Mereka berhenti di sebuah lapangan. Lampu-lampu lapangan telah padam. Suasana sepi, tersisa bangku-bangku taman yang kosong tanpa ada yang duduk. Ada semak-semak yang begitu lebat di pinggir lapangan. Berandalan itu memarkirkan motor. Wanita itu turun.
"Di sini?"
Berandalan itu mengangguk. Setelah memastikan motor terkunci, mereka berdua turun ke semak-semak, yang sedikit lebih rendah dibanding jalan di lapangan. Terdengar bunyi daun-daun bergesekan. Tidak ada yang terlihat, hanya semak-semak yang bergoyang seperti terhempas angin.
Tadi, berandalan itu kalah sewaktu balapan. Uang yang ia pertaruhkan habis semua. Tidak ada yang tertinggal dalam dompet. Ia pun sempat habis dimaki orang-orang yang bertaruh untuknya. Ia begitu kesal.
Perlahan, wanita itu membuka atasannya. Kedua bukit indahnya terlihat jelas. Ia membaringkan diri di semak-semak. Secepat kilat, rok mininya sudah terlepas. Kedua pahanya yang putih bersih terpampang nyata. Berandalan itu menikmati benar keindahan tubuhnya.
Desahan napas terdengar kencang. Darah berdesir di sekujur badan. Keringat bercucuran di mana-mana, melebur jadi satu bersama denyut jantung yang semakin berdetak tidak beraturan. Sejenak, berandalan itu lupa akan kekalahannya.Â
Wanita itu melayani nafsunya. Sesekali, berandalan itu menengok ke sekitar, memastikan tidak ada orang lewat. Semak-semak semakin bergoyang. Angin tiba-tiba berembus begitu kencang.Â
Wanita itu menggigil. Ia merasakan badannya mulai panas. Ia tidak berdaya melawan kesakitannya. Ia pun tidak berdaya membayangkan anak-anaknya mati kelaparan. Dalam sisa-sisa tenaga yang masih dikuat-kuatkannya, ia tetap berpikir tentang anaknya. "Yang penting, anak bisa sekolah," katanya dalam hati.
Matanya menatap wajah berandalan. Ia membiarkan bibirnya dilumat begitu cepat. Mereka saling bertukar air liur. Setelah membuka pakaian, berandalan itu menindihnya.Â
Mereka telanjang bulat dalam gelapnya malam. Wanita itu mengerang perlahan. Entah, kenikmatan atau kesakitan yang sedang dirasakan, tidak terlalu jelas dan tidak benar-benar ia pikirkan.
"Ah!"