Bagaimana kabarmu belalang? Mengapa engkau seperti kebingungan? Tidak adakah yang bisa menenangkan hatimu? Gadis itu berusaha memahami, betapa ada kegelisahan tertangkap dari mata si belalang.
Betapa penderitaan ibunya seperti berbayang di sana. Ia perhatikan mulut belalang tidak bergerak. Tidak ada sedikit pun rumput yang bisa dimakan. Gadis itu memegang perutnya. Sebuah bunyi keras terdengar. Ia pun bingung, hendak memakan apa.
Ibu, bisakah engkau dengar kami di sini? Bisakah engkau menolong kami? Gadis itu terjatuh. Punggungnya tersandar pada sebuah pohon. Ia menangis. Perlahan air matanya jatuh. Perutnya semakin kencang berbunyi.
Ia ingin mencari makan, tetapi hanya derita yang mengenyangkan. Ia hendak memungut belas kasihan, tetapi orang bermuka dingin yang selalu ditemui. Orang-orang yang selalu membenci ibu dan tidak tahu bagaimana berterima kasih kepada ibu.
Gadis itu bukan baru berada di taman itu. Ia sudah lama tinggal di sana, sejak tubuhnya dibungkus lampin dan digeletakkan di bawah sebuah pohon. Kala itu, ia hanya bisa menangis dan menangis. Meskipun tidak ada yang mendengar, ia tetap menangis.
Sinar matahari yang kian panas menjelang tengah hari membakar kulit. Hujan lebat beserta angin dingin menusuk tulang. Ia habiskan hari demi hari, sendiri, dan terus bertanya, mengapa ibu tidak pernah marah.
Ia menyendengkan kepala di batang pohon. Ranting-ranting yang berdaun lebat menaunginya, sesekali seperti berayun-ayun, menghempaskan angin untuk menyejukkan dirinya dari panas matahari.
Akar pohon yang kuat dan sedikit meretakkan tanah sehingga terlihat keluar menjadi tempat duduk yang nyaman baginya. Bersama pohon itu, yang adalah beringin satu-satunya di antara pohon cemara di sekitar, gadis itu menghabiskan masa kecil.Â
Ia belajar tentang kehidupan. Ia belajar tentang kenyataan. Ia belajar pula tentang keserakahan. Semua pertanyaan tentang ketiganya ditemukan jawaban. Hanya satu yang masih mengganjal, mengapa ibu tidak pernah marah.
Suatu hari matanya terus terjaga. Ia berharap tidak ada orang yang datang malam itu. Sudah cukup! Sudah cukup! Begitu batinnya. Ia tidak ingin melihat ibu menderita.
Tidak ada lagi rimbun dedaunan di sekitar. Belalang yang sama hinggap di rambutnya. Taman itu tidak seperti dulu. Hanya ibu satu-satunya yang masih meneduhkan. Kendati sudah terluka di sana sini.