Mohon tunggu...
M Hasbi A.s
M Hasbi A.s Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cerpenis saja ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meskipun Kau Berlindung

14 Agustus 2012   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bisa. Aku yakin bisa. Maksudku orang di jok belakang motorku. Ia pasti bisa. Namanya tersohor sampai kampung-kampung beradius sepuluh kilo dari tempat tinggalnya tahu di mana rumah Mbah Brewok.

Aku menepis kemungkinan Mbah Brewok tidak bisa membantuku kali ini. Tidak mungkin. Ia pasti bisa. Harus bisa!

Ban motorku meleat-leot menghindari kubangan yang dibuat hujan semalam. Takut becek itu mengandung benda-benda tajam yang bisa membocorkan angin dalam ban. Atau kedalaman lubang tempat air menggenang itu terlalu dalam sehingga bukan hanya ban yang bocor, peleg motor bisa ikut bengkok. Dan mampuslah aku kalau itu sampai terjadi malam ini. Tidak di tengah kondisi jalan seperti ini.

Kanan-kiri tanaman jagung setinggi dua kali tinggi orang dewasa memagari jalan yang kulalui ini. Akses ke rumah Mbah Brewok memang tak mudah. Selain jauh dari jalan utama, satu-satunya jalan menuju rumahnya harus melewati jalan yang jarang dilewati kendaraan. Jalan ini hanya bisa dilalui sebuah sepeda motor. Kanan-kiri tanaman jagung tinggi. Lampu jalan terpisah lima puluh meter jauhnya. Itu pun beberapa mati. Kalau matahari sudah turun, cukup mengerikan melewati jalan ini.

Kutepis bayangan-bayangan aneh di kepalaku. Aku tak peduli seberapa sulitnya jalan menuju Mbah Brewok. Yang penting dia harus bisa membantuku. Ilyas harus sembuh.

Aku mengenal Mbah Brewok dari seorang penjual nasi goreng langgananku. Seperti biasa, aku mengeluhkan kondisi adikku, Ilyas, yang tak kunjung sembuh. Ia menderita hepatitis B. Aku tak tahu sejak kapan ia punya penyakit seperti itu. Yang jelas dua hari setelah hari raya Idul Fitri kemarin ia sudah tak mampu beraktifitas seperti biasa.

Aku sudah berusaha membawanya ke rumah sakit manapun semampu biayaku. Tiga kali ia pindah rumah sakit. Mulai rumah sakit di dekat rumahnya sampai ke rumah sakit paling top di kotaku. Tapi apa daya. Aku juga punya keluarga dan kebutuhan lain yang mesti kupenuhi. Dik Mira, istri Ilyas, mengamini bahwa Ilyas sebaiknya dirawat di rumah saja, mengingat apapun sudah kami kerahkan untuk biaya pengobatannya.

Setengah tahun perjuangan kami. Aku juga merasa bersalah terhadap keluargaku, istri dan anak-anak, yang selama rentang waktu itu kehilangan perhatianku. Konsentrasiku di kantor timbul-tenggelam. Ibuku yang selama ini merawat Ilyas, sedikit-sedikit menelepon mengabarkan kondisi adikku itu. Beliau sering menangis dalam telepon, meintaku segera datang jika kondisi Ilyas drop. Aku sempat hampir marah karena jelas-jelas telepon dari ibu mengganggu waktu kerja. Tapi kutahan karena memaklumi sifat ibuku yang memang gampang panik. Lagipula ibu juga pernah kehilangan seseorang karena penyakit yang sama, bapakku. Beliau menjanda di usia dua puluh tujuh tahun. Dan tak pernah menikah lagi. Aku tak mampu membayangkan bagaimana perasaan ibu menjaga anak bungsunya itu sakit, seperti menjaga mendiang suaminya dulu.

Aku jadi mudah uring-uringan. Anak sulungku yang duduk di bangku kelas tiga SMA pernah kumarahai karena dia mengatakan hal yang paling kubenci belakangan hari. “Kita sudah berusaha semampu kita, Pa. Cuma itu yang manusia bisa. Kalau memang ini waktunya Om Ilyas, ikhlas adalah jalan terbaik yang bisa kita tempuh.”

Waktu itu seperti biasa kami duduk di ruang keluarga usai makan malam. Aku tak bisa mengontrol emosi, maka kubentak anakku itu. Istriku ngomel-ngomel membela anaknya. Dan aku baru menyesal setelah acara makan malam yang tegang itu usai.

“Yang sabar ya, Mas,” Istriku seperti tak punya kata-kata lain untuk diucapkan.

Bukan hanya dokter-dokter spesialis yang kudatangi. Beberapa pengobatan alternatif saran dari teman-teman juga telah kuketuk pintu rumahnya. Namun jawaban mereka selalu sama. Sama menyebalkannya dengan istriku. “Yang sabar ya, Pak. Kita berdoa’a bersama-sama.”

Enam bulan aku pontang-panting mencari jalan keluar. Baik itu dana maupun tempat-tempat pengobatan yang bisa membantu menyembuhkan penyakit adikku. Hingga suatu ketika aku mendengar nama Mbah Brewok disebut waktu aku menggerutu tentang betapa menyedihkannya nasibku belakangan.

“Iya, Pak, Mbah Brewok itu reputasinya dikenal sampai kemana-mana. Coba bapak ke sana. Siapa tahu jodoh.” Lalu Udin, penjual nasi goreng keliling itu memberikan ciri-ciri tempat tinggal laki-laki tua yang ia sebut-sebut sebagai Mbah Brewok itu. Esoknya sepulang kerja aku langsung tancap gas mencari alamat Mbah Brewok.

*

Laki-laki itu berusia ujung tujuh puluh. Jambangnya putih dan tampak mencolok dari penampilannya yang biasa-biasa saja. Mungkin itu yang membuatnya disebut sebagai Mbah Brewok. Meskipun sudah setua itu, tegap tubuh dan gelegar suaranya tak kusut dimakan masa. Ia juga senang bergurau. Di usianya yang hampir menginjak delapan puluh, ia mengaku memiliki tujuh orang istri.

“Tapi sekarang ya tinggal Jum ini,” katanya sambil berkelakar.

Entah untuk apa istri sebanyak itu. Mungkin untuk memperkuat ilmunya.

Pukul enam sore saat matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam di langit Barat, aku akhirnya berhasil mencapai kediaman si Mbah.

Kata orang-orang, juga sebagian kudengar langsung dari mulut si Mbah, ia pernah menangani banyak pasien. Ada yang tiga tahun stroke hingga tak bisa berbicara, berjalan, atau melakukan aktifitas lainnya, tiga hari ditangani Mbah, ia sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ada wanita yang sakit (aku sedikit tidak mengerti istilah sakit ini karena Mbah sering menggunakan bahasa Jawa yang aku tidak terlalu paham) sampai perutnya membuncit seperti orang hamil dua belas bulan. Ditangani Mbah, perutnya berangsur mengempis. Itu bukan sakit biasa.

“Sudah diambil bapaknya,” kata Mbah disela Dji Sam Soe yang disulutnya. Bulu kudukku meremang.

Mbah ini juga yang menyarankan sebuah perusahaan angkutan antar kota untuk berganti nama karena akhir-akhir ini armada bus dengan nama itu sering kecelakaan dan memakan korban jiwa. Menurut keterangan yang kudapat dari si Mbah, perusahaan itu berlatar kerja sama dengan Sri Dewi (aku lupa namanya) yang ada di gunung daerah Selatan sana. Korban-korban jiwa itulah bentuk kerja samanya. Aku tak habis pikir tega-teganya manusia menukar nyawa dengan keuntungan beberapa ribu rupiah.

“Mbah akhirnya sarankan nama itu dan nanti Mbah coba ngomong sama Sri Dewi di gunung sana biar menghentikan kerja sama ini.” Dari raut wajahnya, ia tak main-main.

Dan pembicaraan ini makin lama makin membuatku merinding.

Ini kunjungan keduaku ke rumah Mbah Brewok. Kunjungan pertama baru dua hari yang lalu. Kondisi Ilyas sudah sangat drop. Saat itu aku diantar salah seorang tetangga yang mengaku pernah ke rumah Mbah.

Saat kami bertiga baru tiba di rumah orangtuaku, Mbah Brewok langsung lari menuju kamar tempat Ilyas istirahat. Ia bersimpuh sambil menggumamkan sesuatu. Kami yang menunggu hanya bisa diam terpaku.

Tak lama kemudian Mbah Brewok keluar menemui kami.

“Kalau mas Ilyas sampai jam lima nanti mau makan sebanyak lima sendok lalu sudah bisa buang air, Insya Allah masih nemu umur. Nanti Mbah kontrol dari rumah.”

Dan terbukti, Dik Mira mengatakan lewat telepon bahwa suaminya mau makan sekitar jam lima sore sebanyak lima sendok dan sudah bisa buang air, persis kata Mbah. Aku sedikit menghela napas lega. Semoga kata-kata Mbah tentang nemu umur itu benar adanya.

Pada kunjungan kedua ini Mbah Brewok baru bercerita padaku mengapa ia langsung lari ke kamar Ilyas sewaktu kami baru tiba kemarin lalu. Katanya si penjemput sudah ada di ambang pintu rumah.

“Mbah mintakan kalau jangan dijemput sekarang. Tanggungan mas Ilyas masih banyak. Ada putra yang masih kecil yang jadi tanggung jawabnya. Lalu dia pergi. Dan semoga tidak kembali dalam waktu dekat. Kita sama-sama berdoa ya, Mas.”

Aku shock mendengar penjelasan Mbah Brewok. Penjemput sudah datang? Dadaku bergemuruh.

“Tujuan saya kesini untuk mengabarkan keadaan Ilyas, Mbah. Kondisinya drop lagi, ditambah muntah darah. Mbah bisa ke sana sekarang?”

Awalnya, Mbah Brewok tampak ragu. Namun demi melihat gurat sedih dan putus asa di wajahku, ia masuk kamar, berganti pakaian lalu menemuiku lagi dengan wajah yang lebih sumringah.

“Kita berangkat,” katanya.

*

Aku merutuki langit. Awan mendung itu tampaknya tak punya hati. Ia tak berencana membiarkan kubangan-kubangan ini menguap lebih dulu untuk diisi lagi. Guntur bersendawa keras. Bau khas hujan campur tanah dibawa angin yang lewat di sela tanaman jagung di samping kanan-kiriku.

Kabar Ilyas yang muntah darah mengacak-acak kesadaranku. Ia masih bisa diselamatkan. Ya, Ilyas harus selamat dan cuma Mbah Brewok yang bisa menyelamatkannya. Mbah Brewok mesti bisa.

Mbah Brewok duduk gelisah di jok belakang. Ia menepuk pundakku.

“Mbah turun sini saja.”

Dahiku mengerut. “Kenapa, Mbah?”

“Tidak apa-apa. Kamu sebaiknya cepat pulang. Mbah turun sini.”

Aku masih tak memelankan laju motor. “Tapi kenapa, Mbah?”

“Ibumu butuh kamu di rumah, lebih daripada butuh Mbah. Berhenti sini saja!”

Aku berhenti. Hujan rintik-rintik turun. Lembut tapi menjanjikan banjir.

Mbah Brewok turun lalu menepuk-nepuk bahuku. Aku masih tak mengerti maksudnya. “Cepat pulang, Nak. Mbah do’akan dari rumah saja. Semoga kamu sekeluarga dikuatkan kesabarannya.” Mbah Brewok cepat-cepat menambahkan sewaktu melihat aku ingin menyela. “Sudah, jangan tanya apa-apa lagi. Keburu hujan dan jalan sini bahaya kalau lagi hujan. Mbah pulang sendiri saja, nggak perlu kamu antar.”

Ia kemudian berbalik dan berjalan meninggalkanku yang masih melongo.

*

Tak perlu kau minta
Kubangunkan istana megah untukmu, Saudara
Lengkap dengan benteng penuh penjaga

Namun apalah arti
Bila maut tak mampu ditawar atau dibeli
Usiamu muda namun jangan salah
Ia membidik tak menunggu datang masa tua

Lalu untuk apa benteng tinggi itu, Saudara?
Ia menikam dari dalam

Air mataku kupaksakan berhenti. Aku jadi pelayat terakhir yang tiga langkahku meninggalkan pusara ini akan menjadi alarm bagi dua penjaga di dalam sana untuk mengintrogasi Ilyas.

Aku bangkit dan berusaha berpikir selogis mungkin, bahwa ini semua sudah berakhir, bahwa jatah umur Ilyas telah habis. Ia dikafani di usianya yang baru tiga puluh satu tahun. Dadaku sesak namun kusadar ini semua harus berlalu.

Aku memeluk istri dan anak-anakku yang menunggu di gapura pemakamam. Biar ini jadi pelajaran yang berharga bagi kami semua. Mati adalah sesuatu yang pasti. Tidak ada yang bisa menawar atau mengusir si penjemput bila ia sudah mengetuk pintu rumah dalam hening. Tidak juga Mbah Brewok yang katanya mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Semua sudah dijatah. Tidak bisa berkurang, tidak bisa bertambah.

Kucium kepala anakku. Benar katanya, manusia memang hanya bisa sebatas berusaha. Kami harus ikhlas. Aku harus bisa ikhlas. Mungkin aku giliran jadi isi kafan berikutnya. Mungkin anakku, mungkin istriku. Semua punya peluang untuk itu. Hanya saja aku tak ingin kami jadi isi kafan yang bau, tanpa rasa. Kami masih punya kesempatan untuk melihat dan merubah masa depan, masa depan di liang lahat. Aku tak ingin menyia-nyiakannya.

Aku berbalik, menatap makam Ilyas untuk yang terakhir sebelum benar-benar pergi. Akankah kami ingat mati esok hari atau lusa, seperti kami ingat mati hari ini? Selupa apapun kami nanti, maut tak lupa nama kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun