Awalnya, Mbah Brewok tampak ragu. Namun demi melihat gurat sedih dan putus asa di wajahku, ia masuk kamar, berganti pakaian lalu menemuiku lagi dengan wajah yang lebih sumringah.
“Kita berangkat,” katanya.
*
Aku merutuki langit. Awan mendung itu tampaknya tak punya hati. Ia tak berencana membiarkan kubangan-kubangan ini menguap lebih dulu untuk diisi lagi. Guntur bersendawa keras. Bau khas hujan campur tanah dibawa angin yang lewat di sela tanaman jagung di samping kanan-kiriku.
Kabar Ilyas yang muntah darah mengacak-acak kesadaranku. Ia masih bisa diselamatkan. Ya, Ilyas harus selamat dan cuma Mbah Brewok yang bisa menyelamatkannya. Mbah Brewok mesti bisa.
Mbah Brewok duduk gelisah di jok belakang. Ia menepuk pundakku.
“Mbah turun sini saja.”
Dahiku mengerut. “Kenapa, Mbah?”
“Tidak apa-apa. Kamu sebaiknya cepat pulang. Mbah turun sini.”
Aku masih tak memelankan laju motor. “Tapi kenapa, Mbah?”
“Ibumu butuh kamu di rumah, lebih daripada butuh Mbah. Berhenti sini saja!”