Walaupun secara moral dinilai negatif, sosiolog Stanford University, Robb Willer, menemukan bahwa gosip dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kerja sama, hingga menggagalkan eksploitasi pada 'orang baik'. Pada kelompok masyarakat yang sangat menjunjung dan mementingkan reputasi, gosip menjadikan seseorang berperilaku pro-sosial karena tidak ingin dikucilkan.
Kalimat "tidak ingin dikucilkan" perlu kita highlight. Dalam ilmu komunikasi dikenal teori Spiral Of Silence (Elisabeth Noelle-Neumann) yang secara singkat didefinisikan sebagai kecenderungan manusia untuk mengikuti arus demi mempertahankan keanggotaan dalam kelompok sosial.
Berdasarkan definisi-definisi dan teori di atas, bisa disimpulkan bahwa Bu Tejo (yang tak menimpali dan hanya cengengesan) dan teman-teman arisannya ingin keanggotaan mereka dalam kelompok kecil ini (kelompok arisan) dapat terus bertahan dan tak ada yang mau dikucilkan. Â Dan, insting itu merupakan kecenderungan manusia.
Gosip menjelaskan kenapa setiap pernyataan atau cerita yang terlontar memperoleh afirmasi dari karakter lain. Karenanya terlalu dini untuk serta-merta menghakimi kelompok ibu-ibu ini stereotipe semata terhadap etnis Tionghoa, terlebih diskusi mereka bertumpu pada "orang" dan gosip dalam film ini condong digunakan sebagai alat relasi dan kontrol sosial.
Tapi, itu kalau bicara soal gosip dan etnis Tionghoa. Beda cerita kalau soal perempuan.
Bu Tejo Sowan Jakarta sulit mengelak dari kecenderungan stereotipe terhadap perempuan. Tak bisa juga ia bersembunyi lewat humor seperti yang sudah-sudah. Melalui opening scene, ia secara terang-terangan mencitrakan ibu-ibu adalah tukang gosip dan para lelaki selalu kalah pada kecerewetan ibu-ibu. Dan, penggambaran itu terus mengalir hingga final images.
Sebagaimana Tilik, ibu-ibu arisan yang tengah bergosip (sebagai representasi kenyataan) dalam opening scene ini dapat dicap memiliki moral yang melencang. Dan, bapak-bapak yang tersorot dalam film ini enggan terlibat dan memilih mencari kenyamanan yang didamba lewat sowan-nya ibu-ibu ke Jakarta.
Baik Tilik maupun Bu Tejo Sowan Jakarta, itulah secuil kenyataan (termasuk stereotipe) yang berusaha dipotret oleh sutradara untuk mendukung visinya dalam bercerita -- meskipun disutradarai orang berbeda. Dalam Tilik, respons masyarakat terhadap potret realitas ini bermacam, sebagian mendukung, sebagian mengecam. Kritik terutama datang dari perspektif feminis yang membaca bahwa Tilik telah memperkokoh stereotipe perempuan (terutama karena ending-nya).
Namun demikian, meneruskan catatan Putu Nur Ayomi dalam penelitiannya berjudul "Gosip, Hoaks, dan Perempuan: Representasi dan Resepsi Khalayak Terhadap Film Pendek Tilik" (2021), walaupun dikritik tidak edukatif lantaran bias patriarkis, Tilik mendapatkan pembacaan dominan sebagai film yang merepresentasikan realitas masyarakat Indonesia.
Metafora Kehidupan: Stereotipe Tionghoa
A storyteller is a life poet, an artist who transforms day to day living, inner life and outer life, dream and actuality into a poem whose rhyme scheme is events rather than words -- a two hour metaphor that says: Life is like this! -- Robert Mckee.
Film adalah metafora atas hidup. Begitu kata guru skenario, Robert Mckee, dalam bukunya berjudul "Story: Substance, Structure, Style and the Principles of Screenwriting" (1998). Jika menggunakan falsafah tersebut, maka Bu Tejo Sowan Jakarta berupaya memfilmkan cara hidup kita, masyarakat Indonesia, sebagai masyarakat yang multikultural -- film ini begitu doyan memasukan cukup banyak karakter ke dalam frame atau saling sahut dalam suatu dialog.