“Nganterin teman cari buku, pak.”
“Alasan aja kamu, jangan-jangan kamu keluyuran di luar buat pacaran ya. Ibu itu anaknya liatin, jangan taunya cuma di rumah.”
“Lia, ke kamar dulu, pak.”
“Hei, anak sekarang begitu, gak ada sopan-santunnya sama orang tua. Punya anak gak ada yang bener. Tukang kelayapan semua. Ini gara-gara ibu gak kasih tau, gak bisa ngedidik anak. Masa harus bapak terus yang ingetin…”
Here we go again. Lia buru-buru masuk kamarnya, melepas pakaian dan mandi. Selepas maghrib ia akan mengajar murid-muridnya yang 3 orang itu.
Hari ini ia aman, hanya omelan sederhana level 0,5. Tidak ada makian, cacian. Siaran berita, selalu itu yang digumamkannya dalam hati jika Bapak sudah mengomel, 3 kali sehari persisi seperti jadwal orang minum obat, atau jadwal siaran berita televisi.
Kata penyair, seorang ayah itu cinta pertama anak perempuannya, tapi dia tidak seberuntung itu. Lia bahkan berharap tidak bertemu bapak jika ia pulang.
Lia bahkan jarang bertemu kakak laki-lakinya. Kalau Lia masih tidur dan tinggal di rumah, Maka kakaknya Dimas hanya berganti pakaian sebelum pergi.
Dimas selalu tidur di rumah teman-temannya. Sebenarnya dia anak yang rajin, kak Dimas akan membantu tuan rumah saat ia menginap, entah itu mengantar si ibu ke pasar, saat yang temannya masih tidur atau hal yang lain, karena itu mereka senang jika kak Dimas menginap.
Lia terkadang berharap ibu tidak perlu bertemu bapak dalam hidupnya, jadi ia tidak perlu lahir ke bumi.
Rumah Agni, murid lesnya yang kelas 2 SD tidak begitu jauh, ia cukup berjalan kaki 5 menit. Disana teman sekelas Agni, yaitu Deo dan Raina juga ikut les privat. Mereka bertiga menjadi pelariannya di kala malam.