Jam 1 siang, saya menggunakan ojek online untuk kembali lagi ke Hostel. Nahasnya di perjalanan hujan turun dengan lebat, disertai petir. Dan ternyata bapak ojek ini tidak mengenal benar area hostel, tidak bisa baca map dan hp saya mati.
Akhirnya, bapak ojek mengantarkan saya ke tukang becak yang sedang mangkal di dekat alun-alun. Saya hanya ingat area luar hostel, tapi lupa namanya. Ketika saya ceritakan ciri-ciri jalan, si mas tukang becak mangut-mangut, saya pikir dia tahu kemana tujuan saya.
“20 ribu ya mbak,” pinta kang becak.
“Ok, mas.” Walau saya tahu kalau pake aplikasi ojek online hanya 7 ribu, tetapi gak apa-apa, hitung-hitung berbagi dengan nominal yang tak seberapa tersebut.
Jadilah, saya menaiki becak dari alun-alun, ah, selamat. ucap saya dalam hati. Rintik hujan setia menemani yogya siang itu, mas tukang becak berbaik hati menurunkan plastik di depan becaknya. Duduk diam, saya mengamati jalan sekitar alun-alun yang selalu saya lewati jika keluar hostel.
Ada 2 pohon besar yang legendaris di sana, belum sempat saya singgahi, nanti malam saja.
Namun, saya merasa janggal kok tidak sampai-sampai, beberapa kali saya menaiki ojek dari hostel melewati alun-alun tidak sampai 5 menit.
Jalan yang tidak pernah tahu sebelumnya, kini saya lewati dibawa oleh becak. Saya sedikit gusar, karena baju saya basah terkena hujan tadi, rintik hujan juga belum berhenti. Akhirnya dari kejauhan saya melihat masjid berwarna hijau, nah, ini dia. hampir sampai.
Dan benar, dari situ saya bisa menunjukkan jalan kepada tukang becak ini.
Setelah turun, saya bayar 20 ribu sesuai kesepakatan awal. Tetapi mas becak ini protes, kok cuma 20 mbak, kan jauh muter-muter.