Malam semakin gelap. Ia semakin menjaga mata untuk tidak tidur. Ia berharap orang-orang jahanam itu tidak datang. Ia berharap, ibu kali ini bisa marah. Mengapa engkau tidak membalas mereka, ibu?
Di sekitar, cemara dan pohon perdu hilang lenyap. Rumput-rumput hijau berubah kering kemerahan, seperti baru saja habis dilalap api. Tinggal gadis itu sendiri. Menatap sepi, dirundung benci, mengeja hati yang tidak sampai hati meninggalkan ibu sendiri.
"Minggir kamu!" bentak seorang lelaki. Di belakangnya, beberapa orang berbadan kekar berdiri tegap.
"Mau apa kalian? Jangan ganggu! Pergi kalian dari sini!" teriak gadis itu. Dengan sisa-sisa kekuatan karena kelelahan tidak tidur sepanjang hari, ia berusaha melawan.
"Brak!"
Terdengar suara sesuatu terlempar. Gadis itu tersungkur ke tanah. Belalang di rambutnya terbang meninggalkan. Mukanya mencium tanah, yang telah basah oleh tangisnya.
"Ibu, mengapa engkau tidak membalas mereka?" serunya kencang dalam hati. Ia ingin kembali berteriak, tetapi sekejap saja terdiam. Seorang lelaki berdiri di depannya, mengacungkan gergaji seperti hendak membunuh.
Tangan gadis itu gemetar. Giginya bergemeletuk. Mukanya basah. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Dengan tatapan menyedihkan, ia melihat ibu masih diam saja, ketika lelaki-lelaki itu memotong sisa-sisa tubuhnya.
Tangan ibu sudah lama hilang. Rambutnya begitu kering, satu per satu rontok, seperti habis kekurangan air karena musim kemarau yang tidak berhenti. Gadis itu masih berdoa, berharap ibu bergerak dan melawan.Â
Gergaji mesin menyala kencang. Satu demi satu ranting yang tersisa dari satu-satunya pohon di taman itu ditebang. Beringin yang sudah berumur seratus tahun perlahan menghilang. Beringin itu pun tidak pernah marah.
Kendati ia sudah menghidupkan manusia dengan memberikan oksigen dari tubuhnya. Ia sudah mencegah bencana banjir terjadi dengan menyerap hujan yang berlebihan turun ke tanah. Ia pun sudah meneduhkan berkali-kali orang yang kepanasan karena tertikam sengatan matahari.