Mohon tunggu...
Marselia Ika
Marselia Ika Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis lepas

Introvert yang senang menulis, mendengarkan musik dan mengamati.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Yogya Istimewa, Istimewa Negerinya Istimewa Orangnya

18 Februari 2023   19:30 Diperbarui: 18 Februari 2023   19:36 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelataran borobudur, tempat saya berteduh di bawah pohon, sambil mengobrol dengan seorang ibu warga lokal. Sumber: Dok. Pribadi

“Jogja…jogja…tetap istimewa,

istimewa negerinya, istimewa orangnya”

Sepenggal lirik lagu Jogja istimewa dari Hip Hop Foundation ini, sering diputar rekan kerja saya dulu, sebelum almarhum meninggal. Lagu yang sebagian besar berbahasa Jawa, terdengar asing bagi saya, yang lahir dan tinggal di tengah bumi Melayu dan Dayak. Namun,  lagu ini menjadi awal perkenalan saya dengan Yogyakarta.

Pada tahun 2018, saya yang awalnya bersama keluarga mengunjungi sanak saudara kami dari pihak ibu di Pamanukan, Subang, Jawa Barat. Kemudian terdampar seorang diri di Yogyakarta. 

Kejadian ini bermula dari drama mobil mogok, diderek mobil pengangkut, ngos-ngosan mengejar pesawat di bandara, dan berakhir saya yang harus tertinggal untuk mengurus koper-koper.

Pesawat kami dijadwalkan terbang pukul 16.00, dari pamanukan kami sudah berangkat pukul 08.00. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 3-4 jam, karena itu bukan musim mudik, hanya hari kerja biasa. 

“Lebih baik awal, kita bisa tenang menunggu di bandara, daripada kena macet di jalan.” kata ibu, yang kami amini.

Drama bermula ketika pukul 11.00 kami sudah memasuki wilayah Jakarta, tiba-tiba mobil yang kami tumpangi mogok di tengah jalan. Cuaca panas, dan mobil Avanza ini ditumpangi 10 orang, 6 orang termasuk saya akan kembali ke Pontianak, Kalimantan Barat, 1 orang sopir, dan 3 keluarga ibu yang ikut mengantar kami ke Bandara, menambah pengap suasana.

Dibantu pekerja yang saat itu tengah mengerjakan proyek, mobil di dorong ke bawah jalan layang. Saya tidak tahu nama tempatnya. Di samping, adik saya sudah bersungut-sungut,

“Sudah tahu mobil dipakai terus, tidak mau diservis.” ujarnya kesal.

Wajar saja memang, mobil ini kami sewa bersama pemiliknya yang menjadi supir, seorang warga lokal. Satu minggu penuh mobil ini menempuh perjalanan jauh, dari pamanukan ke Bandung, atau daerah wisata lainnya. Hari ini mobil juga menempuh perjalanan ke Bandara Soetta.

Ibu sempat menyarankan pada kakak saya untuk menaiki bus menuju bandara, kata orang-orang tidak sampai 1 jam perjalanan lagi. Namun, kakak saya menolaknya, 

“Masih banyak waktu, sayang sudah dibayar full.” Memang, dia yang mengeluarkan uang untuk membayar semua perjalanan ini. Kami manut saja.

Satu jam kemudian mobil derek datang, dan kami duduk di mobil, celingukan melihat Jakarta dengan mobil di derek ke bengkel.

Waktu menunjukkan jam 2 siang, saat mobil tersebut bisa berjalan kembali. Lucunya, sang supir kehabisan uang dan meminjam pada kakak saya, untuk biaya derek dan servis mobilnya. 

Dan disinilah momen takdir Tuhan berjalan, terik matahari menyengat, kakak saya memberikan kartu ATM-nya kepada saya. 

“Ambilkan uang 5 juta, nanti kasih sopirnya 1,5 juta. Sisanya pegang. Pin ATM xxxx.”ujarnya.

Saya manut mengambil uang sesuai permintaan, kemudian memberikan kepada supir. Saat hendak mengembalikan kartu ATM, kakak saya hanya menggeleng. 

“Pegang saja dulu.”

Satu kalimat yang akan saya syukuri nantinya.

Mobil berhasil hidup, kami gembira. 

Perlahan mobil berjalan, tapi tak lama kemudian asap mengembul dari kap mesin, dan mobil kembali mati. Kami semua keluar, mobil berhasil menepi di jalan. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, pesawat kami pukul 4, dan mobil mati. Kakak saya terlihat marah pada sopir, kemudian saya mengusulkan untuk memesan taxi online.

Kakak saya setuju, namun memesan taxi online dari aplikasi hijau disini, tak semudah di Pontianak. Jarak pengemudi kami jauh, dan tak bergerak beberapa saat.

Kami baru berangkat pada pukul 15.30, jika dinalar setengah jam untuk sampai ke bandara bukanlah waktu yang cukup.

Saya bertanya pada supir berapa lama sampai ke bandara?

“Kurang lebih 1 jam, mbak.” jawabnya.

Saya pasrah, anggota keluarga yang lain saling pandang. 

“Bisa lebih cepat, bang? Pesawat kami terbang jam 4.” 

“Diusahakan ya.” hanya itu yang dia katakan. Mobil berpacu lebih cepat, menyalip kendaraan satu demi satu. Saya mesti berterima kasih pada abang supirnya.

Diperjalanan, abang supir menyarankan agar satu orang dari kami langsung masuk ke konter check-in bandara. 

“Satu orang masuk saja, bawa tiket semuanya. Biar bisa masuk pesawat.”imbuhnya.

Saya bersyukur, sehari sebelumnya saya sudah check in online, nama kami sudah terdaftar di manifest penumpang.

Mukjizat terjadi, kami tiba pukul 16.00 tepat. Saya langsung berlari keluar dari mobil menuju konter, nama kami sudah terdengar dipanggil oleh petugas bandara.

Petugas maskapai bandara sempat mendengus, ketika saya menyodorkan hp berisi bukti check ini online. Saya hanya tersenyum tidak enak. Tak lama, anggota keluarga saya yang lain datang menyusul.

Masalah datang kemudian, koper-koper kami tidak bisa masuk, karena bagasi pesawat sudah ditutup. Mau tak mau satu orang harus tinggal untuk mengurusnya.

Di tengah situasi yang panik, saya langsung menyatakan, “Sudah naik saja. Nanti saya nyusul.”

Petugas bandara bertanya kepada saya,”Kenapa ga yang laki-laki saja, mbak?” 

Iya, di rombongan kami ada laki-laki, suami kakak saya, seorang warga asing yang tidak lancar berbahasa Indonesia dan tidak bisa bahasa Inggris.

“Dia gak bisa bahasa Indonesia, mas.”kata saya.

Singkat cerita, keluarga saya selamat terbang ke Pontianak, tinggallah saya dengan troli penuh koper. 

Ketika mengecek penerbangan selanjutnya ke Pontianak, semua penuh hingga 7 hari kedepan. Memang saat itu sedang musim “sembahyang kubur”, ramai orang berangkat dari Jakarta ke Pontianak.

Entah kenapa, hati saya tidak merasakan apapun, sedih tidak, panik tidak. “Oh, oke mbak, makasih.” jawab saya. Dengan tenang saya mendorong troli ke luar bandara.

Hal yang pertama terlintas di pikiran adalah mencari tempat menginap, karena hari sudah beranjak malam. Setelah shalat maghrib di mushola bandara, saya memesan taxi online menuju hostel di daerah Jakarta Selatan yang telah saya booking online.

“Banyak sekali bawaannya, mbak?” kata sang supir mengajak saya bicara.

“Iya, pak. Punya satu keluarga, cuma kami hampir ketinggalan pesawat tadi, Bagasinya sudah ditutup, jadi kopernya tidak bisa ikut masuk.”

“Pake pesawat apa memangnya?”

“Dari maskapai xxx, pak.”

“Oh, sudah biasa itu, mbak.” Dan supir itu tertawa mendengar jawaban saya.

Di Hostel, saya mencari alternatif penerbangan ke Pontianak, mulai dari Bandung, Solo, Yogya, semua kota di Pulau Jawa yang memiliki bandara, saya cek satu-persatu jadwalnya. Akhirnya ketemu, Surabaya, 3 hari lagi. 

Tak lama, kakak saya menelpon, dia mengabarkan telah sampai di Pontianak. Namun, temannya yang seorang pemilik agen travel, mengatakan tidak ada penerbangan kosong ke Pontianak. 

Dengan ringan saya mengatakan, “Ada dari Surabaya, nanti naik kereta ke sana. Tapi 3 hari lagi.”

“Oh ya udah, pakai saja uang di ATM.” Alhamdulillah… Kali ini saya bersorak dalam hati mendengarnya, maklum kantong saya tipis, jiwa miskin saya menangis membayangkan uang yang harus saya keluarkan untuk tiket dan biaya lain-lain.

Setelah itu saya mulai mencari tiket kereta, tetapi melihat jaraknya, saya geleng-geleng kepala. Bisa remuk pinggang ini duduk belasan jam di kereta. Saya cari alternatif singgah di Jawa tengah, dan Jogja menjadi pilihan.

Besoknya, pagi-pagi saya berangkat dari stasiun Pasar Senen menuju Yogyakarta.

Satu hal yang lucu adalah, dari sekian banyak koper yang saya bawa, tidak ada satupun milik saya. Koper kecil dan tas punggung saya dibawa adik ke kabin pesawat. Yang tertinggal di saya hanya tas kecil yang berisi dompet dan hp, charger pun saya tidak punya.

Tidak sempat membeli charger di Jakarta, saya bersyukur ada penumpang baik di kereta yang bersedia meminjamkan chargernya. Mas-mas yang saya tidak tahu namanya, “makasih.”

Seingat saya 8 jam perjalanan saya habiskan di kereta dengan takjub, panorama alam pulau jawa menyihir saya, jika penumpang di sekeliling saya sibuk berbicara atau tidur, maka saya selalu menatap keluar jendela. Ini juga kali pertama saya naik kereta. Hore! Alhamdulillah.

Keluar dari stasiun, mencari hostel murah, maklum uang ini bukan milik saya. Walau saya punya simpanan, uang itu untuk membeli pakaian luar dalam, dan charger hp sekaligus bedak.

Namun, saat saya berkata akan berbelanja di Jogja, kakak lebih semangat menyuruh berbelanja. bye-bye hemat.

Berbelanja di warung kecil di depan hostel, saya mengobrol dengan bapak-bapak pemilik warung. Begitu mendengar kisah saya, beliau menawarkan diri untuk membelikan saya charger-an. Pertama saya tolak karena tak enak merepotkan, tapi bapak bersikeras ingin membantu. 

“Dekat sini, ada counter.” ucapnya, saya akhirnya mengulurkan uang. Beliau segera mengeluarkan motor dan berlalu pergi. Tak lama kemudian beliau datang menenteng plastik dengan logo konter hp.

“Terima kasih, pak.” Saat saya menyodorkan uang, sekadar untuk mengganti bensin, ditolak oleh sang bapak, “simpan saja.” katanya.

Mumpung di Jogja, saya sempatkan mampir ke salah satu situs bersejarah, Candi Borobudur, yang ternyata letaknya di Magelang. 

Nah, setelah kaki gemetaran karena menaiki tangga ke puncak borobudur, yang jaraknya lebar antar tangganya bagi saya yang takut ketinggian. Saya duduk di luar candi, di bawah pohon, mengamati ramai turis berlalu-lalang, turis dari korea yang saya dengar mereka menyebut “eonnie…eonnie”, atau yang dari India, “mama… kya he xxx… mama”.

Pelataran borobudur, tempat saya berteduh di bawah pohon, sambil mengobrol dengan seorang ibu warga lokal. Sumber: Dok. Pribadi
Pelataran borobudur, tempat saya berteduh di bawah pohon, sambil mengobrol dengan seorang ibu warga lokal. Sumber: Dok. Pribadi

Jam 1 siang, saya menggunakan ojek online untuk kembali lagi ke Hostel. Nahasnya di perjalanan hujan turun dengan lebat, disertai petir. Dan ternyata bapak ojek ini tidak mengenal benar area hostel, tidak bisa baca map dan hp saya mati.

Akhirnya, bapak ojek mengantarkan saya ke tukang becak yang sedang mangkal di dekat alun-alun. Saya hanya ingat area luar hostel, tapi lupa namanya. Ketika saya ceritakan ciri-ciri jalan, si mas tukang becak mangut-mangut, saya pikir dia tahu kemana tujuan saya.

“20 ribu ya mbak,” pinta kang becak.

“Ok, mas.” Walau saya tahu kalau pake aplikasi ojek online hanya 7 ribu, tetapi gak apa-apa, hitung-hitung berbagi dengan nominal yang tak seberapa tersebut.

Jadilah, saya menaiki becak dari alun-alun, ah, selamat. ucap saya dalam hati. Rintik hujan setia menemani yogya siang itu, mas tukang becak berbaik hati menurunkan plastik di depan becaknya. Duduk diam, saya mengamati jalan sekitar alun-alun yang selalu saya lewati jika keluar hostel. 

Ada 2 pohon besar yang legendaris di sana, belum sempat saya singgahi, nanti malam saja.

Namun, saya merasa janggal kok tidak sampai-sampai, beberapa kali saya menaiki ojek dari hostel melewati alun-alun tidak sampai 5 menit.

Jalan yang tidak pernah tahu sebelumnya, kini saya lewati dibawa oleh becak. Saya sedikit gusar, karena baju saya basah terkena hujan tadi, rintik hujan juga belum berhenti. Akhirnya dari kejauhan saya melihat masjid berwarna hijau, nah, ini dia. hampir sampai. 

Dan benar, dari situ saya bisa menunjukkan jalan kepada tukang becak ini.

Setelah turun, saya bayar 20 ribu sesuai kesepakatan awal. Tetapi mas becak ini protes, kok cuma 20 mbak, kan jauh muter-muter.

Ya, kan perjanjiannya segitu mas.” ucap saya.

“Iya, tapi kan ndak langsung sampai, jalannya jauh, mbaknya ndak tau jalan.”

Saya tidak ingin meladeni mas-mas becak ini, saat bapak ojek bertanya tadi, dia bilang tahu tempatnya. Saya tetap keukeuh tidak mau menambahkan, karena sudah kepalang kesal, perut lapar, dan baju yang basah. Saya hanya ingin mandi dan berganti pakaian sekarang.

Akhirnya mas-mas tukang becak pergi, karena saya bersikeras tidak mau menambah, biarlah dikatakan pelit. Kalau saya dari awal si mas minta ditambahkan, pasti saya tambahkan seperti si bapak gojek, yang saya bayar lebih dari tagihan di aplikasi.

Selain insiden hampir dipalak tukang becak, orang-orang Jogja yang saya temui, yang tidak bisa saya ceritakan satu persatu, benar-benar mencerminkan penggambaran masyarakat Indonesia yang ramah, sopan, dan senang menolong. Saya bahagia bisa mengenal kota ini.

2 hari yang singkat di Yogyakarta, tapi kebaikan orang-orangnya berhasil memikat hati saya. Terima kasih Yogya, telah memberikan banyak kenangan indah. Bila ada kesempatan, saya akan berkunjung kembali. Salam dari Pontianak.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun