Unsur-unsur narasi dan sinematik Bu Tejo Sowan Jakarta dipenuhi dengan simbol-simbol (secara denotasi maupun konotasi) yang mengindikasikan pluralisme budaya. Tidak cuma di kehidupan nyata, pluralisme budaya dalam film juga dianggap sebagai elemen yang eksotis.
Namun kenyataannya, profesor emeritus sosiologi dan antropologi Universitas Washington, Pierre L. van den Berghe, menemukan bahwa salah satu sifat masyarakat majemuk ialah sering kali mengalami konflik antarkelompok. Maka, dengan narasi tersebut, untuk menghadirkan realitas yang terkoneksi dengan masyarakat majemuk, wajar bagi Bu Tejo Sowan Jakarta berkecimpung dalam konflik-konflik itu.
Seperti yang sudah dibahas di atas, Bu Tejo dan sejumlah karakter yang terlibat telah mufakat kalau Tionghoa adalah etnis yang pelit. Maka berkembanglah stereotipe tersebut dan terjebaklah, atau terpaksa, Bu Tejo mengamininya agar dapat mempertahankan keanggotaan dalam kelompoknya.
Kekhawatiran Bu Tejo (terancamnya keanggotaan dalam kelompoknya) muncul tatkala dirinya mengetahui kalau putranya, Tedy, berniat menikahi Vanessa yang beretnis Tionghoa. "Kenapa mesti jatuh cinta sama Cina. Ibu tuh nggak tahu mesti ngomong gimana sama teman ibu yang lain, pak?" keluh Bu Tejo.
"Nanti Tedy digosipin, kita digosipin. Aku gak mau Tedy nikah sama Cina...," kata Bu Tejo.
Dialog ini menegaskan kegelisahan Bu Tejo bermuara pada keanggotannya dalam kelompok ibu-ibu arisan. Sebab sebelumnya, Bu Tejo sudah belajar kalau Cina (Cicik Martha) dipandang sebelah mata oleh kelompok arisannya dan ia tak mau jadi anggota yang memberontak konvensi itu.
"Masalahnya kalo nikah beda budaya itu pasti ribet gitu loh ya. Ibu tuh kenal sama Cina cuma sama Cicik Martha yang di pasar itu sama Meteor Garden," kata Bu Tejo.
Dalam dialog ini, sang filmmaker mengeksposisi (kepada penonton) posisi dan kondisi karakternya, Bu Tejo, melalui persepsi dan interaksi karakter terhadap etnis Tionghoa yang membentuk kerangka stereotipnya.
Persepsi seseorang terhadap orang lain sangat tergantung dengan komunikasi yang dilakukan agar dapat mempertegas kesan. Sedangkan Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan perorangan maupun orang perorangan dengan kelompok (Soekanto, 2015).
Lewat eksposisi itu, Bu Tejo eksplisit mengungkap bahwa dirinya tak begitu mengenal etnis Tionghoa dan persepsinya selama ini terhadap etnis tersebut telah bias oleh individu bernama Cicik Martha. Karakter Cicik Martha menjadi satu-satunya acuan Bu Tejo dalam menilai etnis Tionghoa (berdasarkan konvensi kelompok arisannya).
Pematahan Prasangka: Inkonsistensi
Pada midpoint cerita, prasangka Bu Tejo terhadap etnis Tionghoa mulai terpatahkan kala memasuki adegan toko pecinan dan berlanjut saat Bu Tejo menumpang mobil Acen (karakter etnis Tionghoa). Di scene ini Bu Tejo memperoleh sudut pandang baru bahwa tak semua Cina punya karakter yang sama dengan Cicik Martha. Kini Bu Tejo memiliki pembanding.