“Jogja…jogja…tetap istimewa,
istimewa negerinya, istimewa orangnya”
Sepenggal lirik lagu Jogja istimewa dari Hip Hop Foundation ini, sering diputar rekan kerja saya dulu, sebelum almarhum meninggal. Lagu yang sebagian besar berbahasa Jawa, terdengar asing bagi saya, yang lahir dan tinggal di tengah bumi Melayu dan Dayak. Namun, lagu ini menjadi awal perkenalan saya dengan Yogyakarta.
Pada tahun 2018, saya yang awalnya bersama keluarga mengunjungi sanak saudara kami dari pihak ibu di Pamanukan, Subang, Jawa Barat. Kemudian terdampar seorang diri di Yogyakarta.
Kejadian ini bermula dari drama mobil mogok, diderek mobil pengangkut, ngos-ngosan mengejar pesawat di bandara, dan berakhir saya yang harus tertinggal untuk mengurus koper-koper.
Pesawat kami dijadwalkan terbang pukul 16.00, dari pamanukan kami sudah berangkat pukul 08.00. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 3-4 jam, karena itu bukan musim mudik, hanya hari kerja biasa.
“Lebih baik awal, kita bisa tenang menunggu di bandara, daripada kena macet di jalan.” kata ibu, yang kami amini.
Drama bermula ketika pukul 11.00 kami sudah memasuki wilayah Jakarta, tiba-tiba mobil yang kami tumpangi mogok di tengah jalan. Cuaca panas, dan mobil Avanza ini ditumpangi 10 orang, 6 orang termasuk saya akan kembali ke Pontianak, Kalimantan Barat, 1 orang sopir, dan 3 keluarga ibu yang ikut mengantar kami ke Bandara, menambah pengap suasana.
Dibantu pekerja yang saat itu tengah mengerjakan proyek, mobil di dorong ke bawah jalan layang. Saya tidak tahu nama tempatnya. Di samping, adik saya sudah bersungut-sungut,
“Sudah tahu mobil dipakai terus, tidak mau diservis.” ujarnya kesal.
Wajar saja memang, mobil ini kami sewa bersama pemiliknya yang menjadi supir, seorang warga lokal. Satu minggu penuh mobil ini menempuh perjalanan jauh, dari pamanukan ke Bandung, atau daerah wisata lainnya. Hari ini mobil juga menempuh perjalanan ke Bandara Soetta.