Sudah sedari tadi para pemilik toko menutup dagangan. Di sepanjang lorong di pinggir kota itu hanya tertinggal satu dua warung rokok kecil, berhiaskan lampu kuning remang-remang, sekali terang sekali redup, seperti tidak jelas hendak hidup atau mati.
Udara semakin dingin. Angin berembus kencang, menyapu sampah-sampah plastik di jalan. Beberapa berandalan berpakaian sobek-sobek mengendarai sepeda motor begitu cepat, membunyikan keras-keras klakson mereka, bagaikan ingin menantang siapa yang berani melawan.Â
Kepulan asap berwarna putih keperakan dari knalpot melambung dan meresap dalam udara, tertiup angin, membuat sebagian orang di sekitar terpaksa terbatuk-batuk.
Masih saja dan selalu ada orang-orang berkumpul saat semua sudah istirahat. Di antara mereka, ada yang berpakaian seksi, rela menahan gigil dari dinginnya udara malam.
Wanita itu berdiri di pinggir jalan dekat kerumunan. Ia menarik ritsleting tas merah yang tergantung di samping pinggul, mengambil sesuatu, lantas membukanya. Ia menatap cermin kecil seraya menggerak-gerakkan bibir, memastikan sudah merah merona dan menggairahkan.
Ia menutup cermin dan meletakkan kembali ke dalam tas. Kedua tangannya turun ke bawah, merapatkan sedikit ke atas rok mininya, sehingga pahanya yang putih bersih terlihat utuh, berharap mata lelaki jalang melihatnya.
Baju atasan yang ia kenakan sedikit sesak dan tentu dengan sengaja ia memilihnya. Kedua bukit yang masih terlihat indah pada usianya yang sudah paruh baya menyembul sedikit keluar, berhasil mempertontonkan belahan yang selalu menggoda.
Hampir sepuluh tahun ia bertingkah seperti itu setiap malam. Sebetulnya ia sempat mengingat ucapan ibunya agar jadi wanita baik-baik, tetapi alangkah selalu tinggal menjadi ucapan dan tidak pernah dilakukannya.
Apa yang bisa dikerjakan oleh anak putus sekolah? Ketika ia beranjak dewasa dan bagian-bagian tubuhnya mulai berubah, ia sadar benar bahwa ia memang punya kelebihan yang sangat bisa melemahkan para lelaki.
Ibunya sendiri hanya tukang ucap. Boleh dibilang wanita itu merasakan dirinya seperti Sandra, sosok gadis yang pernah ia baca suatu kali dalam cerpen "Pelajaran Mengarang" punya Om Seno.
Kendati ia tahu perbuatannya selalu dicap miring oleh sebagian orang yang menyatakan dirinya sok suci, sedikit-sedikit mengulas dosa dan neraka, ia tetap berbuat seperti itu. Ia tidak bisa berharap mereka menolong. Mereka pun seperti ibunya, hanya menistakan tanpa memberi jalan keluar.Â
Apalagi, ketiga anaknya yang kecil-kecil masih butuh nasi. Masih butuh uang untuk sekolah. Bukan butuh ucapan tanpa perhatian.
"Ibu mau ke mana?" tanya anaknya yang sudah kelas lima sekolah dasar, sesaat sebelum wanita itu mengenakan kosmetik. Ia mendapati wajah ibunya pucat pasi. Matanya layu, sorotnya mengabur. Langkahnya terhuyung seperti hampir jatuh.
"Kerjalah, Nak," jawab wanita itu pelan.
"Tapi, ibu kan sakit. Tidak bisa memang, minta izin sama bos?"
Wanita itu mengaku bekerja sebagai penjaga sebuah kafe.
"Nanti kalau ibu tidak kerja, kamu mau makan apa?"
Anak itu terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca seperti kasihan pada ibunya yang harus membanting tulang sendirian, sejak bapak keparatnya pergi begitu saja entah ke mana.
Seorang berandalan berhenti di depan wanita itu. Ia masih duduk di atas motor gede. Rambutnya yang panjang berombak tersibak angin.
"Naik!" berandalan memberi isyarat agar wanita itu lekas membonceng.
"Berapa?"
Berandalan itu menunjukkan kode seperti angka dengan tangan. Wanita itu mengangguk. Dengan cepat, ia duduk di belakang. Ia merapatkan kedua kaki. Tangan kanannya memegang pundak berandalan. Mereka melaju kencang, meninggalkan balapan motor yang semakin ramai menjelang subuh.
Mereka berhenti di sebuah lapangan. Lampu-lampu lapangan telah padam. Suasana sepi, tersisa bangku-bangku taman yang kosong tanpa ada yang duduk. Ada semak-semak yang begitu lebat di pinggir lapangan. Berandalan itu memarkirkan motor. Wanita itu turun.
"Di sini?"
Berandalan itu mengangguk. Setelah memastikan motor terkunci, mereka berdua turun ke semak-semak, yang sedikit lebih rendah dibanding jalan di lapangan. Terdengar bunyi daun-daun bergesekan. Tidak ada yang terlihat, hanya semak-semak yang bergoyang seperti terhempas angin.
Tadi, berandalan itu kalah sewaktu balapan. Uang yang ia pertaruhkan habis semua. Tidak ada yang tertinggal dalam dompet. Ia pun sempat habis dimaki orang-orang yang bertaruh untuknya. Ia begitu kesal.
Perlahan, wanita itu membuka atasannya. Kedua bukit indahnya terlihat jelas. Ia membaringkan diri di semak-semak. Secepat kilat, rok mininya sudah terlepas. Kedua pahanya yang putih bersih terpampang nyata. Berandalan itu menikmati benar keindahan tubuhnya.
Desahan napas terdengar kencang. Darah berdesir di sekujur badan. Keringat bercucuran di mana-mana, melebur jadi satu bersama denyut jantung yang semakin berdetak tidak beraturan. Sejenak, berandalan itu lupa akan kekalahannya.Â
Wanita itu melayani nafsunya. Sesekali, berandalan itu menengok ke sekitar, memastikan tidak ada orang lewat. Semak-semak semakin bergoyang. Angin tiba-tiba berembus begitu kencang.Â
Wanita itu menggigil. Ia merasakan badannya mulai panas. Ia tidak berdaya melawan kesakitannya. Ia pun tidak berdaya membayangkan anak-anaknya mati kelaparan. Dalam sisa-sisa tenaga yang masih dikuat-kuatkannya, ia tetap berpikir tentang anaknya. "Yang penting, anak bisa sekolah," katanya dalam hati.
Matanya menatap wajah berandalan. Ia membiarkan bibirnya dilumat begitu cepat. Mereka saling bertukar air liur. Setelah membuka pakaian, berandalan itu menindihnya.Â
Mereka telanjang bulat dalam gelapnya malam. Wanita itu mengerang perlahan. Entah, kenikmatan atau kesakitan yang sedang dirasakan, tidak terlalu jelas dan tidak benar-benar ia pikirkan.
"Ah!"
Terdengar suara kepuasan. Berandalan itu mengambil celana jinnya. Ia mengenakan kembali kaus dan topi hitam.Â
"Mana?" tagih wanita itu.
"Apanya yang mana?"
"Bayaran!"
Tiba-tiba berandalan itu mengeluarkan sebilah pisau dari kantung saku bagian belakang celananya. Ia selintas teringat lagi kemarahan karena kalah balapan. Emosinya terbakar.
"Ini!"
Ia menghunjamkan pisau tepat di dada wanita itu.Â
"Clep!"
Pisau itu menusuk dalam. Wanita itu berteriak kencang. Ia meminta tolong, tetapi tidak ada yang dengar. Berandalan itu membekap mulutnya.Â
Ia menarik pisau itu, lantas menusukkan kembali berulang-ulang. Darah bermuncratan, berjatuhan memerahkan dedaunan. Sebagian terciprat mengenai wajah berandalan. Ia mengambil saputangan dan lekas membersihkan.
Pisau yang masih bersimbah darah bersama saputangan ia lemparkan jauh-jauh ke arah sungai di dekat lapangan. Wanita itu menggelepar. Tubuhnya mendadak dingin. Mulutnya keluar darah. Mukanya kian pucat. Kepalanya mulai pusing.Â
Masih sempat ia teringat anaknya. Masih sempat pula terbayang wajah ibunya. Air mata menetes di pipi. Ia merasa bersalah pada ibunya. Dalam napasnya yang tersengal-sengal, sedikit suara terdengar, "Maafkan ibu, Nak!"
Malam semakin gelap. Lampu-lampu jalan telah padam. Tidak ada lagi yang bisa ia lihat.
Pada sebuah rumah, seorang anak paling tua sudah merapikan tempat tidur. Ia membersihkan kamar dan menyemprotkan pewangi ruangan kesukaan ibunya.Â
Ia tahu, ibunya pasti lelah sehabis bekerja semalaman. Ia pun tahu, kelelahan semakin jadi karena ibunya sedang tidak enak badan. Kedua adiknya menunggu di depan pintu.
...
Jakarta
13 September 2021
Sang Babu Rakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI