Saya minimalisasi kegiatan bertemu orang dan lainnya hanya di rumah saja dengan anak istri, meskipun tidak ada tanda-tanda maupun tidak merasa sakit saya lebih banyak di rumah saja.
Tepat pada  11 Maret 2020 atau seminggu yang lalu, tepat saya selesai self-isolating 14 hari, penderita positif corona di Slovenia masih di bawah 20 jumlahnya, saya dan keluarga sempat keluar sebentar untuk belanja dan juga ada meeting dengan rekan bisnis.
Kehidupan masih terlihat normal, saya dan istri masih sempat ngopi di luar, kemudian kita sempat makan siang dengan salah satu rekan Indonesia di Ljubljana, ibukota Slovenia. Kami sempatkan beli keperluan dan kebutuhan rumah tangga. Di situ saya juga sudah mulai ambil barang dengan jumlah lebih untuk sekadar jaga-jaga.
Jalanan mulai sepi, tapi warga masih banyak yang beraktivitas dan anak-anak masih bersekolah seperti biasa meskipun sudah mulai banyak keraguan dan desas-desus langkah apa yang diambil pemerintah besok, secara jumlah penderita juga turut bertambah.
Yang boleh masuk ke Slovenia hanyalah warga negara (citizen) Slovenia yang mau pulang ke rumah, atau barang truk logistic saja. Maklumlah, Slovenia berbatasan langsung dengan Italia utara, hotspot pandemic corona di Italia.
Memang patient 01 hingga patient 10 di Slovenia semua berhubungan dengan Italia karena patient-patient tersebut hasil tracingnya baru ada gejala setelah selesai liburan main ski di Italia. Belakangan baru saya paham, Italia adalah negeri paling tinggi angka pandemic Covid-19-nya di dunia, setelah China.
Setelah itu mulailah Austria juga tutup border dengan Italia, yang dimaksud tutup border bukan total tapi sangat dibatasi pergerakan orang dan barang. Wah ini sepertinya menuju lockdown, pikir saya.
Seiring bertambahnya penderita corona akhirnya pemerintah Slovenia memutuskan untuk menutup sekolah. Perlahan mulai terjadi kepanikan, toko-toko perbelanjaan diserbu (panic buying) untuk sekedar warga membeli kebutuhan 1 – 2 minggu ke depan.
Wajar saja, bapak ibunya kerja, anak-anakpun biasanya ke sekolah. Kalau anaknya nanti gak sekolah bapak ibunya harus kemana juga bingung sedangkan kantor bapak ibunya masih tidak libur dan tentunya di sini tidak ada pembantu di rumah untuk dititipi anak. Jadi selain bahan makanan juga orang tua harus membeli apapun yang bisa bikin anak-anak betah di rumah, seperti mainan, alat edukasi interaktif dan juga lainnya.
Tapi masalah bukan berhenti di situ, anak-anak tersebut tidak bisa dititipkan ke kakek-neneknya karena akan rentan nanti juga untuk jadi medium virus berpindah satu sama lain. Kehebohan mulai terasa, istri saya cerita hampir di semua forum online local curhatan orang tua gaungnya hampir sama, anak saya mau dikemanakan kan kantor gak diliburkan?