Aset tanah BBT dihimpun dari 9 sumber. Di antaranya: tanah bekas hak, lahan tidur (tanah terlantar), tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena perubahan kebijakan tanah ruang, dan tanah tak bertuan.
Aset ini lantas dikenai status Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di mana BBT bebas memberikan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai tanah-tanah tersebut kepada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan lahan.
Pemanfaatan ini diakomodir BBT melalui beragam skema, seperti: jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar menukar, dan bentuk lainnya yang disepakati bersama.
Kenapa Butuh BBT?
Karena ada banyak silang sengkarut masalah tanah di Indonesia yang tak kunjung usai.
Lewat studi anyar tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengabarkan bahwa Indonesia telah mencapai puncak ketimpangan penguasaan lahan sepanjang sejarah.
Ini ditandai dengan satu persen golongan yakni kalangan pengusaha dan badan usaha raksasa yang menguasai 68 persen lahan produktif di Indonesia. Sementara sisanya, barulah diperebutkan masyarakat luas.
Buktinya, 16 juta petani kita hanya menguasai tanah-tanah kecil di bawah 0,5 hektar. Rerata kenaikan jumlah petani yang tidak diimbangi dengan kenaikan luasan sawah akan berimbas pada banyaknya petani yang beralih profesi menjadi buruh dengan upah murah di kota.
Adapun perkebunan skala besar yang tumpang tindih dengan puluhan ribu desa, ladang pertanian, dan kebun rakyat menyulut 'bara' konflik agraria.
Sepanjang 2023, tercatat ada 241 konflik yang meletus guna mempertahankan 638.188 ha lahan di Indonesia. Kondisi ini setidaknya telah membuat ratusan desa terdampak dan 135.608 keluarga menjadi korban.