy nikah sama Cina...," kata Bu Tejo.

Dialog ini menegaskan kegelisahan Bu Tejo bermuara pada keanggotannya dalam kelompok ibu-ibu arisan. Sebab sebelumnya, Bu Tejo sudah belajar kalau Cina (Cicik Martha) dipandang sebelah mata oleh kelompok arisannya dan ia tak mau jadi anggota yang memberontak konvensi itu.

"Masalahnya kalo nikah beda budaya itu pasti ribet gitu loh ya. Ibu tuh kenal sama Cina cuma sama Cicik Martha yang di pasar itu sama Meteor Garden," kata Bu Tejo.

Dalam dialog ini, sang filmmaker mengeksposisi (kepada penonton) posisi dan kondisi karakternya, Bu Tejo, melalui persepsi dan interaksi karakter terhadap etnis Tionghoa yang membentuk kerangka stereotipnya.

Persepsi seseorang terhadap orang lain sangat tergantung dengan komunikasi yang dilakukan agar dapat mempertegas kesan. Sedangkan Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan perorangan maupun orang perorangan dengan kelompok (Soekanto, 2015).

Lewat eksposisi itu, Bu Tejo eksplisit mengungkap bahwa dirinya tak begitu mengenal etnis Tionghoa dan persepsinya selama ini terhadap etnis tersebut telah bias oleh individu bernama Cicik Martha. Karakter Cicik Martha menjadi satu-satunya acuan Bu Tejo dalam menilai etnis Tionghoa (berdasarkan konvensi kelompok arisannya).

Pematahan Prasangka: Inkonsistensi

Pada midpoint cerita, prasangka Bu Tejo terhadap etnis Tionghoa mulai terpatahkan kala memasuki adegan toko pecinan dan berlanjut saat Bu Tejo menumpang mobil Acen (karakter etnis Tionghoa). Di scene ini Bu Tejo memperoleh sudut pandang baru bahwa tak semua Cina punya karakter yang sama dengan Cicik Martha. Kini Bu Tejo memiliki pembanding.

Kesadaran Bu Tejo atas generalisasinya terhadap etnis Tionghoa itu diperkuat lewat penempatan (blocking) karaktar Bu Tejo dan Acen di kursi penumpang, lalu Acen bersandar di pundak Bu Tejo. Adegan ini mengindikasikan runtuhnya jarak antara Bu Tejo (etnis Jawa) dengan Acen (etnis Tionghoa). Hal itu diperkuat dengan angle eye-level, yang mempertegas kesetaraan.

Jarak memainkan peran penting dalam mengindikasi tingkat keakraban seseorang dengan orang lain ketika berkomunikasi. Dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi (2021) karya Bonaraja Purba, dkk, proksemik diartikan sebagai bahasa ruang, yakni jarak yang digunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain.

Apabila merujuk pada empat zona proksemik Edward Hall, jarak yang terbentuk antara Bu Tejo dan Acen merupakan jarak intim (0 - 46 sentimeter). Zona intim adalah jarak dekat yang biasanya dilakukan oleh keluarga inti, teman dekat, kekasih, dan pasangan hidup.

Di scene ini Bu Tejo menunjukan kepeduliannya kepada Acen yang merindukan mendiang ibunya dan stres memikirkan ayahnya yang tak kunjung lepas dari kedukaan. Bu Tejo peduli dengan Acen sebagai manusia dan tak lagi memandangnya semata sebagai 'etnis Cina' yang berjarak.

Andibachtiar Yusuf juga menyegarkan tema multikulturalnya lewat karakter Acen dan ayahnya yang berbahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa di sini menyiratkan bahwa etnis Tionghoa bukanlah suatu kelompok terpisah dengan nasionalisme yang patut dipertanyakan sebagaimana zaman orde baru.

Di masa orde baru, berkembang stereotipe etnis Cina di Indonesia masih memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur sehingga jiwa nasionalisme mereka dirasa perlu diragukan. Stereotipe tersebut menimbulkan jarak dan segregasi etnis.

Namun dari sekian upaya menyingkirkan stereotipe itu, Andibachtiar malah menampakkan inkonsistensi ketika Tedy -- yang sedari awal meyakinkan ibunya bahwa tidak ada yang salah dengan etnis Cina dan menyiratkan bahwa ia adalah generasi muda yang telah berhasil memusnahkan stereotipe -- berkata; "Sudahlah Bu, Pak, gak usah grogi, namanya juga orang Cina rumahnya bagus," ucap Tedy.

Di sini, Tedy seolah memposisikan keluarganya di bawah keluarga Vanessa atau etnis Cina. Ia masih membudayakan pandangan bahwa Cina, secara general, adalah kelompok yang eksklusif dan dengan demikian kembali membentangkan jarak yang sudah berhasil dimusnahkan Bu Tejo.

Anggapan jika etnis Tionghoa lebih eksklusif dibanding etnis pribumi sudah terjadi turun-menurun. Warisan tersebut tak lain adalah imbas kebijakan Wijkenstelsel zaman kolonial Belanda yang memisahkan masyarakat zaman kolonialisme berdasarkan ras. Penggolongan ini menimbulkan eksklusivisme, karena masing-masing golongan diposisikan dalam stratifikasi sosialnya. Dari pemisahan itu, sejumlah tempat atau titik didominasi oleh etnis tertentu, tak terkecuali Tionghoa.

Resolution: Budaya dan Bahasa

Interaksi yang dilakukan warga masyarakat mengacu pada masalah sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri, manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis dari kebudayaan (Soekanto, 2015). 

Meskipun bukan hal baru dalam media film, budaya dan bahasa tetap menjadi nilai jual dan memainkan fungsi vital di film ini. Di samping kental dengan Bahasa Jawa dan penggunaannya oleh etnis Tionghoa, film ini, melalui babak resolusi, mempertegas statement akan pentingnya saling menghargai budaya.

Konflik antara Bu Tejo yang Jawa dan Ibu Vanessa yang Tionghoa terpantik karena adanya prasangka satu sama lain. Konflik ini diperlihatkan secara eksplisit ketika Bu Tejo untuk pertama kalinya bertemu dengan Ibu Vanessa.

Karena suatu sebab, seserahan lamaran yang sudah disediakan oleh Tedy diganti dengan lemper oleh Bu Tejo. Inisiasi Bu Tejo dinilai sebagai suatu penghinaan oleh Ibu Vanessa.

"Tolong dijaga dan dihargai budaya kami... Jakarta itu multikultur, Bu, banyak budayanya, jadi tolong dipelajari budaya kami," kata Ibu Vanessa.

Selanjutnya, Ibu Vanessa juga menunjukan eksklusivitas dengan menyebut Bu Tejo sekeluarga adalah 'orang desa'. Sebutan 'orang desa' di sini dikonotasikan negatif sebagai kelompok masyarakat yang tertinggal.

Cek-cok tersebut, bagi Bu Tejo, telah membenarkan prasangkanya terhadap etnis Tionghoa. Bu Tejo lantas berceloteh: "Ted, itu kenapa ya ibu itu gak mau kamu nikah sama beda budaya, ribet tahu gak. Tradisinya ribet, orangnya ribet, sombong lagi,".

Konflik penutup semacam ini tentu sudah disiapkan sedari skenario sebagai rock bottom sebelum menuju tahap final battle dalam sebuah narasi tiga babak. Sebab pada akhirnya, melalui teman-teman arisannya, Bu Tejo belajar kalau kesalahan memang ada pada dirinya dan keluarga. Ia juga belajar bahwa konflik tersebut terjadi lantaran keduanya memiliki harga diri akan budaya masing-masing.

Di samping prasangkanya terhadap etnis Tionghoa yang terkalahkan, Bu Tejo juga sadar kalau teman-teman arisannya tidak mempermasalahkan (menggeneralisasi) etnis selama calon menantu Bu Tejo adalah orang baik dan dari keluarga baik-baik pula.

Serupa dengan Bu Tejo, Ibu Vanessa, melalui Kokoh Vanessa, juga sadar kalau dirinya tak menghargai upaya Bu Tejo sekeluarga yang sudah datang jauh-jauh untuk menyambangi keluarga Vanessa dalam rangka lamaran.

Saya memakai kata 'sadar' bukan tanpa sebab. Pasalnya, efek 'jentikan jari' masih jadi senjata utama dalam mengakhiri tahap klimaks -- merujuk pada resolusi secepat kilat, konflik besar dalam film seakan lenyap seketika, ibarat seseorang menjentikan jari di hadapan karakter sehingga karakter tercerahkan. Padahal penyelesaian konflik yang lebih dinamis atau bagaimana stereotipe itu lantas dilawan adalah sesuatu yang diharapkan dan dibutuhkan dalam keterjebakan Bu Tejo dalam 'film stereotipikal'.

Melalui bahasa dan budaya, Bu Tejo Sowan Jakarta sedang menyajikan suatu kritik sosial yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap persoalan atau kenyataan sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan sosial yang dikritik adalah kenyataan sosial yang dianggap menyimpang, dalam hal ini stereotipe etnis, dalam masyarakat multikultural.

Bu Tejo Sowan Jakarta menyajikan realitas sinematik atau metafora hidup yang dilakoni oleh Bu Tejo, teman-temannya, dan keluarga Vanessa seputar stereotipe etnis. Yang mana, melalui kajian ini, stereotipe tersebut bisa timbul lantaran jarak (komunikasi dan interaksi) serta insting individu untuk mempertahankan keanggotan dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun