"Tanah memang tak bisa dimakan, tetapi tanah bisa menumbuhkan kemakmuran bagi siapa saja yang mau berupaya."Â -- saya
Saat Kompasiana menyeru para blogger untuk membuat ulasan tentang Badan Bank Tanah, entah mengapa saya jadi tebersit kata-kata di atas. Selain air yang bernilai amat esensial bagi hidup manusia, tanah juga punya nilai yang tak kalah fundamental. Misalnya saja, untuk fungsi-fungsi seperti meneruskan kehidupan (bercocok tanam), benteng pelindungan (hunian) hingga menumbuhkan kemakmuran (pendayagunaan lahan produktif).
Namun, ironisnya tanah yang menjadi modal dasar bagi segenap rakyat untuk mencapai kemakmuran seringkali terganjal dengan seabrek problema aksesibilitas tanah.
Tanah atau lahan produktif di bumi petiwi kita ini acapkali dikuasai oleh segelintir kelompok, adanya dwi kepemilikan lahan, atau bahkan spekulasi harga yang pada muaranya berujung pada konflik agraria. Untuk itu, Badan Bank Tanah atau Bank Tanah hadir sebagai sebuah badan khusus (sui generis) yang dibesut pemerintah pada tahun 2021 dengan tujuan utama menjamin ketersediaan tanah bagi ekonomi berkeadilan.
Bagaimana sepak terjang Bank Tanah selama ini dalam upaya mencapai kemaslahatan tanah di Indonesia? Dan bagaimana ukuran keberhasilan Bank Tanah menurut para ahli? Mari selami bersama!
Mendedah Sosok Bank Tanah
Istilah 'bank tanah' mungkin kurang familiar ketimbang bank konvensional ataupun bank sampah. Meski demikian, bank tanah memiliki mandat yang sama-sama luhur yakni 'mengelola aset' berupa tanah.
Bank tanah pertama di dunia ada di St. Louis, Missouri. Kelahirannya dibidani oleh masalah urban sprawl yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1971. Sehingga, bank tanah menjadi sebuah instrumen untuk membantu perencanaan kota.
Berselang lima dekade kemudian, bank tanah akhirnya bertunas jua di Indonesia, tepatnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021.
Badan Bank Tanah atau kita persingkat sebagai BBT adalah badan khusus (sui generis) yang dibentuk oleh pemerintah pusat pada 2021 silam dengan tujuan menjamin ketersediaan tanah bagi ekonomi berkeadilan.
Aset tanah BBT dihimpun dari 9 sumber. Di antaranya: tanah bekas hak, lahan tidur (tanah terlantar), tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena perubahan kebijakan tanah ruang, dan tanah tak bertuan.
Aset ini lantas dikenai status Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di mana BBT bebas memberikan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai tanah-tanah tersebut kepada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan lahan.
Pemanfaatan ini diakomodir BBT melalui beragam skema, seperti: jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar menukar, dan bentuk lainnya yang disepakati bersama.
Kenapa Butuh BBT?
Karena ada banyak silang sengkarut masalah tanah di Indonesia yang tak kunjung usai.
Lewat studi anyar tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengabarkan bahwa Indonesia telah mencapai puncak ketimpangan penguasaan lahan sepanjang sejarah.
Ini ditandai dengan satu persen golongan yakni kalangan pengusaha dan badan usaha raksasa yang menguasai 68 persen lahan produktif di Indonesia. Sementara sisanya, barulah diperebutkan masyarakat luas.
Buktinya, 16 juta petani kita hanya menguasai tanah-tanah kecil di bawah 0,5 hektar. Rerata kenaikan jumlah petani yang tidak diimbangi dengan kenaikan luasan sawah akan berimbas pada banyaknya petani yang beralih profesi menjadi buruh dengan upah murah di kota.
Adapun perkebunan skala besar yang tumpang tindih dengan puluhan ribu desa, ladang pertanian, dan kebun rakyat menyulut 'bara' konflik agraria.
Sepanjang 2023, tercatat ada 241 konflik yang meletus guna mempertahankan 638.188 ha lahan di Indonesia. Kondisi ini setidaknya telah membuat ratusan desa terdampak dan 135.608 keluarga menjadi korban.
Oleh sebab itu, BBT dengan pendekatan reforma agraria yang serius, bertugas menyediakan tanah, mengelola, melakukan distribusi ulang tanah ke masyarakat. Khususnya ditujukan untuk memulihkan hak-hak masyarakat atas tanah yang terkena konflik dan supaya terbebas dari jerat kemiskinan struktural.
"Badan Bank Tanah wajib menyediakan minimal 30 persen lahan untuk reforma agraria." -- PP No. 64 Th, 2021
Kiprah Bank Tanah
Saat ini, Badan Bank Tanah (BBT)Â memiliki aset pertanahan seluas 33.115,6 hektar. Lahan ini banyak digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan rumah subsidi, swasembada pangan, dan mendukung program pemerintah.
Terhitung setahun ke belakang, BBT telah membangun rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui program 3 juta rumah di Kendal. Uniknya, rumah-rumah yang disediakan ini diklaim sebagai hunian subsidi pertama di Indonesia yang mengusung konsep green building. Di mana salah satu fitur unggulannya adanya sistem penyimpanan air hujan melalui toren sehingga mampu menghemat konsumsi air tanah.
Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja, mengatakan bahwa pembangunan MBR ini juga akan diperluas ke seluruh Indonesia. Yakni di Tanjung Balai Asahan (Sumatera Utara), Tangerang Selatan (Banten), Purwakarta (Jawa Barat), Jember (Jawa Timur), dan Penajam Passer Utara (Kalimantan Timur).
Sementara itu, sebanyak 209.780 hektar lahan terlantar dialokasikan BBT untuk keperluan swasembada pangan melalui pembukaan sawah maupun kebun hortikultura. Beberapa titik lokasinya ada di Luhu (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah), Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), dan menyusul Kalimantan Selatan.
Sedangkan, kemandirian perikanan diwujudkan BBT bersama BUMDes melalui alokasi 7,5 hektar lahan di Desa Tengkurak, Kabupaten Serang. Lahan ini dimanfaatkan untuk budidaya bandeng dan rumput laut. Seperti kita tahu, daerah Serang memiliki potensi budidaya perikanan, terutama sate bandeng yang menjadi primadona kulinernya.
Usman, warga setempat yang kini berprofesi sebagai penjaga tambak bandeng sangat terbantu oleh uluran program BBT ini.
"Saya merasa bersyukur kepada Bank Tanah karena saya dapat mempunyai pekerjaan dengan menunggu tambak ini. Adanya budidaya ikan bandeng dan rumput laut memberikan saya kegiatan dan pekerjaan di sini," ungkapnya.
Menurut Deputi Bidang Pemanfaatan Tanah dan Kerja Sama Usaha, Badan Bank Tanah, Hakiki Sudrajat, BBT juga turut mendukung program Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan pemerintah melalui penyediaan dapur di daerah tapal batas.
"Kami memilih lokasi yang lebih dekat dengan desa, terutama desa terluar yang mungkin belum tersentuh,"Â jelas Hakiki.
Dapur itu berada di 11 titik lokasi dan tersebar dari Batubara, Sumatera Utara hingga Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Di mana setiap dapur kira-kira menempati tanah HPL seluas 500 meter persegi.
Tolak Ukur Keberhasilan
Kevin O'Brien dkk dalam Best Practices in Land Bank Operation (2005) menyebut bahwa kunci keberhasilan bank tanah terletak pada fokusnya yang sempit dalam tujuan dan sasaran pemanfaatan kembali tanah-tanah yang dihimpun. Sehingga, tujuan penggunaan lahan bisa tepat guna dan mencegah konflik kepentingan.
Artinya, Badan Bank Tanah (BBT) mesti berada di dua ujung spektrum pasar. Yakni menjamin kelestarian ruang publik termasuk ruang terbuka hijau dan situs sejarah di tengah pasar swasta yang rakus memakan tanah untuk perumahan mewah. Sebaliknya, juga menyulap pasar runtuh yakni lahan terlantar seperti halnya permukiman kumuh yang ditinggalkan masyarakat menjadi aset produktif.
Selain itu, BBT mesti berpegang pada independensi agar pengambilan keputusan lebih fleksibel guna mengejar tujuan spesifik. Dan jika memungkinkan, BBT juga diharapkan dapat beroperasi pada tingkat lokal alih-alih nasional, sehingga bisa menciptakan pusat cadangan tanah yang berbeda dengan ragam otoritas dan transaksi tanah. Yang pada akhirnya mampu mengakselerasi cita-cita kemakmuran bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI