Ibu, mengapa engkau tidak pernah marah? Aku tahu hatimu terluka, dadamu tersayat, tanganmu tergores, tetapi kau tetap diam saja, tidak ada sedikit pun maksud untuk membalas mereka. Adakah engkau memang begitu baik sedari lahir, ibu?Â
Siang itu tidak seperti siang-siang sebelumnya. Matahari enggan muncul, mengintip malu-malu di balik pekatnya awan gelap. Angin berembus kencang, dari timur ke barat, menggoyangkan daun-daun kering yang jatuh begitu saja, menerbangkannya ke sana kemari, membuat sekeliling menjadi berantakan, tanpa terurus dan tiada yang memperhatikan.
Sudah hampir lima jam, seorang gadis kecil masih terduduk di tengah taman itu. Rambutnya yang panjang, cokelat kusut seperti tidak pernah tersisir, sedikit bau dan dihinggapi beberapa lalat.
Ia masih menunduk ke arah tanah. Merenung, mengapa ibu tidak pernah marah. Banyak tanya dalam hidupnya. Sampai detik itu, masih tersisa banyak tanya. Ia tidak kuasa menjawab. Takada pula yang bisa memberinya jawaban.
Kakinya perlahan melangkah, gontai berjalan. Diputarinya taman itu sambil dilihatnya kenangan-kenangan yang begitu melekat dan sulit dilupakan dalam benaknya.
Ibu, bisakah aku bertemu denganmu suatu saat nanti? Waktu di mana kita berjumpa hanya berdua. Kita akan bercerita tentang dunia ini. Tentang bagaimana perlakuan tidak adil dari orang-orang yang membenci ibu.
Aku tidak pernah tanya mereka, mengapa mereka membenci ibu. Tanpa kutanya pun, perbuatan mereka adalah jawaban. Mereka selalu menyiksa ibu tanpa sedikit belas kasihan.Â
Padahal ibu sudah membantu mereka. Ibu sudah menolong mereka. Mereka tidak tahu berterima kasih. Bagaimana ceritanya bila mereka tanpa ibu? Apakah memang sudah tidak ada keadilan di dunia ini? Apakah perbuatan baik tidak bisa dipertimbangkan dan diingat kembali untuk mengendalikan keserakahan?
Gadis itu masih terus berjalan. Matanya kosong, tidak ada memori kebahagiaan selain derita yang terus dilihatnya, dari hari ke hari, seperti neraka tanpa sentuhan surga. Penderitaan demi penderitaan datang, menimbulkan kesendirian yang tak kunjung usai, sampai-sampai ia berteriak dan hanya punya harap agar ibu suatu ketika kembali. Akankah ia akhirnya menyusul ibu?
Ia berhenti sejenak. Tatapannya mengarah pada seekor belalang hijau yang kurus kecil, hinggap pada rumput yang berwarna cokelat, seperti habis terbakar. Belalang itu lompat ke sana, lompat ke sini, dan akhirnya hinggap di rambutnya.
Bagaimana kabarmu belalang? Mengapa engkau seperti kebingungan? Tidak adakah yang bisa menenangkan hatimu? Gadis itu berusaha memahami, betapa ada kegelisahan tertangkap dari mata si belalang.
Betapa penderitaan ibunya seperti berbayang di sana. Ia perhatikan mulut belalang tidak bergerak. Tidak ada sedikit pun rumput yang bisa dimakan. Gadis itu memegang perutnya. Sebuah bunyi keras terdengar. Ia pun bingung, hendak memakan apa.
Ibu, bisakah engkau dengar kami di sini? Bisakah engkau menolong kami? Gadis itu terjatuh. Punggungnya tersandar pada sebuah pohon. Ia menangis. Perlahan air matanya jatuh. Perutnya semakin kencang berbunyi.
Ia ingin mencari makan, tetapi hanya derita yang mengenyangkan. Ia hendak memungut belas kasihan, tetapi orang bermuka dingin yang selalu ditemui. Orang-orang yang selalu membenci ibu dan tidak tahu bagaimana berterima kasih kepada ibu.
Gadis itu bukan baru berada di taman itu. Ia sudah lama tinggal di sana, sejak tubuhnya dibungkus lampin dan digeletakkan di bawah sebuah pohon. Kala itu, ia hanya bisa menangis dan menangis. Meskipun tidak ada yang mendengar, ia tetap menangis.
Sinar matahari yang kian panas menjelang tengah hari membakar kulit. Hujan lebat beserta angin dingin menusuk tulang. Ia habiskan hari demi hari, sendiri, dan terus bertanya, mengapa ibu tidak pernah marah.
Ia menyendengkan kepala di batang pohon. Ranting-ranting yang berdaun lebat menaunginya, sesekali seperti berayun-ayun, menghempaskan angin untuk menyejukkan dirinya dari panas matahari.
Akar pohon yang kuat dan sedikit meretakkan tanah sehingga terlihat keluar menjadi tempat duduk yang nyaman baginya. Bersama pohon itu, yang adalah beringin satu-satunya di antara pohon cemara di sekitar, gadis itu menghabiskan masa kecil.Â
Ia belajar tentang kehidupan. Ia belajar tentang kenyataan. Ia belajar pula tentang keserakahan. Semua pertanyaan tentang ketiganya ditemukan jawaban. Hanya satu yang masih mengganjal, mengapa ibu tidak pernah marah.
Suatu hari matanya terus terjaga. Ia berharap tidak ada orang yang datang malam itu. Sudah cukup! Sudah cukup! Begitu batinnya. Ia tidak ingin melihat ibu menderita.
Tidak ada lagi rimbun dedaunan di sekitar. Belalang yang sama hinggap di rambutnya. Taman itu tidak seperti dulu. Hanya ibu satu-satunya yang masih meneduhkan. Kendati sudah terluka di sana sini.
Malam semakin gelap. Ia semakin menjaga mata untuk tidak tidur. Ia berharap orang-orang jahanam itu tidak datang. Ia berharap, ibu kali ini bisa marah. Mengapa engkau tidak membalas mereka, ibu?
Di sekitar, cemara dan pohon perdu hilang lenyap. Rumput-rumput hijau berubah kering kemerahan, seperti baru saja habis dilalap api. Tinggal gadis itu sendiri. Menatap sepi, dirundung benci, mengeja hati yang tidak sampai hati meninggalkan ibu sendiri.
"Minggir kamu!" bentak seorang lelaki. Di belakangnya, beberapa orang berbadan kekar berdiri tegap.
"Mau apa kalian? Jangan ganggu! Pergi kalian dari sini!" teriak gadis itu. Dengan sisa-sisa kekuatan karena kelelahan tidak tidur sepanjang hari, ia berusaha melawan.
"Brak!"
Terdengar suara sesuatu terlempar. Gadis itu tersungkur ke tanah. Belalang di rambutnya terbang meninggalkan. Mukanya mencium tanah, yang telah basah oleh tangisnya.
"Ibu, mengapa engkau tidak membalas mereka?" serunya kencang dalam hati. Ia ingin kembali berteriak, tetapi sekejap saja terdiam. Seorang lelaki berdiri di depannya, mengacungkan gergaji seperti hendak membunuh.
Tangan gadis itu gemetar. Giginya bergemeletuk. Mukanya basah. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Dengan tatapan menyedihkan, ia melihat ibu masih diam saja, ketika lelaki-lelaki itu memotong sisa-sisa tubuhnya.
Tangan ibu sudah lama hilang. Rambutnya begitu kering, satu per satu rontok, seperti habis kekurangan air karena musim kemarau yang tidak berhenti. Gadis itu masih berdoa, berharap ibu bergerak dan melawan.Â
Gergaji mesin menyala kencang. Satu demi satu ranting yang tersisa dari satu-satunya pohon di taman itu ditebang. Beringin yang sudah berumur seratus tahun perlahan menghilang. Beringin itu pun tidak pernah marah.
Kendati ia sudah menghidupkan manusia dengan memberikan oksigen dari tubuhnya. Ia sudah mencegah bencana banjir terjadi dengan menyerap hujan yang berlebihan turun ke tanah. Ia pun sudah meneduhkan berkali-kali orang yang kepanasan karena tertikam sengatan matahari.
Ibu, mengapa engkau tidak pernah marah? Sampai detik akhir hayatmu, sampai engkau hilang dari sisiku, mengapa engkau diam saja, ibu?
Gadis itu tertunduk lesu. Ia tidak tahu lagi, siapa yang akan menemaninya meneruskan hidup. Ibu sudah pergi. Ibu pergi tanpa marah. Tanpa menjawab pertanyaannya. Tanpa pula tahu, ke mana ia hendak pergi. Akankah gadis itu bertemu ibu suatu ketika di alam lain nanti? Meninggalkan orang-orang keparat yang tidak tahu berterima kasih.
...
Jakarta
11 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H